BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Subsidi pupuk
juga menjadi elemen yang begitu penting bagi produksi petani. Semakin bagus
pupuk yang digunakan, maka hasil pertanian yang diperoleh akan semakin bagus.
Masalahnya pupuk yang bagus tidak dapat diperoleh dengan harga yang murah.
Itulah sebabnya pemerintah harus memberikan subsidi kepada pupuk. Anggaran
pupuk yang dianggarkan pemerintah untuk standar yang sekarang sudah berada pada
tahap yang memuaskan.[1]
Dengan adanya subsidi pupuk, tentunya harga pupuk dipasar akan ditekan dan
masyarakat bisa membeli pupuk dengan harga yang murah.
Pemerintah mulai memberikan subsidi harga pupuk sejak
tahun 1971. Pemberian subsidi ini dimaksudkan untuk meningkatkan penggunaan
pupuk khususnya pada usaha tani tani padi yang merupakan pelengkap input
produksi terhadap farietas unggul. Dengan memberikan pupuk yang lebih banyak
sampai batasan tertentu, akan meningkatkan produksi beras, disamping itu
subsidi harga pupuk dimaksudkan juga untuk lebih mengefiensikan transfer sumber
daya dari pemerintah ke petani guna membantu pembangunan pedesaan. ( Tabor,1997
). Selama periode 1969 hingga 1989, harga pupuk urea baru tujuh kali dinaikan,
dengan perincian empat kali dinaikan selam pelita I hingga pelita III dan pada
pelita IV sudah tiga kali dinaikan. Hal yang demikian membuat rasio harga pasar
gabah terhadap harga urea semakin besar mendorong petani untuk memperbesar
produksi tani.[2]
Kenaikan harga pupuk dari masa orde baru sampai sekerang mengalami peningkatan
dan kenaikan harga tersebut sangat jelas merugikan masyarakat, apalagi dengan
produksi hasil panen yang tidak mengalami peningkatan. Dengan kenaikan harga
pupuk tersebut seharunsya pemerintah meningkatkan porsi anggaran untuk subsidi
pupuk.
Namun yang terjadi
, masa pemerintahan SBY, merencanakan pengurangan subsidi pupuk dari Rp 18,4
triliun (0,3 persen dari produk domestik bruto/PDB) tahun 2009 menjadi Rp 11,3
triliun (0,2 persen PDB) tahun 2010. Penurunan subsidi ini lebih banyak karena
ada rencana kenaikan harga eceran tertinggi pupuk sekitar 80 persen.
Peningkatan yang sangat signifikan bagi petani. Pupuk urea, misalnya, akan naik
dari Rp 1.200 menjadi Rp 2.000 per kilogram, Superphos dari Rp 1.550 menjadi Rp
2.100 per kg, NPK Ponska dari Rp 1.750 menjadi Rp 4.500 per kg, NPK Pelangi
dari Rp 1.830 menjadi Rp 4.100 per kg, NPK Kujang Rp 1.586 menjadi 4.000 per
kg, dan pupuk organik dari Rp 500 menjadi Rp 1.000 per kg. [3]
Kebijakan kenaikan ini tertuang dalam Permentan No 32/2010 tentang Penetapan
Perubahan Permentan No 50/2009 yang mengatur tentang Kebutuhan dan HET Pupuk
Bersubsidi. Kenaikan ini mulai berlaku pada tanggal 9 April 2010. Untuk jenis pupuk urea yang semula Rp1.200 per kilogram (kg) menjadi Rp1.600
per kg atau mengalami kenaikan 33,3 persen. Sementara itu jenis pupuk SP-36
dari Rp1.550 per kg menjadi Rp2.000 per kg atau mengalami kenaikan 29,03
persen. Untuk jenis pupuk ZA yang semula Rp1.050 per kg naik menjadi Rp1.400
per kg (33,3 persen), pupuk organik yang semula Rp500 per kg menjadi Rp700 per
kg (40 persen). Sementara itu untuk semua jenis pupuk NPK yang tadinya harganya
bervariasi antara Rp1.586 -Rp1.830 per kg, kini harganya sama menjadi Rp2.300
per kg atau mengalami kenaikan 25,68 persen hingga 45 persen. “Baik NPK Ponska,
NPK Kujang, maupun NPK pelangi harganya sama, yakni Rp2.300 per kg.[4]
Sejumlah
persoalan akibat adanya kenaikan harga eceran pupuk tersebut, diantaranya
distribusi pupuk berkurang dan jarang, karena banyak terjadi penyelewengan
pupuk bersubsidi, pasokan pupuk menjadi berkurang dimasyarakat dan jarang
ditemukan. Dengan harga pupuk yang cukup tinggi petani menjadi sulit untuk
membeli pupuk dan lain lain sebagainya.
Untuk
mengantisipasi kenaikan harga eceran tertinggi pupuk, pemerintah Pemerintah Sulawesi Tenggara telah
mengantisipasinya dengan menyiapkan anggaran Rp5 miliar untuk mensubsidi para
petani. Dana sebesar itu bersumber dari APBD provinsi yang akan
dibelanjakan untuk pembelian pupuk sehingga harganya tetap terjangkau oleh
petani. Dana tersebut diprioritaskan bagi daerah-daerah yang merupakan sentra
produksi pertanian, seperti Kabupaten Konawe, Kolaka, Konawe Selatan, dan
Bombana. Kita harapkan dengan adanya subsidi pupuk tersebut dapat mengatasi
kesulitan petani untuk membeli pupuk. Kami juga berharap seluruh lahan
pertanian.[5] Namun
yang terjadi penambahan subsidi dari APBD propinsi masih belum mampu untuk
mengatasi permasalahan yang ada. Masih ada ditemukan kelangkaan pupuk dan harga
pupuk tidak sesuai dengan eceran harga yang telah ditetapkan pemerintah dan
lain lain sebagainya.
Untunk itu seharusnya Subsidi pupuk memang wajib
dinikmati oleh yang berhak, yaitu petani. Namun, ketidakhati-hatian, keacuhan,
dan kesalahan perumusan kebijakan mekanisme subsidi justru akan mempertaruhkan
nasib para petani dan masa depan para
petani apalagi dengan pengurangan subsidi tersebut membuat harga pupuk semakin
meningkat tentunya para petani sangat sulit untuk menjangkau harga puput
tersebut.
B. Landasan
Teori.
1.Konsep Analisis
Kebijakan
Menurut Dunn,analisis kebijakan adalah aktifitas
intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis
menilai, dan mengomunikasikan pengetahuan tentang dan dalam proses
kebijakan.analsis kebijakan adalah disiplin ilmu social terapan yang
menggunakan berbagai metode pengkajian multiple dalam konteks argumentasi dan
debat politik untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan
pengetahuan yang relevan.[6]
Sementara defenisi dari walter
Willian bahwa analisis kebijakan adalah sebuah cara penyintesikan informasi
termaksud hasil-hasil penelitian untuk menghasilkan format keputusan kebijakan
( yang ditentukan dari sejumlah alternative pilihan ) dan menentukan informasi
yang relevan dengan kebijakan.[7]
Analisis
kebijakan dilakukan karena dua alasan ( rationale ) pokok setiap analisis
kebijakan public, yaitu bahwa terjadi (1 ) kegagalan pasar ( market Vailures )
dan ( 2 ) kegagalan pemerintah.[8]
Patton dan Savicky mengemukakan
bahwa analisis kebijakan dapat dilakukan sebelum dan sesudah kebijakan.[9]
Analisis
kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin ilmu dengan tujuan memberikan
informasi yang bersifat deskriptif, evaluative dan preskriptif. Analisis
kebijakan menjawab tiga macam pertanyaan, yaitu : [10]
1.nilai,
yang pencapaiannya merupakan tolak ukur utama untuk menilai apakah suatu
masalah sudah teratasi.
2.Fakta,
yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapain nilai-nilai.
3.Tindakan,
yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai.
Untuk menganalisis suatu kebijakan, seorang
pertama-tama harus mempunyai kepekaan terhadap masalah-masalah kebijakan dan
kemungkinan pemecahannya. Masalah jarang muncul dalam keadaan sudah sepenuhnya
terdefenisi; yang banyak adalah bahwa masalah- masalah tersebut didefinisikan
dengan berbagai cara sehingga analisis harus secara terus menerus menganalisis
dan menganalisis kembali semua masalah tersebut. Perumusan masalah, yang
mempengaruhinya penggunaan dan penilaian terhadap keempat prosedur lainnya
merupakan metode-metode (metode dari
metode ) yang berfungsi sebagai pengatur utama seluruh proses analisis
kebijakan.[11]
2.Konsep Subsidi
Subsidi adalah pembayaran yang dilakukan
pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu
yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam
kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Secara ekonomi,
tujuan subsidi adalah untuk mengurangi harga atau menambah keluaran (output).[12]
Kemudian menurut Suparmoko, subsidi (transfer) adalah salah
satu bentuk pengeluaran pemerintah yang juga diartikan sebagai pajak negatif
yang akan menambah pendapatan mereka yang menerima subsidi atau mengalami
peningkatan pendapatan riil apabila mereka mengkonsumsi atau membeli
barang-barang yang disubsidi oleh pemerintah dengan harga jual yang rendah.
Subsidi dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu subsidi dalam bentuk uang (cash
transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind
subsidy).[13]
3.Fungsi
pemerintah dalam distribusi
Peranan pemerintah dalam bidang alokasi adalah untuk
mengusahakan agar alokasisumber-sumber ekonomi dilaksanakan secara efisien.
Peranan lain pemerintah adalah sebagai alat distribusi pendapatan atau
kekayaan.distribusi pendapatan tergantung dari pemilikan faktor-faktor produksi,
permintaan dan penawaran faktor produksi, system warisan dan kemampuan
memperoleh pendapatan. Kemampuan memperoleh pendapatan tergantung dari
pendidikan, bakat dan sebagainya sedangkan warisan tergantung dari hukum yang
berlaku. Pemilikan faktor produksi sebagai sumber pendapatan tergantung dari
permintaan akan faktor produksi dan jumlah yang ditawarkan oleh pemilik faktor
produksi. Permintaan dan penawaran akan faktor produksi menentukan harga akan
faktor produksi menentukan harga dari faktor produksi yang bersangkutan.
Permintaan akan suatu faktor produksi tergantung dari teknologi. Apabila
teknologi dalam menghasilkan suatu barang adalah teknologi padat karya, maka
permintaan akan tenaga kerja relative lebih besar dari pada permintaan akan
modal, dan pengusaha bersedia membayar tenaga kerja relative lebih besar dari
pada modal sebaliknya untuk faktor produksi modal. Penawaran suatu faktor
produksi tergantung dari pemilikan faktor produksi dan jumlah yang ditawarkan.
Semakin banyak jumlah yang di tawarkan, semakin rendah harga yang didapat oleh
pemiliknya.[14]
Distribusi pendapatan dan kekayaan yang di timbulkan oleh
system pasar mungkin dianggab oleh masyarakat tidak adil. Masalah kedilan dalam
distribusi pendapatan merupakan masalah yang rumit dalam ilmu ekonomi. Ada
sebahagian ahli ekonomi berpendapat bahwa masalah efesiensi harus di pisahkan
dari masalah keadilan,atau dengan arti kata lain, masalah keadilan dan masalah
efesiensi adalah berkebalikan. Perubahan ekonomi dikatakan efisien apabila
perubahan yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan suatu golongan dalam dalam
masyarakat dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak memperburuk keadaan
golongan orang lain. Pemerintah dapat merubah distribusi pendapatan secara
langsung dengan pajak progresif, yaitu relative beban beban pajak yang lebih
besar bagi yang kaya dan relative lebih ringan bagi yang miskin. Pemerintah
dapat juga secara tidak langsung mempengaruhi distribribusi pendapatan dengan
kebijaksanaan pengeluaran pemerintah misalnya perumahan murah untuk golongan
pendapatan tertentu, subsidi pupuk untuk petani dan sebaginya.[15]
BAB
II
MASALAH
PUPUK BERSUBSIDI DI SULAWESI TENGGARA
Permintaan pupuk oleh
petani yang terus meningkat menuntut
peningkatan volume produksi pupuk dan penyesuaian kebijakan perdagangan pupuk
dalam upaya menjaga kontinuitas pasokan pupuk. Anggaran dari pusat yang berasal dari APBN untuk subsidi puput
belum belum maksimal membantu petani, sehingga untuk memperkecil persoalan yang
dihadapi oleh petani pemerintah propinsi melalui APBD melakukan penambahan
terhadap subsidi pupuk, akan tetapi hal itu belum mampu mengatasi permasalahan
yang ada. Kasus kelangkaan pupuk merupakan fenomena yang terjadi secara
berulang-ulang hampir setiap tahun, melonjaknya harga pupuk di tingkat petani jauh di atas
Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, penyelewengan pupuk
bersubdisi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan lain lain
sebagainya dan persolan lain adalah masih kurangnya pengawasan dari pemerintah
terhadap harga pupuk di pasaran.
2.1 Situasi
Masalah
Implementasi pupuk bersubsidi di Sulawesi Tenggara tidak
tepat waktu dan tidak tepat sasaran dan petani mengalami kesulitan dalam
mendapatkan Pupuk bersubsidi di Sulawesi Tenggara.
2.2 Meta
Masalah masalah
Adapun
meta masalah dari kebijakan pupuk bersubsidi adalah sebagai berikut :
a. Para petani mengalami kesulitan
dalam mendapatkan pupuk bersubsidi.
b. Terjadi penyeludupan pupuk
bersubsidi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab
c. Terjadi penyimpangan dalam proses
pendistribusian pupuk bersubsidi.
d. Terjadi kelangkaan terhadap pupuk
bersubsidi
e. Distribusi pupuk bersubsidi tidak
tidak tetap sasaran
f. System pengawasan dalam kebijakan
pupuk bersubsubsidi sangat lemah.
g. Terjadi penimbunan pupuk
bersubsidi oleh masyarakat.
2.3 Masalah
subtantif
Untuk
melihat secara mendetail masalah kebijakan pupuk bersubsidi adalah dapat
diidentifikasi dengan melakukan pendekata-pendekatan sebagai berikut :
a. Dari sisi fungsi pemerintah
sebagai fungsi distribusi barang dan jasa tidak berjalan secara maksimal,dalam
hal ini distribusi Pupuk bersubdisi itu tidak berjalan secara efektif dan
maksimal.
b. Dari sisi ekonomi, para petani
sangat sulit mendapatkan pupuk bersubdisi itupun untuk mendapatkan pupuk
bersubsidi sangat mahal melebihi dari harga yang telah ditentukan layaknya harga
pupuk bersubdisi.
c. Dari sisi financial, bahwa
pemerintah telah melakukan subdisi terhadap pupuk tetapi harga dipasaran untuk
petani pupuk itu sangat mahal dan tidak mudah di jangkau oleh para petani.
2.4 Masalah
Formal
Berdasarkan dari situasi masalah,
meta masalah dan masalah subtantif dari kebijakan pupuk bersubsidi, maka yang
menjadi masalah formalnya adalah “Bagaimana Efektifitas Implementasi Kebijakan pupuk bersubdisi di Profinsi Sulawesi tenggara
sehingga dengan subsidi pupuk tersebut
mampu diaskses oleh seluruh masyarakat petani dengan tetap waktu dan tepat
sasaran.
2.5 Tujuan
Kebijakan
Adapun tujuan kebijakan yang
berkaitan dengan kebijakan pupuk bersubsidi di Sulawesi Tenggara adalah sebagai
berikut :
a. Memamfaatkan pupuk secara optimal
dengan memberikan pupuk bersubdisi secara efektif.
b. Mengevaluasi kebijakan-kebijakan
yang tidak memberikan dampak yang positif bagi masyarakat.
c. Membuat formulasi yang berkaitan
dengan pupuk bersubsi di Sulawesi tenggara.
d. Mendesain kebijakan-kebijakan
yang berkaitan dengan kebijakan didistribusi pupuk bersubsidi di Sulawesi
Tenggara.
e. Memberikan kepastian bahwa
kebijakan distribusi pupuk bersubsidi tetap waktu dan tepat sasaran
f. Dengan adanya kebijakan pupuk
bersubdisi mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2.6 Sasaran
Kebijakan
Adapun
yang menjadi sasaran kebijakan pupuk bersubsidi adalah para petani ekonomi
lemah dan petani kelas menengah.
Supaya tujuan kebijakan tercapai dengan baik, maka
sasaran kebijakan harus dilakukan dengan melakukan langkah-langka sebagai
berikut :
1. Partisipasi langsung dari
masyarakat dalam hal penyampaian tuntutan/ aspirasi melalui DPR Pusat mapun
daerah karena peran serta masyarakat ini
sangat memberikan nilai positif agar apa yang diinginkan oleh masyarakat itu
tercapai.
2. Melakukan evalalusi terhadap
kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat atau bersentuhan langsung dengan
rakyat.
BAB
III
ALTERNATIF KEBIJAKAN PUPUK BERSUBSIDI DI
SULAWESI
TENGGARA
Setelah merumuskan
permasalahan dan menentukan tujuan dan sasaran kebijakan, maka selanjutnya
adalah menentukan fariabel-fariabel untuk menentukan tingkat manipulasi yang
dapat dijadikan sebagai alterlatif kebijakan. Adapun variabel-variabel
kebijakan untuk mengatasi permasalahan kebijakan pupuk bersubsidi adalah
sebagai berikut :
1.
Mengekfektifikan dan memaksimalkan kebijakan pupuk
bersubsidi.
2.
Melakukan pengawasan dalam pendistribusian pupuk
bersubsidi.
3.
Distribusi pupuk dengan tepat waktu dan tepat sasaran
4.
Partisipasi dari
masyarakat dalam menyampaikan pendapat dan gagasan
5.
Sistem penetapan harga pupuk bersubsidi.
Kemudian menentukan tingkat manipulasinya dengan
variabel kebijakan adalah sebagai berikut :
1.
Sedang
2.
Tinggi
3.
Rendah
Matrik 1
Metode May ( Feaslible Manipution )
VARIABEL KEBIJAKAN
|
TINGKAT MANIPULASI
|
||
Rendah
|
SEDANG
|
Tinggi
|
|
Aspek Legalitas
|
Permedag No 03/ M-DAG/Per/ 2/2006
|
Permentan Nomor 50 Tahun 2009
|
Peraturan Menteri Pertanian
(Permentan)
No.32 Tahun 2010
Dan Peraturan daerah.
|
Tingkat Partispasi Masyarakat.
|
Partisipasi dilakukan dengan Perwakilan dari DPR/ DPRD
|
Partisipasi dilakukan oleh pemerintah DPR/ DPRD dan beberapa kelompok
masyarakat.
|
Partisipasi dilakukan melalui dewan Perwakilan DPR/ DPRD dan Partisipasi
dari masyarakat, aspirasi disampaikan secara langsung kepada pemerintah.
|
Pengawasan Pemerintah
|
Dari pemerintah pusat
|
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah
|
Pemerintah Pusat, pemerintah daerah dan stakeholders
|
Sistem Distribusi Pupuk
|
Dari pemerintah Pusat
Sifat distribusi pasif
Dan semi tertutup
|
Distribusi pupuk langsung diserahkan kepada pemerintah Daerah Baik
Pemerintah Propinsi maupun pemerintah Kabupaten
|
Kewenangan distribusi pupuk langsung diserakan kepada pemerintah daerah
dan pertanggung jawab distribusi tersebut sampai ketangan petani,
sistem distribusi bersifat tertutup
|
Dari analisa metode May
tersebut sehingga dapat kita membuat dan meneruskan alternaltif kebijakan
dengan memberikan solusi alternaltif terhadap kebijakan pendistribusian pupuk
bersubsidi.
Adapun alternative kebijakan
pendistribusian pupuk adalah sebagai berikut :
- Status Quo
- Disentralisasi kepada pemerintah Daerah.
- Kolaborasi antara Pemerintah Pusat dan swasta
Matrik II
Metode May ( Rekomendasi Variabel Kebijakan )
Variabel Kebijakan
|
ALTERNATIF KEBIJAKAN
|
||
Status Quo
|
Desentrlisasi Kepada Pemerintah Daerah
|
Kolaborasi antara Pemerintah Pusat dan Swasta
|
|
Aspek Legalitas
|
Tinggi,
Peraturan Menteri Pertanian
(Permentan)
No.32 Tahun 2010
Otoritas pemerintah sangat kuat
sekali.
|
Tinggi
|
Rendah
|
Tingkat Kesejahteraan Masyarakat
|
Sedang
|
Tinggi
|
Rendah
|
Sistem distribusi Pupuk
|
Tertutup tetapi belum optimal
|
Tertutup
|
Terbuka
|
Biaya/ anggaran
|
Sedang
|
Tinggi
|
Rendah
|
BAB
IV
ALTERNATIF
TERPILIH ATAU TINDAKAN KEBIJAKAN
4.1. Evaluasi beberapa Alternatif
Kebijakan
Dalam mencari beberapa alternative kebijakan maka
maka dapat digunakan beberapa criteria di bawah ini adalah sebagai berikut :
1. Economic atau Financial Possibility.
Dalam kriteria Financial
Possibiltiy mencoba dan melihat serta
mengukur efisiensi penggunaan pupuk
bersubsidi. Dengan adanya subsidi pupuk sejauh mana anggaran yang disediakan
oleh pemerintah mampu itu mampu untuk mengurangi beban petani dan dengan
merumuskan alternatif kebijakan ini seberapa besar profit yang didapatkan
dengan kebijakan tersebut.
2. Tecnical Feasibility
Dalam kriteria Tehnical
Feasibilitiy ini berkaitan dengan efektifitas alternatif implementasi kebijakan
pupuk bersubsidi di Sulawesi tenggarayang agar sesuai dengan harapan
masyarakat, tepat waktu dan tepat
sasaran. Dan dalam kriteria ini melihat kemampuan alemen-elemenen yang dapat
menunjang untuk mengefektifkan implementasi kebijakan pupuk bersubsidi di
proponsi sulawesi tenggara.
3. Polical Viabililty.
Dalam criteria Politcal viability ini berkaitan dengan kebijakan pupuk
bersubdisi menyangkut hal-hal sebagai
berikut :
a.
Dengan kebijakan pupuk bersubsidi
tersebut mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan hal ini sejauh mana
responsivitas yang pemerintah dalam menangani kebutuhan pupuk bersubsidi
terhadap masyarakat petani.
b.
Dengan kebijakan pupuk bersubsidi
tersebut apakah resiko politik sangat besar, atau kecil, karena ketika resiko
politiknya besar kemugkinan kecil kebijakan Pupuk bersubdisi tersebut diterima
oleh masyarakat, begitu juga dengan sebaliknya ketika resiko politiknya kecil,
maka besar kemungkian kebijakan pupuk bersubsidi tersebut diterapkan
dimasyarakat.
c.
Dengan kebijakan pupuk bersubsidi tersebut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan konstitusi. Bahwasanya dengan kebijakan pupuk tersebut sangat
membantu masyarakat untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.
4.Administrative Operability
Dalam
administratif operability ini menyangkut kelayakan admnistratif, adapun kelayakan administratif tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Dalam pelaksanaak kebijakan pupuk bersubsidi dalam
menaikan HET ( harga Ecerann tinggi berpedoman pada Peraturan Menteri Pertanian
(Permentan) No.32 Tahun 2010 perubahan
Permentan No 50/2009.
b.Kebijakan Pupuk bersubsidi memiliki otoritas yang
penuh dari pemerintah
c. Dengan adanya kebijakan pupuk bersubsidi,komitmen
pemerintah dapat membantu menyelesaiakan permasalahan-permasalahan berkaitan
dengan kebutuhan akan pupuk oleh petani.
5.Legal Feasibility
Kriteria legal feabilityy ini berkaitan dengan
kelayakan hukum. Kelayakan hukum berkaitan dengan kebijakan pupuk bersubsidi
mengenai konstitusi –aturan yang yang digunakan dalam mengeluarkan kebijakan
Pupuk bersubsidi.
Untuk lebih jelas mengenai beberapa
kriteria tersebut diastas, dapat dilihat dalam matriks diawah ini, sebagai
berikut :
4.1.1.Matrik evaluasi alternatif Kebijakan Berdasarkan Kriteria
Economic atau Financial Possibility
Matriks
III
Evaluasi alternatif Kebijakan Berdasarkan Kriteria Economic atau Financial Possibility
Evaluasi alternatif Kebijakan Berdasarkan Kriteria Economic atau Financial Possibility
Variabel Kebijakan
|
ALTERNATIF KEBIJAKAN
|
||||
STATUS QUO
|
Desentralisasi KePemerintah
Daerah
|
Kolaborasi Antara Pemerintah
Pusat dan Swasta
|
|||
Economic/Financial
Possibility.
|
|||||
1. Efesiensi sumber Anggaran
Kebijakan Pupuk Bersubsidi
Profit.
|
tinggi, dengan biaya yang
digunakan dari APBN sebesar sebesar 11,3 triliun
|
sedang
anggaran berasal Dari APBN dan
APBD
|
Sedang,
.anggaran yang dikeluarkan oleh
swasta sangat kecil sekali.
Dan keuntungan yang didapatkan
oleh pihak swasta.
|
||
1.Alternatif Status Quo
Dalam pengambilan kebijakan
tersebut biaya yang digunakan dengan menggunakan anggaran APBN 2010 sebesar 11,
3 triliun ini mengalami penurunan ketika di bandingkan dengan anggaran Subsidi
Pupuk Tahun 2009 sebesar 17,5 triliun,tetapi untuk menyeimbangkan harga pupuk
di tingkat nasional pemerintah daerah propinsi Sulawesi tenggara menambah
anggaran untuk pupuk bersubsidi sebesar 5 milliar rupiah.
Proses pengambilan kebijakan
dalam bentuk dan kondisi ini semua beban biaya dibebankan pada alokasi pada
anggaran APBN.
2. Alternatif Desentralisasi kePemerintah Daerah
Dalam alternatif ini anggaran untuk pupuk bersubsidi berasal dari
APBN dan APBD daerah. Dengan adanya dana perimbangan dari pemerintah pusat maka
akan sangat membantu sekali daerah dalam mengurangi beban petani dengan
melakukan pupuk bersubsidi. Dan disamping adanya dana pemerimbangan dari
pemerintah pusat tambah dengan Anggaran pendapatan dan belanja daerah ( APBD )
Propinsi. Penambahan ini dilakukan untuk mencukupi anggaran pembiayaan pupuk
bersubsidi.
3.Alternatif Kolaborasi antara pemerintah Pusat dan Pihak swasta
Alternatif ini, anggaran yang dikeluarkan oleh pihak
swasta sangat sedikit sekali.pihak
swasta dalam melakukan subsidi pupuk tidak melihat seberapa besar kebijakan
tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tetapi lebih melihat
apakah dengan kebijaka tersebut mampu mendapatkan keuntungan pihak swasta.pemerintah
pusat dan pihak swasta menjalin kerja sama dalam melakukan subsidi, akan tetapi
pihak swasta selalu berusaha mencari keuntungan dengan kerja sama ini.Dalam
alternatif ini keuntungan didapatkan oleh pihak swasta.
4.1.2 Matriks Evaluasi Tecnical Feasibility
Matriks
IV
Matriks Tecnical Feasibility
Matriks Tecnical Feasibility
Variabel Kebijakan
|
ALTERNATIF KEBIJAKAN
|
||
Status Quo
|
Di Serahkan kepada pemerintah Daerah.
|
Di Serahkan Kepada Pihak Swasta.
|
|
Tecnical Feasibility
|
|||
1. Efektifitas Kebijakan Pupuk
bersubsidi
2. Kemampuan dalam memanajemen
Kebijakan Pupuk bersubsidi
|
sedang, belum maksimal dalam
melaksanakan kebijakan subsidi pupuk
kemampuan dalam manajemen pupuk sedang
|
Tinggi, mampu melaksanakan
kebijakan pupuk bersubdisi dengan mengetahui secara langsung pendataan
seluruh petani
Kemampuan dalam manajemen
tinggi
|
Sedang, mampu melaksakan tetapi
pengelolaannya lebih memberatkan masyarakat petani.
Sedang,
.
|
1.Alternatif Status Quo.
Dalam alternatif kebijakan status Quo ini, pemerintah
dalam melaksanakan kebijakan pupuk bersubsidi masih kurang maksimal. Hal
tersebut di tandai dengan masih adanya kelangkaan pupuk sekarang ini, harga
pupuk melebihi Harga Eceran Tertinggi dan lain sebagainya.kemudian kurangnya
pengawasan dari pemeritah dalam menangani pendistribusian dari pupuk
bersubsidi.akan tetapi tidak bisa dipungkiri kebijakan pupuk bersubsidi sudah
mengalami tahap-tahap perbaikan di bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnnya.
3. Desentralisasi Kepada Pemerintah Daerah.
Dalam alternatif kebijakan pupuk
bersubdisi dalam hal ini di serahkan kepada pemerintah daerah, dimana daerah
memiliki kewenangan dalam mengatur
kebijakan pupuk bersubsidi. Pemerintah pusat hanya sebagai pemberi dana perimbangan
pupuk bersubsidi tetapi yang mengelola secara penuh adalah pemerintah daerah.
Pendataan para petani yang berhak untuk memperoleh subsidi pupuk tersebut dapat
dilakukan oleh pemeritah daerah, karena sangat jelas pemerintah daerah
mengetahui secara pasti para petani. Dan sangat jelas pemerintah daerah secara
langung bersentuhan langung dengan masyarakat petani.
4. Kolaborasi
Pemerintah Pusat dan Swasta.
Kebijakan pupuk bersubsidi yang
ditawarkan dalam alternatif kebijakan ini dalam hal kolaborasi antara
pemerintah pusat dan dalam manajemen pengelolaannya sangat baik dan service
yang diberikan kepada masyarakat itu sangat baik akan tetapi subsidi pupuk yang
diberikan kepada pihak swasta sangat minim sekali. Hal tersebut karena pihak
swasta berusaha semaksimal mungkin dengan biaya yang sekecil kecilnya untuk
mendapatkan keuntungan sebesar besar. Jadi sangat jelas ketika subsidi pupuk
tersebut diserakan kepada pihak swasta maka akan terjadi liberalisasi pupuk, dimanah
Harga pupuk akan ditentukan oleh pihak swasta,,pemerintah pusat ketika
melakukan intervensi,tetapi tidak terlalu berpengaruh.
4.1.3.Matrik evaluasi alternatif Kebijakan Berdasarkan Kriteria
Polical Viabililty.
Matriks V
Polical Viabililty
Polical Viabililty
Variabel Kebijakan
|
ALTERNATIF KEBIJAKAN
|
|||
Status Quo
|
Desentralisasi kepada pemerintah Daerah.
|
Kolaborasi antara Pemerintah Pusat dan Swasta Swasta.
|
||
Polical Viabililty.
|
||||
1. Responsivitas pemerintah dalam
menangani kebutuhan pupuk bersubsidi terhadap masyarakat petani
2. Resiko politik
|
Tinggi
tinggi
|
Tinggi,
sedang
|
sedang.
tinggi.
.
|
|
a. Alternatif Status Quo
Dalam alterntif kebijakan status qua ini kebijakan pupuk bersubsidi resiko
politiknya sangat tinggi sekali, sehingga ketika resiko politiknya sangat
tinggi kemungkinan besar kebijakan pupuk bersubsidi akan akan mengalami
perubahan atau dilakukan revisi ulang terhadap kebijakan tersebut. Secara
nasional resiko politik kebijakan pupuk bersubsidi dapat di lihat dari berbagai
daerah melakukan protes terhadap kebijakan tersebut karena tidak sesuai dengan
harapan masyarakat. Dimana kebijakan tersebut sangat memberatkan masyarakat
karena seharusnya subsidi tersebut dapat membantu masyaarakat petani tetapi realitasnya
hanya sebahagian saja yang menerima dampak positifnya dari kebijakan tersebut.
Pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk menangani kebutuhan akan pupuk
bersubsidi terhadap masyarakat petani,hal tersebut dapat dlihat dari usaha
pemerintah telah beberapa kali melakukan perubahan mengenai kebijakan subsidi
pupuk. Perubahan tersebut mengindikasikan bahwa respon pemerintah agar
masyarakat petani bisa mampu
memenuhi kebutuhan akan ketersediaan pupuk bersubsidi..
b. Desentralisasi Kepada Pemerintah Daerah
Ketika di serakan kepada
pemerintah daerah mengenai kebijakan pupuk bersubsidi maka responsivitas
pemerintah daerah terhadap pupuk untuk masyarakat petani itu sangat besar
sekali. Daerah berusaha semaksimal mungkin
agar petani dapat mendapatkan pupuk sesuai dengan harapannya. Untuk
mewujudkan tersebut tentunya pemerintah daerah melakukan pendataan terhadap
para petani yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi.pendataan tersebut
dilakukan oleh pemerintah propinsi terhadap kabupaten-kabupaten yang sangat
membutuhkan subsidi pupuk. Dengan sikap pemerintah daerah seperti itu tentunya mendapatan
tanggapan yang baik oleh masyarakat.
c. Kolaborasi antara Pemerintah Pusat dan swasta
Dalam
alternatif kebijakan pupuk bersubsidi kolaborasi antara pemerintah pusat dan
swasta, respon terhadap akan kebutuhan pupuk oleh masyarakat petani sangat
minim sekali.hal tersebut dapat di lihat pihak swasta berusaha melakukan
liberalisasi pupuk. Kebijakan- kebijakan yang di buat berkaitan dengan pupuk
berusaha agar di liberalisasikan.ketika kebijakan pupuk tersebut diserakan
kepada pihak swasta tentunya akan terjadi protes yang cukup besar oleh masyarakat,
akan terjadi gerakan-gerakan protes, demostrasi menuntut kebijakan
tersebut.dengan kata lain resiko politik ketika di serahkan kepada pihak swasta
sangat besar sekali, bahkan menyebabkan keadaan politik masyarakat tidak
terkendali
4.1.4.Matrik evaluasi
alternatif Kebijakan Berdasarkan Kriteria Administrative Operability
Matriks VI
Administrative Operability
Administrative Operability
Variabel
Kebijakan
|
ALTERNATIF
KEBIJAKAN
|
|||
Status
Quo
|
Desentralisasi
kepada pemerintah Daerah.
|
Kolaborasi
antara Pemerintah dan Swasta.
|
||
.
Administrative Operability
|
||||
1.komitmen pemerintah
2.dukungan dari masyarakat
|
Tinggi
|
Tinggi,
Dukungan dari masyarakat sangat
tinggi sekali.
|
rendah.
.
.
Dukungandari masyarakat rendah.
|
|
a.
Alternatif status Quo
Alternatif status Quo
Dalam alternatif kebijakan status quo ini pemerintah dalam melaksanakan
kebijakan pupuk bersubsidi berpatokan pada Menteri Pertanian
(Permentan) No.32 Tahun 2010,
dimana Harga eceren tertinggi tersebut
mengalami kenaikan sebesar 35 %. Kenaikan tersebut dilakukan untuk meningktakan
efesiensi pupuk dan mengurangi distorsi harga pupuk dipasar akibat disparitas
harga pupuk bersubsidi dan pupuk non subsidi serta Dalam rangka meningkatkan
efisiensi penggunaan pupuk, mengurangi distorsi pasar pupuk akibat disparitas
harga pupuk bersubsidi
Dengan kenaikan 35 % , maka harga pupuk
misalnya saja HET pupuk urea
dari harga sebelumnya Rp1.200 naik
menjadi Rp1.600/kg, pupuk SP-36 dari Rp1.550 menjadi Rp2.000/ kg. tetapi dari
kenaikan tersebut tidak kondisi masyarakat dimana dengan kenaikan HET ( harga
eceran tersebut ) menyebabkan banyak masyarakat tidak mampu lagi membeli pupuk
tersebut. Walaupun kenaikan harga pupuk tersebut dibarengi dengan kenaikan
harga Gabah beras.
b.Alternatif Desentralisasi kepada Pemerintah Daerah
Dalam
alternatif kebijakan ini ketika diserkan kepada pemerintah daerah, tentunya
dengan kebijakan subsidi pupuk tersebut pemerintah berkomitmen ingin
meningktakan kesejahteraan masyarakat petani.
Pemerintah
berusaha semaksimal mungkin menyediakan pupuk bersubsidi,pemerintah daerah
melakukan pengawasan distribusi pupuk sampai ketangan petani,mengawasi harga
pupuk bersubsi di lapangan, dan mengawasi jangan sampai terjadi penimbunan
pupuk bersubsidi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Intinya
ketika kebijakan pupuk bersubsidi di beri kewengan kepada pemerintah daerah
dalam menajemen maka tentunya pemerintah daerah mempunyai kemampuan untuk
mengatasi kebutuhan masyarakat.Dengan
kebijakan pemerintah daerah seperti itu tentunya dukungan dari masyarakat
sangat tinggi, karena kebijakan tersebut sangat memberikan kontribusi yang
cukup besar terhadap masyarakat petani.
c. Alternatif di Kolaborasi Pemerintah Pusat dan pihak
swasta
Alternatif
kebijakan ketika kolaborasi antara pemerintah pusat dan pihak swasta ini tentu
komitmennya sangat rendah sekali. Lagi lagi saya katakan bahwa komitmen swasta
berusaha agar mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya apalagi berkaitan
dengan kebijakan pupuk, bukan untuk mensejahterakan masyarakat walaupun
kebijakan yang di keluarkan pihak swasta tersebut sedikit memberi kemudahan
dalam penyediaan pupuk. Dengan model kebijakan tersebut tentunya dukungan dari
masyarakat sangat rendah sekali, karena masyarakat hanya mendukung terhadap
kebijakan-kebijakan yang dapat mensejahterakan masyarakat dengan memudahkan
dalam penyediaan pupuk bersubsidi
4.1.5. Matrik evaluasi
alternatif Kebijakan Berdasarkan Kriteria Legal Feasibility
Matrik VII
Kriteria Legal Feasibility
Kriteria Legal Feasibility
Variabel
Kebijakan
|
ALTERNATIF
KEBIJAKAN
|
|||
Status Quo
|
Modifikasi
|
Di
Serahkan kepada pemerintah Daerah.
|
Di
Serahkan Kepada Pihak Swasta.
|
|
Legal Feasibility
|
||||
1. Konstitusi/ aturan
|
Sedang,
Mengikuti Peraturan
Menteri Pertanian (Permentan) No.32 Tahun 2010.
|
Rendah
undang- undang atau peraturan
yang dibuat lebih beroentasi pada pasar.
|
Sedang,
Mengikuti Peraturan
Menteri Pertanian (Permentan) No.32 Tahun 2010.
Dan peraturan
daerah
|
Rendah
Undang undang yang di buat
lebih berpatokan pada pasar.
.
.
.
|
a. Alternatif Status Quo
Dalam alternatif status quo
kebijakan pupuk bersubsidi berpedoman pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.32 Tahun
2010, dimana telah terjadi beberapa kali pergantian peraturan perundan-undangan
b. Alternatif De sentralisasi kepada pemerintah daerah.
Dalam alternatif kebijakan diserahkan
kepada pemerintah daerah Mengikuti Peraturan
Menteri Pertanian (Permentan) No.32 Tahun 2010. Dalam peraturan menteri pertanian itu belum mengatur secara keseluruhan
peraturan dan untuk mengantur secara keseluruhan kebijakan pupuk bersubsidi
maka diperlukan peraturan daerah. Peraturan daerah ini dapat lebih mengatur
secara jelas lagi tentang kebijakan
pupuk bersubsidi.
c. Alternative Kolaborasi antara
pemerintah Pusat dan pihak swasta.
kebijakan
kebijakan yang dibuat tentu lebih menguntungkan kepada piha swasta, dimana
kebijakan- kebijakan lebih berorentasi kepada pasar. Ketika kebijakan kebijakan
berorentasi pada pasar maka kebutuhan akan pupuk untuk petani di
liberalisasikan, dan ini jelas sangat merugikan masyarakat.
Kemudian setalah itu kita menentukan penilaian dari masing masing kriteria
alternatif adalah sebagai berikut :
Matriks VIII
Penilaian Kriteria Alternatif
Variabel kebijakan
|
ALTERNATIF KEBIJAKAN
|
||
STATUS QUO
|
Desentralisasi Kepada Pemerintah Daerah
|
Kolaborasi Antara pemerintah
Pusat Dan Swasta
|
|
Efesiensi sumber Anggaran
|
Tinggi
|
sedang
|
Sedang
|
1. Efektifitas Kebijakan Pupuk
bersubsidi
|
Sedang
|
tinggi
|
Sedang
|
Kemampuan dalam memanajemen Kebijakan Pupuk bersubsidi
Responsivitas
pemerintah dalam menangani kebutuhan pupuk bersubsidi terhadap masyarakat
|
Sedang
tinggi
|
Tinggi
tinggi
|
Sedang
Sedang
|
Resiko politik
|
tinggi
|
sedang
|
tinggi
|
Komitmen pemerintah
|
Sedang
|
tinggi
|
Rendah
|
Dukungan dari masyarakat
|
Sedang
|
tinggi
|
Rendah
|
Konstitusi / peraturan
|
Sedang
|
tinggi
|
Rendah
|
Tingkatan skor / nilai yang diberikan
dari kriteria yang diberikan
diatas adalah sebagai berikut :
a.tinggi skornya 3
b. sedang skornya
c. rendah skornya 1
Matriks IX
Skor dari Kriteria kebijakan.
Kriteria Kebijakan
|
S K
O R
|
||
Status Qua
|
Desentralisasi kepada
Pemerintah Daerah
|
Kolaborasi Antara Pemerintah
Pusat dan Swasta
|
|
Economic/Financial Possibility.
-
Efesiensi sumber anggaran
|
3
|
2
|
2
|
Tecnical Feasibility
- Efektifitas Kebijakan Pupuk
bersubsidi
-
Kemampuan dalam memanajemen Kebijakan Pupuk bersubsidi
|
2
2
|
3
3
|
2
2
|
Polical Viabililty
-
Responsivitas pemerintah dalam menangani
kebutuhan pupuk bersubsidi terhadap masyarakat
-
Resiko politik
|
3
3
|
3
2
|
2
3
|
Administrative Operability
-
Komitmen pemerintah
-
Dukungan dari masyarakat
|
2
2
|
3
3
|
1
1
|
Legal Feasibility
-
Konstitusi / peraturan
|
2
|
3
|
1
|
J U M L A H :
|
19
|
22
|
14
|
4.2
Alternatif Terbaik Sebagai Tindakan Kebijakan
Dalam memilih
alternatinf kebijakan perlu adanya
kapasitas, kapabilitas, kecerdasan dan kecermatan melihat konteks
keadaan pada saaat itu, sehingga dalam merumuskan kebijakan mampu di terima
oleh berbagai kalangan maupun masyarakat secara umum.sama halnya dengan ketika
memilih alternative kebijakan Pupuk bersubsidi di Sulawesi Tenggara.pengukuran
terhadap criteria kebijakan yang telah di nilai diatas mengenai kebijakan pupuk
bersubsidi di Sulawesi tenggara dapat kita lihat dan penilian tersebut dari
beberapa criteria alternative tersebut.
Alternative kebijakan
status quo, sangat terlihat jelas bahwa bahwa terjadi efesiensi sumber anggaran
APBN, dimana terjadi pengurangan subsidi dimana pada tahun 2009 anggaran untuk
subsidi pupuk sebesar 17,5 triliun tetapi pada tahun 2010 anggaran tersebut di
perkecil dengan total Rp 11,3 triliun.kebijakan pengurangan tersebut
diperlakukan dengan berbagai macam pertimbangan-pertimbagan diantaranya
mencegah terjadinya kenaikan harga ecerana tertinggi yang dilakukan oleh oknum-oknum
yang tidak bertanggung jawab dan lain-lain sebagainya. Pemerintah berusaha
semaksimal mungkin mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat petani
dengan menyediakan pupuk bersubdisi.respon pemerintah terhadap kebijakan pupuk
bersubsidi dengan melakukan upaya-upaya agar pupuk bersubsidi sampai ketangan
masyarakat petani.
Yang menjadi pertimbangan dalam
alternative status quo ini adalah resiko politiknya terlalu besar dimana
terjadi pro dan kontra mengenai kebijakan tersebut, yang sebahagian besar
menolak kebijakan pupuk bersubsidi. Penolakan tersebut karena terjadi kenaikan
harga eceran tertinggi ( HET ) terhadap pupuk, dan ini jelas-jelas sangat
merugikan masyarakat. Dari hal tersebut tentunya kebijakan tersebut tidak terlalu
mendapat dukungan dari masyarakat. Kebijakan yang mendukung terhadap kenaikan
harga eceran tertinggi pada umumnya mereka yang merasa di untungkan oleh
kebijakan tersebut.
Dalam
Alternative kebijakan kolaborasi antara pemerintah pusat dan kepada pihak swasta banyak sekali
kelemaha-kelemahannya diantaranya komitmen dari pemerintah ketika diserahkan
kepada pihak swasta jelas sangat
rendah,karena segala sesuatunya sudah diserahkan kepada pihak swasta.
Apalagi mengenai dukungan dari masyarakat sangat kecil sekali.
Dari nilai atau skor
dari beberapa alternative kebijakan yang ditawarkan untuk dengan melihat
berbagai kelebihan dan kelemahan dari beberapa alternative kebijakan maka
pilihan kebijakan dari beberapa alternative kebijakan yang akan dijadikan sebagai
alternative terbaik sebagai tindakan kebijakan dalam melaksanakan kebijakan
pupuk bersubsidi di Sulawesi tenggara adalah Alternatif kebijakan di serahkan
kepada pemerintah daerah.
Pilihan tersebut didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut.
1. Dari sisi efektivitas,pengelolaan
kebijakan subsidi pupuk pemerintah daerah mampu mengatasi permasalah-permasalah
yang dihadapai oleh petani, dan mampu menjawab segala kebutuhan masyarakat
petani, karena jelas pemerintah daerah melakukan pengawasan distribusi pupuk
tersebut sampai ketangan petani, dengan melakukan pendataan kepada
petani-petani yang berhak memperoleh subsidi pupuk, dan pemerintah daerah
secara langsung bersentuhan dengan masyarakat petani dan mengetahui kondisi petani.
2. Dari sisi efesiensi,kebijakan
pupuk bersubsidi, anggaran bersumber dari APBN dan APBD. Anggaran pendapatan
dan belanja Negara tidak sepenuhnya mampu untuk membiayai pupuk bersubsidi,
karena kita tahu bahwa APBN itu sangat terbatas, apalagi untuk mensubsidi pupuk
di seluruh Indonesia, sehingga perlu adanya penambahan anggaran dari APBD
daerah. Dengan seperti itu maka penggabungan anggaran mampu mengatasi kebutuhan
akan subsidi pupuk. Anggaran tersebut digunakan sesuai dengan kebutuhan petani
dan keterbatasan anggaran di sesuaikan dengan kebutuhan petani
3. Dari aspek politik, kebijakan
pupuk bersubsidi menjadi pertimbangan karena kebijakan pupuk bersubsidi ketika
diserahkan kepada pemerintah daerah, maka resiko politiknya tidak terlalu
tinggi karena kebijakan tersebut diterima oleh masyarakat. Dan ketika resiko
politiknya rendah kemungkinan kebijakan pupuk tersebut mudah untuk di
implementasikan.
BAB
V
RENCANA
IMPLEMENTASI
Dari alternatif terbaik
sebagai tindakan kebijakan yang telah dianalisis, maka alternative terbaik
adalah kebijakan pupuk bersubsidi diserahkan kepada pemerintah daerah. Dana
perimbangan dari pusat itu mengenai kebijakan pupuk itu masih ada. Tetapi
kebijakan mulai dari perencanaan, pengadaan dan pendistribusian itu dilakukan oleh
pemerintah daerah dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan pupuk
bersubsidi.
Dalam rencana
implementasi efektifitas dan efesiensi
merupakan indicator untuk menilai sejauh mana kebijakan tersebut dapat
memberikan mamfaat bagi masyarakat. Dari sisi efektifitas,misalnya apakah kebijakan pupuk bersubsidi tersebut
memberikan mamfaat bagi masyarakat, apakah kebijakan pupuk bersubdisi tersebut
dapat mengurangi beban masyarakat dan lain lain sebagainya. Dari sisi
efesiensi, bahwa dengan kebijakan pupuk bersubsi tersebut,anggaran yang
digunakan untuk kebijakan pupuk seefesien mungkin dan tepat tepat waktu dan
tepat sasaran,Sehingga anggaran yang digunakan untuk kebijakan tersebut tidak
boros dan tidak terbuang percuma, karena mamfaat yang didapatkan sangat besar
sekali.
Kebijakan pupuk
bersubsidi diserahkan kepada pemerintah daerah dimana daerah melakukan
pengelolaan pupuk maupun distribusi pupuk sampai ketangan masyarakat petani,
distribusi ini di lakukan dengan system distribusi tertutup dimana pemerintah
daerah memiliki data base petani, sehingga penyaluran ( distribsusi ) yang
dilakukukan oleh pemerintah daerah sampai ketangan petani. Pengawasan juga
penting dilakukan karena melihat kasus-kasus yang terjadi diberbagai daerah
sering terjadi penimbunan Pupuk bersubsidi, kekurangan pasokan pupuk, dan
kenaikan harga pupuk yang melebihi Harga Eceran tertinggi. Dengan mengawasan
yang dilakukan oleh pemerintah daerah dilakukan untuk meminimalisir terjadinya
kasus-kasus tersebut.
Untuk itu langkah-langkah
yang harus di lakukan dalam implementasi tindakan kebijakan pupuk bersubsidi
adalah sebagai berikut :
1. Melakukan koordinasi antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan pupuk
bersubsidi.
Pemerintah
pusat dalam merumuskan kebijakan perlu adanya kordinasi dengan pemerintah
daerah karena pemerintah daerah yang lebih mengerti dan faham dengan
persoalan-persolan yang dihadapi oleh petani di didaerah.selama ini yang
terjadi adalah pemerintah daerah hanya tinggal menunggu hasil kebijakan dan
pemerintah daerah. Untuk itu saya kira kordinasi dan komukasi itu penting.
2. Melakukan evaluasi-evaluasi terhadap
kebijakan kebijakan yang tidak memberikan mamfaat bagi petani maupun pemerintah
daerah Karena banyak kebijakan-kebijakan yang tidak pro terhadap petani dan
kebijakan tersebut hanya menghambur-hamburkan anggaran Negara maupun anggaran
daerah. Dan realitas yang terjadi adalah kebijakan tersebut justru memberatkan
petani.
Evaluasi
kebijakan tersebut misalnya melihat sejauh mana kebijakan pupuk tersebut
berjalan, apakah berjalan secara maksimal atau tidak dan lain lain sebagainya.
Sehingga dengan evaluasi kebijakan tersebut mampu mencari solusi terbaik untuk
mengatasi masalah-masalah yang di hadapi oleh petani dan bahkan dengan evaluasi
tersebut mampu merumuskan/ memecahkan persolaan- persoalan yang dihadapi oleh
petani.
3. Melakukan dialog antara
pemerintah daerah dengan masyarakat khususnya petani. Dialong tersebut
membicarakan mengenai manajemen pengelolaan pupuk bersubsidi.Dengan dialong
tersebut tentunya melahirkan gagasan-gagasan kebijakan pupuk bersubsidi. Banyak
mamfaat yang didapatkan dari dialog tersebut misalnya pemerintah mengetahui
seberapa besar kebutuhan akan pupuk oleh masyarakat.
4. Pentingnya Mempersiapkan dan
merumuskan manajemen pengelolaan yang baik.
Dengan
manajemen yang baik pastinya kebijakan pupuk akan berjalan dengan baik.
kekurangan pasokan pupuk, terjadi kelangkaan pupuk dan terjadi kenaikan harga
pupuk itu bisa dihindari.
DAFTAR
PUSTAKA
Mangkoesoebroto, Guritno. 1991. Ekonomi Publik. Yogyakarta : BPFE
Dunn, William N.1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik.
Yogyakarta : Gajah Mada university Press
D, Riant Nugroho, 2007. Analisis
Kebijakan. Jakarta ; Gramedia
Ahmad,Suryana dkk, 1990. Diversifikasi Pertanian Dalam Proses
mempercepat laju pembangunan nasional.
Jakarta : Pustaka sinar halapan
M, Suparmoko. 2003. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktik.
Yogyakarta.BPFE.
Sumber
lain
http://indonesiafile.com. artikel
Bustanul
Arifin ,2009, Babak Baru
Kebijakan subsidi Pupuk
http://mahasiswaekonomiindonesia.blogspot.com.
2009 Tinjauan RAPBN 2010
http://www.depkominfo.go.id
http://kendariekspres.com
http://www.batukar.info
newssultra-subsidi-pupuk-petani
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART7-2b.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar