Pasang surut dinamika hubugan antara legislative
dengan eksekutif selalu terjadi seiring dengan perubahan perundangan tentang
pemerintahan daerah. Pola hubungan legislative dan eksekutif Nampak jelas dari
Undang-Undang Nomor 5/1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah, kemudian
digantikan dengan Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang pemerintahan daerah, dan
akhirnya disusul lahirnya Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang pemerintahan
daerah. Pada masa Orde baru, lembaga legislative lebih banyak menjadi alat dan
harus mengikuti arah kebijakan pemerintah daerah yang sudah dirumuskan oleh
kepala daerah. Dalam posisi yang demikian, maka lembaga legislatif tidak jelas
kedukannya dan fungsinya, sehingga DPRD hanya sebagai alat dan syarat agar
dikatakan sebagai sistem pemerintahan yang demokratis. Demikian juga dalam pola
hubungan antara legislatif dan eksekutif, sekalipun secara formal dikatakan
sebagai kemitraan, namun dalam prakteknya hubungan itu bersifat dominative oleh
kepala daerah. Kedudukan sebagai penguasa tunggal, telah mendudukan kepala
daerah sebagai pengawas berbagai aktivitas social politik, bahkan mengawasi
kinerja dari DPRD itu sendiri. Karena kepala daerah mempunyai dua fungsi yakni sebagai kepala
wilayah yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat dan sebagai
pemimpin daerah. Disamping itu berkaitan dengan kehidupan sistem kepartaian,
kepala daerah adalah Pembina politik tingkat daerah dari golongan karya.karena
menurut UU No 5/1974, DPRD merupakan bagian dari pemerintah daerah, jadi secara
structural dan fungsional terikat kuat dengan ketentuan birokrasi, bahkan
sarana pendukung pelaksanaan tugas DPRD dikendalikan oleh kepala daerah. Dalam posisi yang demikian DPRD tidak mampu
lagi memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat.[1]
Undang-Undang No 5
tahun 1974 menyatakan bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat. Klausal ini jelas menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dalam posisi yang lebih rendah dari Gubernur diPropinsi, Bupati di
Kabupaten, dan Walikota diKotamadya, karena ketika pejabat yang disebut terkhir
ini merupakan aparat pemerintah pusat yang ada didaerah dalam rangka
penyelenggaraan sistem dekosentrasi. Sebagai pejabat pemerintah pusat didaerah
mereka dapat dengan mudah melakukan veto atas nama Presiden, atapun tidak menganggap
ada semua inisiatif kebijaksanaan yang muncul dari lembaga legislatif didaerah.
Apalagi ketika konsep Gubernur sebagai Penguasa Tunggal diberlakukan oleh
Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud.[2]
Ketika diberlakukan UU
No 22 tahun 1999 tentang pe merintahan daerah, yang menggantikan UU No 5 tahun
1974. Menurut UU no 22/ 1999, DPRD dipisahkan dengan pemerintah daerah dengan
kedudukan jelas dan tegas sebagai lembaga legislatif daerah. Hal ini dilakukan
dalam rangka memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggung jawaban Pemerintah
Daerah kepada rakyat., oleh karena itu hak-hak DPRD cukup luas dan diarahkan
untuk menyerap serta menyalurkan aspirasi masyarakat menjadi kebijakan daerah.
Konsekuensinya pola hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif didasarkan
pada prinsip demokratis.artinya DPRD sebagai wakil rakyat mempunyai hak untuk
memilih Kepala Daerah yang akan menjalankan berbagai kebijakan yang telah
digariskan oleh DPRD, sebaliknya Kepala Daerah harus mempertanggung jawabkan
pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan itu kepada DPRD, dan selanjutnya
DPRD bertanggung jawab kepada konstituennya. Sebagai badan legislatif daerah,
DPRD juga mempunyai kewenangan penuh untuk menetapkan Peraturan Daerah.
Selanjutnya Kepala Daerah dan perangkatnya yang menjalankannya. Dalam hal pelaksanaan tugas ini, DPRD juga
mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan. Bahkan jika dalam melakukan
pengawasan DPRD menemukan beberapa penyimpangan, bisa mengajukan usulan
pemberhentian Kepala Daerah, yang diteruskan ke presiden untuk melakukan
pemecatan. Dalam praktek ini sudah banyak kepala daerah yang di diturunkan oleh
DPRD.[3]
Hubungan kekuasaaan/
kewenangan antara kepala daerah dan DPRD diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Satu
diantara paradigma yang berubah dan berbeda antara UU Nomor 5 tahun 1974 dengan
Undang-undang nomor 22 tahun 1999 ialah demokratisasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah, khususnya hubungan badan legislatif dengan badan eksekutif
daerah. Padadigma lama menegaskan bahwa pimpinan eksekutif tidak bertanggung
jawab kepada badan legislatif, malainkan bertanggung jawab kepada presiden
melalui mentri dalam negeri.paradigma baru menegaskan bahwa kepala daerah
sebagai pimpinan badan eksekutif bertanggung jawab kepada badan legislatif
daerah.
2. Tata
cara pertanggung jawaban sebagai wujud dari hubungan kewenangan dimaksud
diatas, dahulu diatur dengan keputusan Mentri Dalam Negeri, sekarang diatur
dalam Peraturan Pemerintah yang mulai berlaku tanggal 30 November 2000
3. Pertanggung
jawaban Kepala Daerah Kepada DPRD meliputi :
a. Pertanggung
jawaban kepala daerah atas penyelenggaraan pemerintahan daerah selama satu
tahun anggaran yang merupakan pertanggung jawaban atas pelaksanaan APBD
berdasarkan tolak ukur RENSTRA
b. Pertanggung
jawaban akhir masa jabatan adalah pertanggung jawaban penyelengaraan
pemerintahan daerah selama masa jabatan Kepala Daerah berdasarkan tolak ukur
RENSTRA.
c. Pertanggung
jawaban atas hal tertentu adalah pertanggug jawaban atas perbuatan pribadi
Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah. Yang diduga mengandung unsure tindak
pidana sewaktu-waktu selama masa jabatan.
4. Baik
kebijakan pemerintahan maupun pertanggung jawaban keuangan harus melengkapi
dan/atau menyempurnakannya dalam jangka waktu paling lama 30 hari dan wajib
menyampaikannya kembali kepada DPRD.
5. Laporan
akhir tahun anggaran dapat diuji dengan parameter berupa checklit yang diambil
dari nota keuangan, jawaban eksekutif atau pandangan umum para anggota dewan
menjelang mengesahan/ penetapan APBD dan ukuran lain yang mengandung rumusan
kebijakan yang telah ditetapkan bersama oleh Kepala Daerah dan DPRD.
6. Pertanggung
jawaban yang disampaikan kepeda DPRD harus dinilai oleh DPRD dalam tempo satu
bulan. Kalau selama satu bulan Dewan tidak memberikana penilaian, maka
pertanggung jawaban itu dianggab diterima.
7. Bertanggung
jawaban dapat ditolak apabila terdapat perbedaan yang nyata, diantara rencana
dengan realisasi APBD yang merupakan penyimpangan. Alasannya tidak dapat
dipertanggung jawabkan berdasarkan tolak ukur RENSTRA. Dalan lain lain
sebagainya.[4]
Belum genab tahun
diberlakukan Undang-Undang Nomor 22/1999, sudah di keluarkan Undang-Undang
nomor 32/2004 tentang pemerintahan Daerah., yang spiritnya menguatkan
sentralisasi dan oligarki pemerintahan di tingkat local. Hal ini Nampak dalam
pengaturan tentang pertanggung jawaban Kepala Daerah secara hirarkis, sehingga
menempatkan pemerintahan level atas bisa mengendalikan dan mengawasi jalannnya
pemerintahan dilevel bawahnya. Disisi lain DPRD, tidak lagi
mempunyai kewenangan untuk
menjatuhkan kepala daerah jika terjadi penyimpangan, demikian pula fungsi
legislasi yang harus diputuskan bersama dengan Kepala Daerah, yang seharusnya
menjadi kewenangan DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Dengan demikian
posisi Kepala Daerah menjadi lebih kuat dibandingkan dengan lembaga legislatif.[5]
Dalam sistem
pemerintahan demokrasi, lembaga perwakilan rakyat ( DPRD ) merupakan unsure
cukup penting, disamping unsur-unsur lain seperti : pemilu, kebebasan
berpendapat berserikat dan persamaan di depan hokum. Dalam sistem ini, warga Negara
seharusnya terlibat dalam hal tertentu di bidang pembuatan keputusan-keputusan
politik, baik secara langsung maupun melalui
wakil pemilihan mereka di lembaga perwakilan. Idealnya lembaga
legislatif merupakan refresentasi dari rakyat yang di wakili, sehingga bisa
lebih aspiratif terhadap kebutuhan dan tuntutan warga masyarakat. Namun
kenyataannya, masih terdapat berbagai praktek dan perilaku anggota legislatif
daerah yang masih jauh dari harapan. Dari segi kinerja anggota DPRD masih jauh
dari standar, mengingat proses rekrutemen yang kurang sesuai dengan aspirasi
dan tuntutan masyarakat.. munculnya berbagai praktek penyimpangan penggunaan
anggaran hamper terjadi diberbagai Kabupaten dan kota di Indonesia. Hal ini
jauh lebih elitis lagi, ketika di laksanakan Undang- Undang Nomor 32/ 2004
karena di mungkinkan Raperda akan selalu datang dari pihak eksekutif, sehingga
memarginalkan aspirasi rakyat dalam formulasi kebijakan. Nuansa sentralistik
dalam pembuatan kebijakan public daerah
akan menguat kembali mengingatkan peristiwa orde baru. Kepala daerah
yang dipilih langsung tidak sekaligus menjamin proses demokratisasi didaerah,
ketika kewenangan pemerintah pusat di daerah tetap besar.karena dimungkinkan
Kepala Daerah cenderung berpihak pada pemerintah di atasnya, bukan kepada wakil
rakyat atau public langsung.demikian pula[6]
Secara umum hubungan
legislatif dan eksekutif berdasarkan
Undang- Undang No 22/ 1999 dan Undang-Undang No 32/2004. Dari tabel itu dapat dijelaskan bahwa pergantian
Undang-Undang no 22/1999 dengan Undang- Undang No 32/2004 membawa konsekwensi
pergeseran pola kekuasaaan. Dalam Undang- Undang No 22/ 1999 daerah mempunyai
kebebasan dalam menjalankan hak otonominya,
karena pertanggung jawaban Kepala daerah bukan lagi kepada DPRD, tetapi
kepada pemerintah atasan. Artinya daerah level rendah tidak bisa mengabaikan
Pemerintah di Atasnya, karena sistem hierarkis dihidupkan kembali. Dengan
demikian DPRD kehilangan fungsinya sebagai lembaga legislatif didaerah dan
dihidupkan kembali dominasi lembaga eksekutif. Secara keseluruhan sistem
desentralsitik diubah dengan dihidupkan kembali sentralisasi kekuasaan
pemerintah pusat ( resentrisasi.[7]
Tabel
1
Perbandimgan
Hubungan Legislatif dengan Eksekutif
No
|
Dimensi
|
UU
No 22/1999
|
UU No 32/2004
|
1
|
Konteks Politik
|
Mengutamakan aspek demokratis
|
Mengutamakan aspek keserasian
|
2
|
Desain Desentralisasi
|
Desentralisasi dan otonomi luas
|
Resentralistik
|
3
|
Sistem Pemda
|
Pemda lebih otonom
|
Pemda tergantung pada pusat
|
4
|
Posisi Eksekutif
|
Kurang kuat
|
Lebih kuat ( executive heavy )
|
5
|
Posisi Legislatif
|
Cukup kuat dan strategis (
legislative heavy )
|
Kurang kuat
|
6
|
Model Hubungan
Legislatif-Eksekutif
|
Hubungan kemitraan dan legislatif
ada bargaining position
|
Legislatif sebagai pemberi
legitimasi
|
7
|
Pola Pertanggung Jawaban
|
Kepada masyarakat lewat DPRD
|
Kepada pemerintah atasan
|
8
|
Pemberhentian Kepala Daerah
sebelum habis jabatan
|
DPRD usul kepada presiden untuk
diberhentikan
|
DPRD mengusulkan untuk diproses
hukm
|
Dalam konteks kehidupan
pemerintahan daerah, maka yang dimaksud badan legislatif daerah adalah DPRD.
Dalam perkembangan tata pemerintahan daerah di indonesia’
Kesimpulan
1. Undang-undang
Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebetulnya meletakan dasar
hubungan yang demokratis antara lembaga legislatif dan eksekutif di Kabupaten/
Kota. Lembaga legislatif mempunyai kedudukan yang cukup kuat, karena mempunyai
kewenangan/ kekuasaan menjalankan fungsi legislatif. DPRD mempunyai kewenangan
untuk menetapkan peraturan Daerah, dan juga menerima atau menolak pertanggung
jawaban dari lembaga eksekutif. Bahkan DPRD juga mempunyai kekuasaan untuk
menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Bupati/ Walikota ( impeachment), bila
dinyatakan melakukan penyimpangan/pelanggaran terhadap peraturan daerah yang
telah ditetapkan.
2. Dengan
berlakunya Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, maka
kedudukan dan fungsi DPRD semakin tidak jelas. Karena DPRD sebagai unsure dari
pemerintah daerah yang bersama-sama dengan Kepala Daerah menetapkan Peraturan
Daerah, termaksud APBD. Artinya DPRD tidak bisa bertindak secara mandiri untuk
menjalankan fungsi legislatif, karena harus mendapatkan persetujuan dari kepala
daerah. Dalam posisi yang demikian, maka kewenangan dari DPRD menjadi sangat
terbatas, bahkan DPRD tidak lagi bisa disebut sebagai sebagai lembaga
legislatif. Demikian juga kewenangan untuk control terhadap eksekutif menjadi
terbatas, ketika Kepala daerah bertanggung Jawab kepada pemerintah atasan.
Daftar Pustaka
Triputro,
R Widodo, Supardal dkk.2005, Pembaruan Otonomi Daerah, Program Study Ilmu
Pemerintahn STPMD “ APMD “ yogyakarta : APMD Press,
Wasistiono
, Sadu. dkk,2003. Etika hubungan
Legislatif Eksekutf dalam pelaksanaan otonomi
daerah , fokusmedia . Bandung
[1] R.
Widodo Trisaputra, Supardal dkk, 2005. Pembaruan Otonomi Daerah, APMD Press,
Yogyakarta hlm 65-66
[2]
Dikutip dari Drs H. Syaukani, Hr, Prof Dr Afan Gafar dkk, 2005, Otonomi Daerah
dalam Negara kesatuan, Pustaka Pelajar. Yogyakarta Hlm 191
[3] R. Widodo Trisaputra, Supardal dkk, 2005.
Pembaruan Otonomi Daerah, APMD Press, Yogyakarta hlm 66
[4] Prof.
Dr Sadu Wasistiono M. S. dkk,2003. Etika hubungan Legislatif Eksekutf dalam
pelaksanaan otonomi daerah , fokusmedia . Bandung hlm 12-14
[5] R.
Widodo Trisaputra, Supardal dkk, 2005. Pembaruan Otonomi Daerah, APMD Press,
Yogyakarta hlm 67
[6] R.
Widodo Trisaputra, Supardal dkk, 2005. Pembaruan Otonomi Daerah, APMD Press,
Yogyakarta hlm 67-68
[7] [7]
R. Widodo Trisaputra, Supardal dkk, 2005. Pembaruan Otonomi Daerah, APMD Press,
Yogyakarta hlm 88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar