Mengenai Saya

Foto saya
Berani, Disiplin,Profesional dan Suka Tantangan

Jumat, 28 Oktober 2011

Dinamika Hubungan Legislatif Dan Eksekutif Di Tingkat Lokal Di Tinjau dari UU Nomor 5/1974, UU/1999 Dan UU Nomor 32/2004


Pasang surut dinamika hubugan antara legislative dengan eksekutif selalu terjadi seiring dengan perubahan perundangan tentang pemerintahan daerah. Pola hubungan legislative dan eksekutif Nampak jelas dari Undang-Undang Nomor 5/1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah, kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang pemerintahan daerah, dan akhirnya disusul lahirnya Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang pemerintahan daerah. Pada masa Orde baru, lembaga legislative lebih banyak menjadi alat dan harus mengikuti arah kebijakan pemerintah daerah yang sudah dirumuskan oleh kepala daerah. Dalam posisi yang demikian, maka lembaga legislatif tidak jelas kedukannya dan fungsinya, sehingga DPRD hanya sebagai alat dan syarat agar dikatakan sebagai sistem pemerintahan yang demokratis. Demikian juga dalam pola hubungan antara legislatif dan eksekutif, sekalipun secara formal dikatakan sebagai kemitraan, namun dalam prakteknya hubungan itu bersifat dominative oleh kepala daerah. Kedudukan sebagai penguasa tunggal, telah mendudukan kepala daerah sebagai pengawas berbagai aktivitas social politik, bahkan mengawasi kinerja dari DPRD itu sendiri. Karena kepala daerah  mempunyai dua fungsi yakni sebagai kepala wilayah yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat dan sebagai pemimpin daerah. Disamping itu berkaitan dengan kehidupan sistem kepartaian, kepala daerah adalah Pembina politik tingkat daerah dari golongan karya.karena menurut UU No 5/1974, DPRD merupakan bagian dari pemerintah daerah, jadi secara structural dan fungsional terikat kuat dengan ketentuan birokrasi, bahkan sarana pendukung pelaksanaan tugas DPRD dikendalikan   oleh kepala daerah. Dalam posisi yang demikian DPRD tidak mampu lagi memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat.[1]
Undang-Undang No 5 tahun 1974 menyatakan bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Klausal ini jelas menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam posisi yang lebih rendah dari Gubernur diPropinsi, Bupati di Kabupaten, dan Walikota diKotamadya, karena ketika pejabat yang disebut terkhir ini merupakan aparat pemerintah pusat yang ada didaerah dalam rangka penyelenggaraan sistem dekosentrasi. Sebagai pejabat pemerintah pusat didaerah mereka dapat dengan mudah melakukan veto atas nama Presiden, atapun tidak menganggap ada semua inisiatif kebijaksanaan yang muncul dari lembaga legislatif didaerah. Apalagi ketika konsep Gubernur sebagai Penguasa Tunggal diberlakukan oleh Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud.[2]
Ketika diberlakukan UU No 22 tahun 1999 tentang pe merintahan daerah, yang menggantikan UU No 5 tahun 1974. Menurut UU no 22/ 1999, DPRD dipisahkan dengan pemerintah daerah dengan kedudukan jelas dan tegas sebagai lembaga legislatif daerah. Hal ini dilakukan dalam rangka memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggung jawaban Pemerintah Daerah kepada rakyat., oleh karena itu hak-hak DPRD cukup luas dan diarahkan untuk menyerap serta menyalurkan aspirasi masyarakat menjadi kebijakan daerah. Konsekuensinya pola hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif didasarkan pada prinsip demokratis.artinya DPRD sebagai wakil rakyat mempunyai hak untuk memilih Kepala Daerah yang akan menjalankan berbagai kebijakan yang telah digariskan oleh DPRD, sebaliknya Kepala Daerah harus mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan itu kepada DPRD, dan selanjutnya DPRD bertanggung jawab kepada konstituennya. Sebagai badan legislatif daerah, DPRD juga mempunyai kewenangan penuh untuk menetapkan Peraturan Daerah. Selanjutnya Kepala Daerah dan perangkatnya yang menjalankannya.  Dalam hal pelaksanaan tugas ini, DPRD juga mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan. Bahkan jika dalam melakukan pengawasan DPRD menemukan beberapa penyimpangan, bisa mengajukan usulan pemberhentian Kepala Daerah, yang diteruskan ke presiden untuk melakukan pemecatan. Dalam praktek ini sudah banyak kepala daerah yang di diturunkan oleh DPRD.[3]
Hubungan kekuasaaan/ kewenangan antara kepala daerah dan DPRD diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Satu diantara paradigma yang berubah dan berbeda antara UU Nomor 5 tahun 1974 dengan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 ialah demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya hubungan badan legislatif dengan badan eksekutif daerah. Padadigma lama menegaskan bahwa pimpinan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif, malainkan bertanggung jawab kepada presiden melalui mentri dalam negeri.paradigma baru menegaskan bahwa kepala daerah sebagai pimpinan badan eksekutif bertanggung jawab kepada badan legislatif daerah.
2.      Tata cara pertanggung jawaban sebagai wujud dari hubungan kewenangan dimaksud diatas, dahulu diatur dengan keputusan Mentri Dalam Negeri, sekarang diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mulai berlaku tanggal 30 November 2000
3.      Pertanggung jawaban Kepala Daerah Kepada DPRD meliputi :
a.       Pertanggung jawaban kepala daerah atas penyelenggaraan pemerintahan daerah selama satu tahun anggaran yang merupakan pertanggung jawaban atas pelaksanaan APBD berdasarkan tolak ukur RENSTRA
b.      Pertanggung jawaban akhir masa jabatan adalah pertanggung jawaban penyelengaraan pemerintahan daerah selama masa jabatan Kepala Daerah berdasarkan tolak ukur RENSTRA.
c.       Pertanggung jawaban atas hal tertentu adalah pertanggug jawaban atas perbuatan pribadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah. Yang diduga mengandung unsure tindak pidana sewaktu-waktu selama masa jabatan.
4.      Baik kebijakan pemerintahan maupun pertanggung jawaban keuangan harus melengkapi dan/atau menyempurnakannya dalam jangka waktu paling lama 30 hari dan wajib menyampaikannya kembali kepada DPRD.
5.      Laporan akhir tahun anggaran dapat diuji dengan parameter berupa checklit yang diambil dari nota keuangan, jawaban eksekutif atau pandangan umum para anggota dewan menjelang mengesahan/ penetapan APBD dan ukuran lain yang mengandung rumusan kebijakan yang telah ditetapkan bersama oleh Kepala Daerah dan DPRD.
6.      Pertanggung jawaban yang disampaikan kepeda DPRD harus dinilai oleh DPRD dalam tempo satu bulan. Kalau selama satu bulan Dewan tidak memberikana penilaian, maka pertanggung jawaban itu dianggab diterima.
7.      Bertanggung jawaban dapat ditolak apabila terdapat perbedaan yang nyata, diantara rencana dengan realisasi APBD yang merupakan penyimpangan. Alasannya tidak dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan tolak ukur RENSTRA. Dalan lain lain sebagainya.[4]
Belum genab tahun diberlakukan Undang-Undang Nomor 22/1999, sudah di keluarkan Undang-Undang nomor 32/2004 tentang pemerintahan Daerah., yang spiritnya menguatkan sentralisasi dan oligarki pemerintahan di tingkat local. Hal ini Nampak dalam pengaturan tentang pertanggung jawaban Kepala Daerah secara hirarkis, sehingga menempatkan pemerintahan level atas bisa mengendalikan dan mengawasi jalannnya pemerintahan dilevel bawahnya. Disisi lain DPRD,  tidak lagi  mempunyai  kewenangan untuk menjatuhkan kepala daerah jika terjadi penyimpangan, demikian pula fungsi legislasi yang harus diputuskan bersama dengan Kepala Daerah, yang seharusnya menjadi kewenangan DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Dengan demikian posisi Kepala Daerah menjadi lebih kuat dibandingkan dengan lembaga legislatif.[5]
Dalam sistem pemerintahan demokrasi, lembaga perwakilan rakyat ( DPRD ) merupakan unsure cukup penting, disamping unsur-unsur lain seperti : pemilu, kebebasan berpendapat berserikat dan persamaan di depan hokum. Dalam sistem ini, warga Negara seharusnya terlibat dalam hal tertentu di bidang pembuatan keputusan-keputusan politik, baik secara langsung maupun melalui  wakil pemilihan mereka di lembaga perwakilan. Idealnya lembaga legislatif merupakan refresentasi dari rakyat yang di wakili, sehingga bisa lebih aspiratif terhadap kebutuhan dan tuntutan warga masyarakat. Namun kenyataannya, masih terdapat berbagai praktek dan perilaku anggota legislatif daerah yang masih jauh dari harapan. Dari segi kinerja anggota DPRD masih jauh dari standar, mengingat proses rekrutemen yang kurang sesuai dengan aspirasi dan tuntutan masyarakat.. munculnya berbagai praktek penyimpangan penggunaan anggaran hamper terjadi diberbagai Kabupaten dan kota di Indonesia. Hal ini jauh lebih elitis lagi, ketika di laksanakan Undang- Undang Nomor 32/ 2004 karena di mungkinkan Raperda akan selalu datang dari pihak eksekutif, sehingga memarginalkan aspirasi rakyat dalam formulasi kebijakan. Nuansa sentralistik dalam pembuatan kebijakan public daerah  akan menguat kembali mengingatkan peristiwa orde baru. Kepala daerah yang dipilih langsung tidak sekaligus menjamin proses demokratisasi didaerah, ketika kewenangan pemerintah pusat di daerah tetap besar.karena dimungkinkan Kepala Daerah cenderung berpihak pada pemerintah di atasnya, bukan kepada wakil rakyat atau public langsung.demikian pula[6]
Secara umum hubungan legislatif dan eksekutif berdasarkan  Undang- Undang No 22/ 1999 dan Undang-Undang No 32/2004. Dari tabel  itu dapat dijelaskan bahwa pergantian Undang-Undang no 22/1999 dengan Undang- Undang No 32/2004 membawa konsekwensi pergeseran pola kekuasaaan. Dalam Undang- Undang No 22/ 1999 daerah mempunyai kebebasan dalam menjalankan hak otonominya,  karena pertanggung jawaban Kepala daerah bukan lagi kepada DPRD, tetapi kepada pemerintah atasan. Artinya daerah level rendah tidak bisa mengabaikan Pemerintah di Atasnya, karena sistem hierarkis dihidupkan kembali. Dengan demikian DPRD kehilangan fungsinya sebagai lembaga legislatif didaerah dan dihidupkan kembali dominasi lembaga eksekutif. Secara keseluruhan sistem desentralsitik diubah dengan dihidupkan kembali sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat ( resentrisasi.[7]

Tabel 1
Perbandimgan Hubungan Legislatif dengan Eksekutif

No
Dimensi
UU No 22/1999
UU No 32/2004
1
Konteks Politik
Mengutamakan aspek demokratis
Mengutamakan aspek keserasian
2
Desain Desentralisasi
Desentralisasi dan otonomi luas
Resentralistik
3
Sistem Pemda
Pemda lebih otonom
Pemda tergantung pada pusat
4
Posisi Eksekutif
Kurang kuat
Lebih kuat ( executive heavy )
5
Posisi Legislatif
Cukup kuat dan strategis ( legislative heavy )
Kurang kuat
6
Model Hubungan Legislatif-Eksekutif
Hubungan kemitraan dan legislatif ada bargaining position
Legislatif sebagai pemberi legitimasi
7
Pola Pertanggung Jawaban
Kepada masyarakat lewat DPRD
Kepada pemerintah atasan
8
Pemberhentian Kepala Daerah sebelum habis jabatan
DPRD usul kepada presiden untuk diberhentikan
DPRD mengusulkan untuk diproses hukm

Dalam konteks kehidupan pemerintahan daerah, maka yang dimaksud badan legislatif daerah adalah DPRD. Dalam perkembangan tata pemerintahan daerah di indonesia’
Kesimpulan
1.      Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebetulnya meletakan dasar hubungan yang demokratis antara lembaga legislatif dan eksekutif di Kabupaten/ Kota. Lembaga legislatif mempunyai kedudukan yang cukup kuat, karena mempunyai kewenangan/ kekuasaan menjalankan fungsi legislatif. DPRD mempunyai kewenangan untuk menetapkan peraturan Daerah, dan juga menerima atau menolak pertanggung jawaban dari lembaga eksekutif. Bahkan DPRD juga mempunyai kekuasaan untuk menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Bupati/ Walikota ( impeachment), bila dinyatakan melakukan penyimpangan/pelanggaran terhadap peraturan daerah yang telah ditetapkan.
2.      Dengan berlakunya Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, maka kedudukan dan fungsi DPRD semakin tidak jelas. Karena DPRD sebagai unsure dari pemerintah daerah yang bersama-sama dengan Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah, termaksud APBD. Artinya DPRD tidak bisa bertindak secara mandiri untuk menjalankan fungsi legislatif, karena harus mendapatkan persetujuan dari kepala daerah. Dalam posisi yang demikian, maka kewenangan dari DPRD menjadi sangat terbatas, bahkan DPRD tidak lagi bisa disebut sebagai sebagai lembaga legislatif. Demikian juga kewenangan untuk control terhadap eksekutif menjadi terbatas, ketika Kepala daerah bertanggung Jawab kepada pemerintah atasan.
 
Daftar Pustaka
Triputro, R Widodo, Supardal dkk.2005, Pembaruan Otonomi Daerah, Program Study Ilmu Pemerintahn STPMD “ APMD “ yogyakarta : APMD Press,
Wasistiono , Sadu. dkk,2003. Etika hubungan Legislatif Eksekutf dalam pelaksanaan otonomi daerah , fokusmedia . Bandung


[1] R. Widodo Trisaputra, Supardal dkk, 2005. Pembaruan Otonomi Daerah, APMD Press, Yogyakarta hlm 65-66
[2] Dikutip dari Drs H. Syaukani, Hr, Prof Dr Afan Gafar dkk, 2005, Otonomi Daerah dalam Negara kesatuan, Pustaka Pelajar. Yogyakarta  Hlm 191
[3]  R. Widodo Trisaputra, Supardal dkk, 2005. Pembaruan Otonomi Daerah, APMD Press, Yogyakarta hlm 66
[4] Prof. Dr Sadu Wasistiono M. S. dkk,2003. Etika hubungan Legislatif Eksekutf dalam pelaksanaan otonomi daerah , fokusmedia . Bandung hlm 12-14
[5] R. Widodo Trisaputra, Supardal dkk, 2005. Pembaruan Otonomi Daerah, APMD Press, Yogyakarta hlm 67

[6] R. Widodo Trisaputra, Supardal dkk, 2005. Pembaruan Otonomi Daerah, APMD Press, Yogyakarta hlm 67-68
[7] [7] R. Widodo Trisaputra, Supardal dkk, 2005. Pembaruan Otonomi Daerah, APMD Press, Yogyakarta hlm 88

Tidak ada komentar:

Posting Komentar