KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah Subhana Wata’ala yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Laporan Paper
yang berjudul “PENATAAN SEKTOR INFORMAL DI WILAYAH KOTA YOGYAKARTA
(STUDY KASUS PASAR KLITHIKAN PAKUNCEN DI KOTA YOGYAKARTA)”. Tak lupa pula shalawat dan
salam penulis tujukan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah berjuang
membawa umat manusia kepada fitrah yang benar dan jalan yang lurus.
Penulisan
paper ini disusun untuk memenuhi tugas dari Mata Kuliah Ekonomi Kebijakan
Publik. Dengan selesainya penyusunan tugas ini penulis menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak
yang telah membantu dan yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan masukan, saran dan motivasi selama proses penyelesaian penyusunan tugas
ini.
Harapan penulis, semoga paper ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca sebagai wacana dan menambah wawasan. Penulis menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan tugas ini. Oleh karena itu
penulis tidak menutup diri untuk menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
PENATAAN
SEKTOR INFORMAL DI WILAYAH KOTA YOGYAKARTA
(STUDY KASUS PASAR KLITHIKAN DI KOTA YOGYAKARTA)
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Keberadaan sektor informal tidak dapat di pisahkan
dari proses pembangunan ada dua pemikiran yang berkembang dalam memahami kaitan
antara pembangunan dan sektor informal.
Pertama, pemikiran yang menekankan bahwa kehadiran sektor informal sebagai
gejala transisi dalam proses pembangunan di negara sedang berkembang. Sektor informal
adalah tahapan yang harus di lalui dalam menuju tahapan modern. Pandangan ini
berpendapat bahwa sektor informal berangsur-angsur akan berkembang menjadi sektor informal
seiring dengan meningkatnya dengan pembangunan. Berarti keberadaan sektor
informal merupakan gejala sementara dan akan terkoreksi oleh keberhasilan
pembangunan. Namun, berapa lama masa transisi itu harus dilalui tidak di
jelaskan. Kedua, pemikiran yang berpendapat bahwa kehadiran sektor informal
merupakan gejala adanya ketidakseimbangan kebijakasanaan pembangunan. Kehadiran
sektor informal di pandang sebagai akibat kebijaksanaan pembangunan yang dalam
hal ini lebih berat pada sektor modern (perkotaan). Sektor informal akan terasa
hadir dalam proses pembangunan selama sektor tradisional tidak mengalami perkembangan. Lebih lanjut
penganut pandangan ini berpendapat bahwa berkembangan sektor informal tergantung
pada sifat kebijaksanaan pembangunan. Selama ini kebijakasanaan pembangunan
cenderung menguntungkan sektor modern dan sektor tradisional hanya dipandang sebagai
penyedia bahan baku bagi sektor modern serta adanya sikap “pergorbanan” dari
sektor tradisional, maka sektor informal akan tetap ada dan cenderung bertambah.[1]
Istilah “sektor informal” biasanya di gunakan untuk
menunjukan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Tetapi akan
menyesatkan bila di sebut dengan “perusahaan“ berskala kecil karena karena
beberapa alasan berikut ini. Sektor informal terutama dianggap sebagai suatu
manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di Negara sedang berkembang;
karena itu mereka yang memasuki kegiatan yang berskala kecil ini di kota,
terutama bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan dari pada
memperoleh keuntungan. Karena mereka
yang terlibat dalam sektor ini pada umumnya miskin, berpendidikan sangat rendah,
tidak terampil dan kebanyakan para migran, jelaslah bahwa mereka bukanlah
kapitalis yang mencari investasi yang
menguntungkan dan juga bukan pengusaha seperti yang di kenal pada umumnya.
Cakrawala meraka nampaknya terbatas pada pengadaan kesempatan kerja dan
menghasilkan pendapatan yang lansung bagi dirinya sendiri. Bagaimanapun juga,
harus di akui bahwa banyak diantara mereka berusaha dan bahkan berhasil
mengatasi hambatan-hambatan yang ada dan secara perlahan-lahan masuk kedalam
perusahaan berskala kecil dengan jumlah modal dan keterampilan yang memadai dan
semestinya dengan orentasi yang lebih besar kepada keuntungan.[2]
Keberadaan sektor informal (informal sektor) yang
pada umumnya tidak terorganisir dan
tertata secara khusus melalui peraturan khusus melalui peraturan itu, resminya
baru di kenal pada tahun 1970-an sesudah
diadakannya serangkaian observasi di beberapa negara dunia ketiga yang sejumlah
besar tenaga kerja perkotaannya tidak
memperoleh tempat atau pekerjaan di sektor modern yang formal, dikota-kota itu,
para tenaga kerja pendatang baru yang sangat banyak tersebut harus menciptakan suatu
lapangan kerja sendiri atau bekerja pada perusahaan-perusahaan kecil milik
keluarga. Bidang-bidang kerja kecil-kecilan seperti itu sangat banyak jenisnya.
Mulai dari pedagang keliling, pedagang asongan dijalanan dan trotoar, penulisan
papan nama, jasa pengasahan pisau, oparasi pemulung dan pembersih sampah hingga
perdangan petasan, pelacuran, jual beli obat-obatan hingga ke pertunjukan tari
ular. [3]
Keberadaan PKL dan sektor informal pada umumnya
merupakan jawaban atas minimnya jumlah lapangan pekerjaan. Tetapi pada
perkembangannya tampaknya tidak selalu begitu. Sektor informal merupakan
pekerjaan bahkan terencana secara sistematis, dan tidak sedikit diantara mereka
yang meraup keuntungan ratusan ribu bahkan jutaan rupiah tiap harinya. Karena
itu tidak mengherankan jika pertumbuhan sektor informal meningkat secara
segnifikan. Mereka menggunakan ruang public sebagai basis perekonomian, karena
dengan itu mereka mudah dijangkau oleh konsumen. Titik-titik kosentrasi massa
menjandi sumber rezeki PKL, seperti pinggir jalan, trotoar, pinggir lapangan,
sela-sela pusat perbelanjaan ataupun perkantoran.
Keberadaan PKL sering
di tuding sebagai merusak keindahan, keseimbangan lingkungan, mengganggu sosio
ekosistem atau menimbulkan kemacetan lalu lintas. Upaya untuk menertibkan
mereka biasanya berujung pada kebuntuan, sehingga pemerintah sebagai wakil dari
public melakukan penggusuran. Padahal seharusnya problematika dapat
terselesaikan tampa harus menggusur mereka, bila paket perencanaan tata ruang
public memasukan sektor informal sebagai bagian dari kebijakan ini. Akan
tetapi, dalam setiap langka melakukan pembahan serta pengambilan kebijakan
keberadaan dan peran PKL seringkali terlupakan.para perencana ruang lupa bahwa
PKL itu ada dan seharusnya diberi tempat sehingga terpadu dengan system yang
hendak mereka ciptakan.[4]
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu
propinsi dari 33 propinsi di Indonesia, dengan ibukotanya Yogykarta. Dengan
memiliki 4 kabupaten dan satu kota madya. Yogyakarta terkenal sebagai kota
parawisata, kota pelajar dan dan menyimpan berbagai kebudayaan-kebudayaan jawa.
Sebagai kota parawisata tentunya pemerintah kota yogyakarta berupaya semaksimal
mungkin untuk membentuk kota yogya yang bersih dan dan nyaman. Usaha yang
dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan kota dalam bentuk menertibkan
pedagang-pedagang kaki lima yang berjualan di tempat-tempat publik, yang itu
mengganggu lalu lintas perjalanan dan juga mengurangi keindahan kota Yogyakarta
sebagai kota parawisata.
Pada umumnya pedagang kaki lima tersebut menempati
daerah-daerah yang itu sering dilalui oleh masyarakat misalnya di badan jalan,
di trotoar, contohnya saja daerah Mangkubumi, dan lain sebagainya. Sehingga
melalui kebijakan yang di keluarkan pemerintah kota Yogyakarta berinisiatif
untuk merelokasi para pedagang-pedagang tersebut suatu ketempat yang lebih
baik. Tetapi dalam perjalananya proses relokasi tersebut terjadi pro dan
kontra. Ada pedangang yang mau dipindahkan dan ada juga juga pedagang yang
tidak mau dipindahkan dengan alasan-alasan cukup rasional bagi meraka.
Melalui ini
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota Yogyakarta terkait dengan
Peraturan Walikota Yogyakarta no. 45 tahun 2007. Peraturan tersebut berisi
kebijakan Pemerintah Kota Yogykarta untuk memindahkan para pedagang Klithikan
di jalan Mangkubumi, jalan Asam Gede dan alun-alun kidul ke Pasar Klithikan
Kuncen. Pemerintah telah menyediakan lokasi baru bagi para pedagang yaitu Pasar
Pakuncen dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan. Niat baik pemerintah ini
ditujukan untuk merelokasi pedagang kaki lima yang dianggap mengganggu
ketertiban.[5]
Pro dan kontra dalam pelaksanaan ini
muncul ketika sebagian pedagang menolak adanya relokasi dengan alasan akan
mengurangi penghasilan. Sedangkan Forum LSM yang selama ini menjadi tim
advokasi Pethikbumi menolak relokasi karena pihak Pemerintah Kota dalam
melakukan komunikasi dengan Pethikbumi tidak maksimal dan tidak mengedepankan
azas keadilan dan partisipasi. Bahkan Pemerintah kota tidak punya itikad baik
untuk mendengarkan gagasan penataan yang ditawarkan Pethikbumi di jalan
Mangkubumi. Alangkah arif dan bijaksananya jika pihak Pemerintah kota mau
membatalkan konsep relokasi yang di rasa sepihak. Sebab konsep relokasi akan
sangat strategis jika mengedepankan aspirasi dan partisipasi dari para PKL
Mangkubumi yang faktanya sebagian besar menolak.[6]
Proses pemindahan pedagang kaki lima dari Jln
Mangkubumi, Asam Gede dan alun-alun kidul melalui proses yang cukup panjang.
Terjadi pro dan kontra dalam proses
pemindahan tersebut.pedagang yang menolak dipindahkan kebanyakan berasal dari
pedagang kaki lima di jalan Mangkubumi, untuk pedagang kaki lima Asam Gede dan
Alun-Alun pada umumnya setuju.
Untuk itu penulis sangat tertarik sekali untuk
mengetahui lebih jelas lagi bagaimana proses pemindahan pedagang kaki lima dari
tiga tempat ini, sehingga pedagang kaki lima mau berdagang ke pasar Klithikan Pakuncen?
Kemudian
Berbicara pasar Klithikan pada kenyataan
bahwa sektor informal bisa menjadi katup penyelamat dan mendorong pertumbuhan
ekonomi perkotaan, sektor informal juga menjadi salah satu penyebab persoalan
penataan ruang dan ekonomi perkotaan. Adanya sektor informal di perkotaan
secara umum sebenarnya juga menunjukkan adanya ketidakefisienan ekonomi
perkotaan. Retribusi informal yang dikenakan kepada pedagang kaki lima oleh
preman-preman bisa mencapai angka yang hampir sama dengan perparkiran dalam
setahunnya. Keadaan itu juga menunjukkan ada distribusi pendapatan yang tidak
merata. Preman, ataupun apapun namanya yang mengelola secara informal pelaku
sektor informal ini menerima uang yang sangat besar jumlahnya sementara pelaku
sektor informal bisa dikatakan tidak menerima peningkatan pelayanan apapun dari
kota, selain “keamanan” pelaku sektor informal dari perusakan..[7]
Para pedagang kaki lima pada ketika Berjualan di
jalan Mangkubumi, Asam Gede dan Alun-alun untuk mengenai biaya retribusi,
biasanya membayar retribusi kepada preman pasar, sementara keamanan yang mereka
dapat belum terjamin secara maksimal. Kemudian dari segi pendapatan itupun
tidak menentu, tergantung dari jumlah pembeli dipasar. Dengan letaknya yang
tidak cukup strategis hanya mampu dikunjungi oleh masyarakat menengah kebawah
sehingga pendapatan yang meraka dapat sangat berkurang.
Untuk Penulis ingin melihat lebih jauh lagi
bagaimana proses yang terjadi para pedagang kaki lima setelah perdagang di Pasar
Klithikan Pakuncen. Dari sisi pendapatan misalnya bagimana pendapatan yang
dihasilkan ketika perjualan di sebelumnya ketika dibandingkan dengan diklthikan
pakuncen dan lain sebagainya.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan hal tersebut diatas maka yang menjadi
permasalahan adalah Sebagai berikut, yaitu :
- Bagaimana proses penataan pedagang kaki lima yang ada di Klithikan di Jalan Mangkubumi, Jalan Asam Gede dan Alun-Alun Kidul Agar Mereka berdagang Kepasar Klithikan Pakuncen wilayah Kota Yogyakarta yang sesuai dengan program pemerintah kota Yogyakarta untuk mewujudkan penataan kota yang bersih dan nyaman?
- Bagaimana perubahan yang terjadi pada pedagang kaki lima terhadap konsumen setelah mereka berdagang pasar klithikan pakuncen?
C.
Tujuan
Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian berdasarkan
latar belakang dan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut :
- Ingin mengetahui proses pemindahan Pedagang kaki lima ke pasar klithikan
- Ingin menganalisis proses pemindahan pedagang kaki lima dari Jln Mangkubumi,asam gede dan alun alun ke pasar Klitihkan
- Ingin mengetahui perubahan yang terjadi pada pedagan kaki lima terhadap konsumen setelah mereka berdagang dipasar klithikan pakuncen.
D.
Manfaat
Penelitian
Selain
itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pembaca adalah
sebagai berikut;
- Memberikan masukan kepada pemerintah, khususnya kepada pemerintah di luar kota Yogyakarta, tentang pentingnnya pengaturan sektor informal dalam rangka menciptakan kota yang bersih aman dan nyaman.
- Secara akademis mengembangkan konsep yang berkaitan dengan sektor informal.
- Menembah wawasan tentang pentingnya penataan sektor informal perkotaan
E. Metode Penelitian
Untuk memberikan gambaran yang
menyeluruh dan memudahkan dalam proses penulisan penelitian ini, maka metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Jenis Penelitian
Penelitian
ini menggunakan jenis penelitian deskriptif yakni penelitian yang mengambarkan
dan menjelaskan proses penataan pedagang kaki lima yang ada di jalan
Mangkubumi, jalan Asam Gede dan Alun-Alun kidul ke pasar Klithikan Pakuncen
kota Yogyakarta dan mengambarkan dan menjelaskan perubahan yang terjadi pada
pedagang kaki lima terhadap konsumen setelah mereka
berdagang ke pasar Klithikan Pakuncen kota Yogyakarta.
Penelitian
deskriptif adalah langkah-langka melakukan reinterprestasi obyektif tentang
fenomena-fenomena sosial yang terdapat dalam permasalahan yang diteliti.
Ciri-cirinya yakni; pertama, memusatkan diri pada masalah-masalah yang ada pada
masa sekarang. Kedua, data yang terkumpul pertama kali disusun, dijelaskan,
kemudian dianalisis, kerana itu metode deskriptif sering juga di sebut sebagai
metode analisa.[8]
2.Unit
analisis.
Yang menjadi
unit analisis adalah para pedagang kaki lima di Pasar Klthikan pakuncen baik
dari pedagang kaki lima dari Jln Mankubumi,Asam Gede dan alu-alun Kidul,
Organisasi Paguyuban Ktlthikan dan Pemerintah Kota Yogyakarata.
Penelitian ini
mengambil lokasi dipasar Klithikan pakuncen kota Yogyakarta. Alasan mengambil
lokasi tersebut, karena penulis sangat tertarik dengan penataan sektor informal
dikota Yogyakarta dan menurut penulis sektor informal yang ada diyogkarta
sangat unik artinya sektor informal yang ada di Yogyakarta bisa mampu tertata
dengan rapi sesuai dengan penataan kebijakan pemerintah kota Yogyakarta, lain
halnya dengan daerah-daerah lain yang ada di Indonesia.
1.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara,
observasi langsung, dan dokumentasi.
Wawancara
dilakukan dengan memberikan pertanyaan yang sudah disiapkan oleh penulis kepada
responden.
Observasi
adalah metode pengumpulan data, dimana peneliti mengadakan pengamatan terhadap
gejala subyek yang diselidiki baik pengamatan itu dilakukan dalam situasi
buatan yang khusus diadakan.[1]
Dokumentasi
dilakukan dengan mengumpulkan data dengan cara memamfaatkan data yang telah
tersedia sebelumnnya. Dalam dokumentasi ini dikenal dengan data sekunder yang
berwujud jurnal, catatan- catatan harian dan lain sebagainya.
2.
Teknik Analisis Data
Analisa data dalam penulisannya ini dalam
pendekatan deskriptif kualitatif adalah induktif interpretative yaitu usaha
pengambilan kesimpulan berdasarkan penelitian dan berpikiran logis atas data
yang telah diperoleh.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
A.
Sektor
informal
Dalam
mengkaji sektor informal, perhatian di pusatkan
pada sektor informal diperkotaan. Sektor informal di artikan sebagai
sebagai pekerja yang berusaha sendiri tampa buruh, berusaha sendiri dengan
buruh tak tetap, atau di bantu tenaga kerja keluarga tidak dibayar.[2].
Menurut Wirosandjojo (1985) dalam Harris Koentjoro (1994), sektor
informal merupakan bagian dari kegiatan ekonomi marginal (kecil-kecilan), yang
memiliki ciri-ciri antara lain (a) Pola kegiatannya tidak teratur, baik waktu,
permodalan maupun penerimaan ; (b) Modal, peralatan dan perlengkapan maupun
omsetnya kecil dan diusahakan berdasar hitungan harian; (c) umumnya tidak
memiliki tempat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggalnya; (d)
tidak memiliki keterikaitan dengan usaha lain yang besar; (e) umumnya
dilakukaan oleh dan melayani masyarakat yang berpenghasilan rendah; (f) tidak
membutuhkan keahlian atau ketrampilan khusus, sehingga secara luwes dapat
menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan dan ketrampilan kerja; (g) umumnya
tiap-tiap satuan usaha mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari kerabat
keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama; dan (h) tidak mengenal
sistem perbankan, pembukuan dan perkreditan formal (Wirosandjojo, 1985 dalam
Koentjoro ,1994 )[3]
Ketidakpuasan
terhadap konsep sektor informal teleh melahirkan konsep-konsep terbaru dalam
menelah tenaga kerja dan kemiskinan di kota Negara sedang berkembang. Salah
satu konsep oleh Breman, dia membedakan pekerja sektor informal menjadi tiga
kelompok berdasarkan kondisi social ekonomi tiap kelompok pekerja. Pertama,
kelompok pekerja berusaha sendiri dengan modal dan memiliki keterampilan.
Kedua, kelompok buruh pada usaha kecil dan usaha sendiri tampa modal atau modal
kecil. Ketiga, kelompok pekerja miskin yang kegiatannya cenderung melanggar hukum
atau mirip gelandangan, pemungut puntung rokok. Ketiga kelompok itu perlu
dibedakan dengan karyawan perusahaan besar atau pemerintah. Bromley dan Gerry (
1979 ) mengajukan konsep yang agak berbeda dengan kedua konsep terdahulu. Gerry
Bromley membagi pekerja tidak tetap menjadi empat kelompok berdasarkan status
dan hubungan kerja pada tiap kegiatan yaitu :
1.
Buruh tidak tetap
2.
Pekerja sub kotrak atau borongan yang di
kerjakan rumah tangga atau dalam usaha kecil
3.
Pekerja yang tergantung pada Bahan,alat
atau tempat yang di sewakan atau di peroleh melalui kredit.
4.
Pekerja usaha sendiri yang tidak terikat
pada usaha lain dalam pembelian, permodalan atau penjualan hasil produksi. [4]
Sektor
informal pada umumnya ditandai oleh beberapa karakteristik khas seperti sangat
bervariasinya bidang kegiatan produksi barang dan jasa , berskala kecil,
unit-unit produksinya dimiliki secara perorangan atau keluaraga, banyak menggunakan tenaga
kerja ( padat Karya ) dan teknologi di pakai secara relative sederhana. Mereka
menjalankan pemeliharaan perusahaan seperti halnya perusahaan memonopoli
persaingannya dalam menghadapi penurunan pemasukan, kelebihan kapasitas dan
mengendalikan persaingan laba (pendapatan ) yang menurun rata-rata harga
penawaran tenaga kerja potensial yang
baru. Para pekerja menciptakan sendiri lapangan pekerjaannya di sektor informal
biasanya tidak memiliki pendidikan formal.umunnya mereka tidak mempunyai keterampilan
khusus dan sangat kekurangan modal kerja.[5]
Sejak
Hart memperkenalkan konsep sektor informal , konsep ini sering dipakai untuk
menjelaskan bahwa sektor informal dapat mengurangi pengangguran di kota Negara
sedang berkembang. Bahkan beberapa pengamat pembangunan dinegara sedang
berkembang memandang sektor informal itu sebagai strategi alternatif memecahkan
masalah keterbatasan peluang kerja. Sektor informal berfungsi sebagai katup
pengamann yang dapat meredam ledakan social sebagai akibat meningkatnya pencari
kerja, baik dari dalam kota maupun pendatang desa kota. Namun, pusat kajian
banyak menyeroti kegiatan sektor informal sah.[6]
Konsep
sektor informal yang dilontarkan Hart
ini kemudian dikembangkan dan diterapkan oleh ILO. Dengan melakukan penelitian
dibeberapa Negara, ILO membandingkan hasil penelitian dan ditemukan bahwa
mereka yang terlibat dalam sektor informal pada umumnya miskin, kebanyakan
dalam usia kerja utama ( prime age ), berpendidikan rendah, upah yang diterima
dibawah upah minimum, modal usaha rendah serta sektor ini memberikan
kemungkinan untuk mobilitas vertical.[7]
B.
Penataan
Sektor Informal Di Perkotaan
Sektor
informal dianggap banyak mengundang masalah didaerah perkotaan, karena sektor
informal terutama yang beroperasi ditempat strategis di kota dapat mengurangi
keindahan di kota dan diduga sebagai sebagai penyebab kemacetan lalu lintas dan
menurunnya lingkungan hidup dikota. Karena itu ada pemerintah kota yang telah
mengambil kebijaksanaan membatasi ruang gerak sektor informal.[8]
Kebijakan
yang perlu diambil dalam menangani sektor informal, antara lain menyediakan
kredit, pendidikan dan latihan keterampilan, pengembangan sumber daya dan
teknologi, dan mengubah sikap pemerintah agar mendukung pertumbuhan sektor
informal.[9]
Sektor
informal memiliki banyak keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dalam perekonomian perkotaan, bahkan
nasional secara keseluruhan. Pertama-tama sektor informal ini terkait dengan
sektor pedesaan dalam pengertian kawasan atau sektor pedesaan merupakan sumber
kelebihan tenaga kerja miskin, yang kemudian mengisi sektor informal di daerah
perkotaan guna menghindari kemiskinan dan pengangguran di desa, walaupun
sebenarnya kondisi kerja dan kualitas hidup di kota belum tentu lebih baik.
Selain itu sektor informal juga terkait erat dengan sektor formal perkotaan,
dalam pengertian sektor formal sesungguhnya tergantung pada sektor informal
dalam penyediaan input-input produksi dan tenaga kerja murah, sedangkan sektor
informal sangat tergantung pada sektor formal dalam kedudukannya sebagai pasar
pokok dari sebahagian besar pendapatan
yang mereka terima. Ada satu kasus yang yang secara jelas menunjukan bahwa
sebenarnya sektor informal justru mensubsidi sektor formal dalam penyediaan
bahan-bahan mentah dan berbagai komoditi baku serta tenaga kerja yang
kesemuanya seringkali di nilai dan di beli dengan harga yang sangat murah (
yakni apabila di bandingkan dengan daya beli sektor formal yang cukup besar )
dan semua bentuk atau pola hubungan yang timpang ini acapkali malahan
dilembagakan atau di bakukan oleh pihak pemerintah.[10]
Ada
beberapa argumen lain yang turut menggaris bawahi pentingnya promosi sektor
informal. Pertama, data yang ada menunjukan bahwa sektor informal mampu
menciptakan surplus hasil, di tengah-tengah lingkungan yang bermusuhan
sekalipun, yang menghalangi aksesnya untuk mendapatkan berbagai fasilitas dan
kemudahan yang biasa di tawarkan kepada sektor formal seperti tersedianya
fasilitas kredit, valutasi asing dan konsesi pajak. Jadi suplus yang di
hasilkan terbukti menjadi pendorong yang amat positif bagi pertumbuhan ekonomi
perkotaan. Kedua, sebagai akibat dari rendahnya intensitas permodalan, sektor
informal yang hanya memerlukan atau menyerap sebahagian kecil modal dari jumlah
modal yang di perlukan oleh sektor formal untuk memperkerjakan sejumlah tenaga
kerja yang sama. Ini merupakan salah satu cara memupuk tabungan nasional bagi
negera-negara berkembang yang sering menghadapi kesulitan atau kekurangan modal.
Ketiga, sektor informal juga mampu memberikan latihan kerja dan magang dengan
biaya yang sangat murah apabila di bandingkan biaya yang di tuntut oleh
lembaga-lembaga dalam sektor formal, sehingga sektor informal dapat memainkan
peranan penting dalam rangka formasi atau pembentukan dan pembinaan sumber daya
manusia. Sedangkan argument yang ke empat, sektor informal menciptakan
permintaan atas tenaga kerja semiterlatih dan kurang ahli yang jumlahnya sangat
absolute maupun relative ( presentase terhadap total angkatan kerja ) terus
meningkat dan yang tidak mungkin terserap oleh sektor formal yang hanya mau
menerima tenaga kerja berkeahlian. Kelima, sektor formal lebih banyak dan lebih
mudah menerapkan teknologi tepat guna dan memamfaatkan segenap sumber daya local,sehingga
memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih efisien.Keenam, sektor informal
memainkan peranan yang sangat penting dalam proses daur ulang limbah atau
sampah.argumen ketujuh adalah promosi sektor informal itu akan memeratakan
distribusi hasil-hasil pembangunan bagi penduduk miskin yang kebanyakan memang
terpusat di sektor informal.[11]
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
A.
Hasil
Penelitian
1.
Gambaran
Umum Pasar Klithikan Pakuncen Yogyakarta
Adapun gambaran umum atau profil tentang Pasar Klithikan
Pakuncen Yogyakarta adalah sebagai berikut:[12]
a)
Alamat : Jln
Hos.Jokroatminoto. No. 84 Yogyakarta
b)
Luas Tanah : 6348
M2
c)
Luas lahan dasaran :
2130 M2
d)
Kelas Pasar : III
e)
Jumlah Pedagang : 718
f)
Fasilitas :
Tempat parker : 4
Kamar Mandi/ WC : 9
Kantor Pengelola : 1
Mesjid/mushola : 1
Tempat Layanan Kesehatan : 1
Tempat parker : 4
Kamar Mandi/ WC : 9
Kantor Pengelola : 1
Mesjid/mushola : 1
Tempat Layanan Kesehatan : 1
Pasar Klitikan Pakuncen ini dibangun diatas tanah yang luas arealnya enam ribu tiga ratus
empat puluh delapan meter bujur sangkar (6348 m2) yang sebelumnnya
digunakan untuk pasar hewan (saat ini sudah di pindah ke daerah Ambar Ketewang,
Gamping, Sleman). Pembangunan Pasar Klthikan Pakuncen mulai dibangun pada tahun
2006 dan dapat terselesaikan sepenuhnya yang langsung ditempati oleh para
pedagang sesuai dengan fungsi pembangunannya pada bulan Oktober 2007.[13]
2. Arah Kebijakan Pelaksanaan
Pembangunan Pasar Klitikan Pakuncen
Pembangunan
Pasar Klithikan terpadu di lahan bekas Pasar Hewan Kuncen menjadi gebrakan baru
upaya penataan kembali ratusan pedagang klithikan yang selama ini mendiami
kawasan Mangkubumi, Asem Gede, hingga seputaran Alun-alun Selatan, Yogyakarta.
Langkah besar Pemerintah KotaYogyakarta ini terasa sangat menjanjikan dan
menenteramkan karena bukan hanya sekadar ingin memindahkan pedagang maupun
menciptakan kawasan ekonomi baru, melainkan juga akan bertanggung jawab
terhadap kesuksesan dan keberhasilan para pedagang. Bahkan, yang lebih
monumental lagi, Pemerintah Kota Yogyakarta pun telah mengobsesikan bahwasanya
Pasar Klithikan terpadu ini bakal menjadi ikon pariwisata baru yang sangat
layak disuguhkan bagi turis-turis mancanegara yang gaungnya diharapkan sampai
ke negara-negara asing. Realitas inilah yang menyentakkan kesadaran kita karena
pendekatan formal dan birokratis beserta paradigma proyek masih saja
dilanggengkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi di sektor
informal, di mana kebijakan tersebut justru berpotensi kian meminggirkan nasib
dan eksistensi segenap pedagang klithikan. [14]
Pasar
Klithikan, bagi publik telah menjadi salah satu simbol pasar tradisional yang
menyediakan berbagai macam barang dengan harga miring. Sebelumnya, para penjual
di Pasar Pakuncen itu adalah pedagang yang berlokasi di berbagai sudut kota
Jogja seperti Asem Gede, Alun-alun Kidul (Alkid), dan paling banyak berasal
dari jalan Mangkubumi. Bangunan Pasar Klithikan Pakuncen ini terdiri dari dua
bagian. Lantai pertama merupakan zoning A1, B1, B2, C1, C2, dan D1. Lantai ini merupakan
pusat dari pasar Pakuncen sendiri. Setiap zoning punya karakteristik barang
dagangan yang berbeda-beda. Mulai dari onderdil-onderdil motor atau mobil
bekas, barang-barang kuno, hingga pakaian dan sepatu ada di lantai ini.
Sementara di lantai dua (zoning A2) yang merupakan kawasan penjual dengan
barang dagangan HP second dan alat-alat elektronik. Dengan keunikannya, Pasar
Klithikan Pakuncen dapat menjadi salah satu potensi wisata budaya. Dengan
pembelajaran kontinyu serta wadah yang memadai bagi pedagang untuk menggali
ilmunya, niscaya pasar ini pun akan semakin berkembang menjadi satu lahan
ekonomi potensial bagi kota Jogja. Kedisiplinan pedagang untuk menjaga kualitas
produk dan pelayanannya juga menjadi kunci keberhasilan pasar itu menjadi
potensi wisata alternatif.[15]
B. Analisis Data
1. Relokasi Pedagang Kaki Lima Ke
Pasar Klithikan Pakuncen Yogyakarta
Kebijakan relokasi yang
dilakukan oleh pemerintah kota Yogyakarta sudah cukup arif dan baik. Dengan
adanya relokasi tersebut merupakan upaya pemerintah kota Yogyakarta untuk
penataan kota yogyakarta yang bersih dan nyaman.
Bahwasanya ada beberapa
hal yang melatarbelakangi relokasi PKL Mangkubumi, Asam Gede, dan Alun-Alun Kidul
adalah sebagai berikut :
1.
Aspek Legalitas.
Bahwa
keberadaaan PKL klithikan di lokasi baru (pasar klithikan pakuncen) mempunyai
status hukum yang jelas yaitu sebagai pedagang pasar.
2.
Aspek Pemberdayaan
Dengan
dilakukannya relokasi ke pasar Klthikan Pakuncen, pemerintah kota yogyakarta
akan menfasilitasi PKL klthikan Pakuncen sehingga dapat tumbuh dan berkembang
secara optimal dalam aktifitas usaha.
3.
Aspek wisata
Keberadaan
PKL pada satu lokasi di pasar klthikan pakuncen akan menjadikan ikon wisata
belanja baru di kota yogyakarta.[16]
Untuk
memberdayakan potensi pedagang, khususnya PKL Klithikan yang sebelumnnya
tersebesar di berbagai lokasi, menjadi pedagang formal yang memiliki status
hukum yang jelas menjadi pedagang pasar yang memiliki tempat lebih
representative. Pedagang pasar klithikan merupakan hasil relokasi dari PKl Asam
Gede, Kawasan Alun-alun Kidul dan Mangkubumi. Kemudian untuk mendukung Yogyakarta
sebagai kota wisata, khususnya dalam pengembangan wisata, Pasar Klitikan juga
dijadikan sebagai sarana wisata belanja dengan berabagai Keunikan jenis barang
yang di dagangan yang ditawarkan oleh pedagang pasar Klithikan Pakuncen
merupakan simbol parawisata baru di kota
Yogyakarta.[17]
Dari
hal tersebut diatas dapat kita lihat bahwa dengan adanya penataan yang lebih
baik untuk PKL yang tidak jelas statusnya dan juga sering melakukan transaksi
perdagangannya di pinggir jalan yang sangat meresahkan pedagang sekitar
memiliki toko atau pusat perbelanjaan lebih legal, akibat dari kumpulan PKL
yang berhamburan disekitarnya terutama di jalan Mangkubumi saat itu. Selain itu
PKL liar ini juga meresahkan kinerja pemerintah dalam melakukan penataan kota
yang lebih teratur. Untuk menjaga
ketidak teraturan penataan kota itu pemerintah dalam hal ini pengambil
kebijakan melakukan berbagai upaya yang dapat memberdayakan PKL tersebut dan
juga mendukung dalam memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan pendapatan
asli daerah. Adapun langkah pemerintah yang telah dilakukan adalah memberikan
sarana bagi PKL untuk berdagang dengan mendirikan pasar Klitikan Pakuncen
Yogyakarta agar para konsumen PKL dimanapun terfokus dalam satu wilayah pasar.
Relitasnya,
dengan terjadinya peningkatan status PKL yang tadinya sebagai pedagang informal
menjadi pedagang formal, memberikan pengakuan tersendiri dikalangan masyarakat
itu sendiri yang tentunya lebih baik dan lebih inovatif, dimana kita ketahui
bersama bahwa bekerja di sektor informal yang dianggap mengotori lingkungan
kota sehingga keberadaannya sangat mengganggu ketertiban dan kenyamanan. Selain
itu para pedagang ini mendapat persepsi yang baik di mata masyarakat pada
umumnya dengan bekerja di sektor formal, tadinya dikenal dengan nama ‘Pasar
Maling’ sekarang lebih dikenal dengan nama yang lebih baik dan ditetapkan oleh
pemerintah.
Kemudian
ketika direlokasi pemerintah tidak hanya menyediakan sarana bangunan atau
tempat untuk pedagang untuk berdagang begitu saja, tetapi pemerintah juga
melakuakan upaya pemberdayaan dengan mendampingi para pedagang sampai mampu
mengembangkan dagangan mereka dengan hal-hal yang lebih inovatif baik secara
psikis maupaun dengan materi dan promosi keberadan pasar. Hal ini tentunya
Sesuatu karakter unik dan langkah yang
ditempuh oleh pemerintah untuk daerah yang ada di Indonesia, bahwa sebagian
para pedagang yang akan direlokasi menjual barang-barang langka, barang-barang
lama (tempo doloe) dan susah di temui di toko-toko atau pusat perbelanjaan yang
lain. Sehingga dengan bentuk barang itu tentu menarik perhatian masyarakat lokal
maupun masyarakat luar Jogja yang datang untuk tujuan wisata ataupun masyarakat
luar yang sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta untuk berkunjung kepasar Klithikan
dan selain itu, tidak hanya masyarakat local yang berkunjung tetapi juga pasar
ini memberi daya tarik tersendiri untuk turis mancanegara datang kepasar
klitikan untuk melihat-melihat pasar klithikan, disamping itu juga dengan adanya
relokasi tersebut kepasar Klithikan Pakuncen semua lapisan masyarakat bisa
mengakses pasar klithikan. Karena sebelumnya ketika para pedagang ini berjualan
di daerah Mangubumi, Asam gede dan Alun-alun kidul pengunjung datang sebagian
besar masyarakat kelas menengah ke bawah dan masyarakat miskin sedangkan
masyarakat golongan atas hanya orang-orang tertentu yang berkunjung dengan
tujuan untuk membeli barang tertentu yang kemungkinan susah di dapat di tempat
lain dan yang lain karena alasan gengsi
untuk berkunjung apalagi membeli barang yang tidak sangat memberikan dampak
besar dalam mempengaruhi atau mengurangi
nilai-nilai yang ada pada pasar Klitikaan itu sendiri.
Dalam
rangka pelaksanaan program pengembangan dan pembedayaan pedagang klithikan
pakuncen paska relokasi pemerintah kota yogyakarta telah melaksanakan langkah-langkah
sebagai berikut :
1.
Memberikan bantuan masa transisi sebesar
Rp 40.000,-/ hari selama 7 ( tujuh ) hari kepada masing-masing pedagang.
2.
Memberikan bantuan masa adaptasi sebesar
20.000,-/ hari selama 30 (tiga puluh) hari kepada masing-masing pedagang.
3.
Memberikan dukungan untuk kepentingan
promosi Pasar Klithikan pakuncen.
4.
Memberikan pelatihan manajemen usaha dan
pelatihan teknis kepada masing-masing pedagang.
5.
Memberikan bantuan penguatan modal berupa
pinjaman lunak bergulir dengan syarat membentuk Koperasi pedagang Klthikan
Pakuncen.
6.
Memberikan kemudahan akses pinjaman
modal kepada Bank yang di tunjuk.[18]
Upaya yang dilakukan
pemerintah kota Yogyakarta dalam memberdayakan pedagang kaki lima paska relokasi
tidak terlepas dari dukungan masyarakat, hal ini ditandai dengan adanya
musyawarah yang dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk sosialisasi untuk
penataan pasar, dan tetunya memintah pendapat masyarakat dalam perelokasian ini
agar tidak terjadi kontradiksi dalam perelokasiannya. Program pembederdayaan
pedagang kaki lima menurut penulis sangat strategis sekali, dimana dengan
adanya bantuan dana masa transisi ini dan massa adaptasi merupakann upaya yang
dilakukan agar pedagang terbiasa berada di pasar klithikan Pakuncen. Bantuan
ini juga sebagai uang untuk berjaga-jaga ketika barang dagangan tidak laku
karena kita tahu bahwa pasar kltikan pakuncen ketika baru ditempati pengunjung
tentunya masih sedikit dan tidak terlalu banyak seperti ditempat sebelumnya.
Untuk itu dengan bantuan promosi yang dilakukan oleh pemerintah kota Yogyakarta
baik melalui media cetak, elektronik dan lain-lain sebagainya sangat membantu
sekali dalam melakukan sosialisasi, karena dengan sosialasi masyarakat menjadi
tahu bahwa telah ada pasar klthikan Pakuncen yang merupakan gabungan dari tiga
tempat. Kemudian dengan upaya pemberdayaan para pedagang tentu membuat para
pedagang sangat serius dan berlomba-lomba untuk bergabung ke pasar Klitikan Pakuncen.
Semuanya program pengembangan dan pemberdayaan merupakan daya tarik agar
masyarakat mau berdagang di pasar klithikan masyarakat. Dan kebijakan ini
sangat positif bagi pedagang kaki lima dari tiga tempat tersebut.
Pemerintah kota Yogyakarta
dalam melakukan penataan kota yogyakarta sudah cukup baik, dimana pedagang kaki
lima tidak hanya di gusur/ dipindahkan begitu juga tetapi pemerintah kota
menyediakan tempat yang layak untuk PKL berjualan. Hal tersebut sejalan dengan
apa yang dikatakan oleh Bapak Fathur Rahman berikut kutipannya
“bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yogyakarta sudah arif
dan baik,dimana dalam melakukan relokasi memperhatikan aspirasi dari masyarakat
melalui dialog-dialog/ musyawarah, walaupun dalam proses relokasi ada yang pro
dan ada yang kontra[19].
Hal yang sama
diungkapan oleh Bapak Agung priyono Bidang Perdagangan yang mengatakan bahwa sebagai
berikut;
“dalam melakukan proses sosialisasi pemerintah kota yogyakarta lebih
mengedepankan pendekatan persuasive dan menjauhi segala bentuk tindakan
represif, pendekatan persualif tersebut dilakukan dengan musyawarah/ dialog
antara pemerintah kota yogyakarta dengan pihak yang mewakili para pedagang kaki
lima (Pihak Paguyuban ), dan LSM yang mendampingi para PKL”.[20]
Dari pemaparan diatas
dapat disimpulkan bahwa pemerintah kota Yogyakarta dalam melakukan merelokasi
pedagang kaki lima melalui diskusi/musyawarah. Dalam musyawarah tersebut tentu
ada yang pro dan ada yang kontra. Pedagang yang pro terhadap relokasi memiliki
alasan yang cukup rasional dimana mempercayai pemerintah kota yogyakarta dalam
membantu pedagang kaki lima untuk meningkatkan status pedagang dari informal
menjadi formal, yang cukup penting mengapa pedagang pro terhadap kebijakan
pemerintah karena memang pada dasarnya para pedagang merasa bersalah karena telah
menempati daerah wilayah umum yang tidak layak untuk melakukan kegitan dagang
dan sangat mengganggu aktifitas umum, seperti menggunakan jalan umum yang
sangat mengganggu lalu lintas. Sedangkan para pedagang yang kontra menolak
relokasi karena ketika direlokasi kepasar klithikan pakuncen, maka pendapatan para
pedagang akan berkurang karena para masyarakat dalam hal ini sebagai konsumen
tetap mereka tidak mengetahui keberadaan pasar Klithikan pakuncen atau tidak
mengetahui keberadaan pedagang sebagai langgananya dalam belanja barang-barang
tertentu sehingga hal ini dapat mengakibatkan konsumen tetap itu akan berpindah
dan mencari tempat lain yang memperdagangkan barang-barang sejenis. Hal ini
merupakan pukulan telak atau ketakutan-ketakutan tertentu yang mengakibatkan para
pedagang menolak untuk direlokasikan ke pasar klithikan pakuncen.
Secara umum pedagang
yang setuju relokasi terdiri
dari; pedagang Alun-alun Kidul, Asem Gede, dan sebagian pedagang Mangkubumi.
Beberapa pedagang tersebut tergabung dalam KPKMPR ( Komunitas Pedagang
Klithikan Mangkubumi). Pedagang yang setuju dengan relokasi segera mendaftarkan
diri sebagai pedagang pasar pakuncen kepada Dinas Perindustrian, perdagangan
dan Koperasi Kota Yogyakarta. Adapun sependapatnya pedagang dengan adanya relokasi
adalah dengan tersedianya sarana atau pusat perbelanjaan dalam hal ini pasar
Klitikan Pakuncen pedagang merasa mendapatkan tempat yang lebaik dan layak
untuk melakukan transaksi pasar, mendapatkan status legalitas yang lebih jelas
dalam beraktifitas sebagai pedagang pasar, dan selain itu pemerintah telah
melakukan upaya dengan berjanji akan
melakukankegiatan yang inovatif seperti mengadakan pelatihan-pelatihan bagi
pedagang yang menempati pasar dan serta memberikan berbagai kemudahan modal
setelah tahap pelaksanaan relokasi. Selain itu, pedagang yang tidak sependapat
dengan adanya relokasi bersikeras untuk tidak mendaftarkan diri, mereka takut
nantinya kalau memang benar-benar dilaksanakan relokasi, mereka malah tidak
mendapatkan kios atau tempat. Pedagang yang menolak relokasi adalah
sebagian dari pedagang klithikan mangkubumi yang tergabung dalam Pethikbumi. Mereka
menolak kebijakan relokasi tersebut karena pakuncen tidak memiliki letakn yang
cukup strategis untuk berdagang dan
mereka tidak mau babat alas Baru lagi di pakuncen. [21]
Untuk itu jauh jauh
hari sebelumnya pemerintah kota yogyakarta mengadakan diskusi dengan para
paguyuban pedagang kaki lima. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Ketua
Kompak Bapak Fathur Rahman, berikut kutipan wawancarananya.
“Pemerintah kota Yogyakarta I tahun sebelum relokasi telah melakukan
diskusi/dialong/ musyawarah kepada seluruh pedangang kaki lima yang diwakili
oleh paguyuban-paguyuban. Pendakatan-pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah
sudah sangat baik, tanpa melaui kekerasan tapi melalui pendekatan persuasive
sehingga para paguyuban yang tadinya gotot tidak mau dipindahkan namun akhirnya
mau tetapi dengan persyaratan-persyaratan yang diajukan dan di sepakati oleh
pemerintah kota yogyakarta.sudah sangat baik dengan musyawarah/ dialog”
Keberhasilan relokasi
tersebut tidak terlepas dari peran walikota yogyakarta sebagai interprenaursip,
yang mempunyai misi bagiamana penataan kota yogyakarta berlangung aman dan
terkendali, tanpa ada tindakan refresif tetapi dengan melalui berbagai
pendekatan-pendekatan secara kekeluargaan. Upaya penataan kota yogyakarta
dilaksanakan melaui proses yang cukup panjang dengan pemikiran-pemikiran yang
memiliki nilai besar untuk kepentingan masyarakat dan tidak berdampak dalam hal
penataannya atau merugikan masyarakat apalagi menghilangkan lapangan pekerjaan
bagi meraka. Dan ini yang sangat dijauhi oleh Bapak Heri Susanto sebagai
Walikota yogyakarta yang sudah dua periode penjabat sebagai Walikota
yogyakarta.
Tetapi ada juga berbagai
kendala dalam pelaksanaan relokasi Pedagang kaki lima oleh pemerintah Kota
Yogyakarta, dimana para pedagang menolak relokasi dengan alasan bahwa takut
jangan-sampai mengurangi pendapatan mereka seperti yang dikatakan oleh Bapak
Lurah Pasar Klitikan berikut kutipan wawancaranya :
“ para pedangang yang menolak untuk direlokasi karana ketakutan ketika
sudah berjualan dipasar klthikan barang dagangannya itu tidak laku, maka inikan
akan menguragi pendapatan mereka, dan siapa yang akan kasih makan anak-anak
mereka ketika pendapatan tidak ada.[22]
Sama halnya yang
dikatakan oleh Bapak Ganef Eko, berikuti kutipan wawancaranya:
“Para
pedagang ada yang menolak untuk direlokasi karena takut kehilangan pelanggang,
jangan sampai pelanggang itu tidak tahu lagi dengan keberadaan tempat yang
baru. Karena tempat yang baru itu masyarakat tidak tahu dan kemungkinan ketika
berjualan ditempat yang baru itu, barang-barang dagangan tidak ada yang laku,
itupun kalau laku terjual paling sangat rendah sekali pendapatan itu dalam
sehari. Ketika dilakukan relokasi kepasar klthikan pakucen, para pedagang.”[23]
Dari beberapa pemaparan
diatas maka terlihat jelas bahwa dalam melakukan relokasi pedagang kaki lima, terdapat
kendala-kendala. Kendala- kendala tersebut para pedagang menolak relokasi
dengan alasan takut pendapatan menjadi berkurang dan lai-lain sebagainya. Tetapi
lagi-lagi dikatakan bahwa kendala-kendala tersebut berhasil diminimalisir
dengan melakukan pendekatan-pendekatan persuasive kepada pedagang kaki lima.
2.
Perubahan
yang terjadi pada para PKL setelah berdagang di Pasar Klithikan Pakuncen
Yogyakarta.
Para pedagang kaki lima
sebelum berdagang di pasar klithikan pakuncen, pada umumnya berasal dari tiga
tempat yaitu PKL dari jalan Mangkubumi, Asam Gede, dan Alun alun Kidul. Ditempat
sebelumnya mereka berjualan biasanya dibadan jalan, trotoar dan tempat-tempat
yang trategis bagi mereka.misalnya saja Pedagang kaki lima di jalan mangubumi,
berjualan didepan toko, ditempat orang pejalan kaki, begitu juga halnya
ditempat asam gede dan Alun-alun kidul.
Dengan adanya pasar
klithikan pakuncen ini memberikan angin segar bagi pedagang kaki lima, karena sarana
dan prasana di pasar klithikan pakuncen itu sangat tersedia dan memadai,
misalnya saja WC, dan Mushola, dan lain-lain ini merupakan daya tarik bagi pedagang
untuk berjualan di pasar pakuncen, kemudian listrik gratis dan lain-lain
sebagainya. Untuk waktu yang diberikan
oleh pemerintah di pasar untuk melakukan aktifitas perdagangan sangat panjang
sekali dari pagi sampai malam yang dapat memberikan berbagai kesempatan bagi
PKL untuk berdagang dan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk datang
membeli ke Pasar Klitikan Pakuncen.
Tetapi lain halnya yang
dapat kita tinjau ketika PKL berjualan ditempat sebelumnya, misalnya saja di Mangkubumi
dapat kita rasakan dan lihat bagaimana ketika mereka berjualan, bahwasannya
mereka berjualan dari sore sampai jam sepuluh malam, kemudian setelah berjualan
barang dagangan mereka dibawa serta balik kerumah. Dimana pada saat hujan maka
mereka kehujanan, begitu juga pada saat panas, kalau panas maka akan kepanasan,
seperti yang dikatakan oleh pedagang yang pernah berjualan di Mangkubumi
berikut kutipan wawancarnya :
“
ketika saya berjualan dimangkubumi,biasanya saya mulai berjualan dari jam tujuh
sampai jam sepuluh malam, dan barang dagangan kalau sudah selesai berjualan
saya bawa balik kerumah,dan lampu untuk berjualan itu tidak ada, tinggal saya
mencari tempat yang agak terang, yang diterangi lampu listrik toko maupun jalan”.[24]
Para pedagang kaki lima
ketika berjualan ditempat sebelumnya dengan menggunakan fasilitas seadainya dan
sangat sempit berdesakan yang sangat menyulitkan para pedagang karena untuk
berjualan saja barang dagangan harus dibawah dari rumah kemudian setelah
berjualan barang dagangan tersebut dibawah balik lagi kerumah. Selain itu
pedagang merasa kurang aman dan kurang nyaman dalam melakukan aktifitasnya.
Memang terlihat jelas sekali kalau kondisi seperti ini sangat menyulitkan PKL.
Kemudian
dari sisi keamanan, para PKL meresa tidak aman, karena tidak ada jaminan ketika
barang di tinggal jualan tersebut akan aman. Ada sebahagian Pedagang kaki lima
dari mangkubumi membayar sewa tempat karena berjualan didepan toko atau dengan
kata lain retribusi tempat, tetapi ada juga yang gratis mengenai tempat.[25]
Untuk menambah
pendapatan asli daerah (PAD) kota Yogyakarta, dinas pengelolaan pasar
memberikan retribusi kepada para pedagang sebesar dua puluh delapan ribu per
bulan dan retribusi berlaku sesuai dengan jenis barang yang diperjual belikan. Bagi
para pedagang ini sangat tidak memberatkan sekali, karena para pedagang
mendapatkan tempat yang aman dan layak, dan listrik gratis dan tersedianya
sarana dan prasana yang memadai. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Bapak
Budyharianto, berikut kutipan wawancaranya “
“Retribusi
pasar klthikan pakuncen ini setiap bulannya Rp 28. Ribu/ bulannya, dan dengan
retribusi tersebut tidak memberatkan sekali. Karena dari 28 ribu itu kalau
berharinya berarti sekitar Rp 1.000. retribusi tersebut sesuai dengan fasilitas
yang yang saya dapat kalau berjaulan dipasar pakuncen, listrik gratis, dan saya
aman kalau berjualan disini.[26]
Dari pemaparan diatas,
saya kira terlihat jelas bahwa pungutan retribusi bagi pedagang pasar pakuncen
itu tidak memberatkan sama sekali dan retribusi tersebut sangat sesuai sekali
dengan fasilitas yang didapatkan.
Dengan adanya relokasi
tersebut tentunya pedagang kaki lima ada yang setuju dan ada juga yang tidak
setuju. Yang setuju, memiliki memiliki cara pandang bahwa bahwa memang para
pedagang kaki lima dalam posisi yang salah karena menempati daerah trotoar, menempati
tempat yang dilalui oleh para pejalan kaki
dan mengganggu ketertiban umum dan merupakan suatu kesukuran yang besar
kalau pemerintah beritikat baik untuk membuat tempat yang baru bagi pedagang
kaki lima. Sedangkan yang tidak setuju karena ketakutan ketika dipindahan penjualan
tidak bakalan laku, pendapatan berkurang dan lain-lain sebagainya.
Ketika berjualan
dimangkubumi,atau Alun-alun Kidul, pendapatan para pedagang kaki lima kadang-kadang
laku dan kadang-kadang juga tidak laku, seperti yang dikatakan oleh Bapak Sugianto,
berikut kutipan wawancaranya sbb :
“Pendapatan
yang saya ketika berjualan di mangkubumi hamper sama dengan pendapatan saya
sekarang berjualan di Pakuncen, biasanya bersih 25 ribu/ hari, tapi
kadang-kadang laku-kadang-kadang juga tidak laku.[27]
Sedikit berbeda yang
dikatakan oleh Bapak Gamef eko, berikut kutipan wawancaranya”
“ada
peningkatan pendapatan ketika berjualan di pasar klthikan pakuncen.kalau
berjualan di tempat sebelumnya ( Mangkubumi ) itu pendapatan saya sangat
sedikit lain halnya ketika saya berdagang disini. Kalau dipakuncen pembeli
banyak sekali apalagi kalau sore dan malam hari. Pembeli padat sekali[28].
Begitu juga halnya yang
dikatakan oleh Bapak Budyharinto adalah bahwa;
“ kalau saya berjualan dipasar Klitihikan pendapatan saya meningkat,
barang-barang saya pada laris,, banyak yang beli, lain halnya dengan ketika
saya berjualan sebelum di dipasar Klthikan,pendapatan saya tetap tepat saja tidak ada peningakatan,pelanggang
saya itu-itu saja,,,lain halnya kalau di pakuncen pelanggang saya meningkat.[29]
Dari pendapat diatas
dapat kita simpulkan bahwa dengan adannya relokasi pedagang kaki lima di pasar
klitihikan pakuncen ini memberikan dampak yang positif bagi para Pedagang kaki
lima, dimana ketika berdagang dipasar pakuncen pendapatan pedagang menjadi
bertambah, ini berarti relokasi tersebut mampu dan sesuai dengan program
pemerintah dalam upaya menyejahterakan masyarakatnya.. Selain itu juga, para
pedagang memperoleh kenyamanan dalam
berdagang.
Peningkatan pendapatan
masyarakat dipasar klithikan pakuncen tidak terlepas dari sosialiasi yang
dilakukan oleh pemerintah kota yogyakarta maupun pihak paguyuban pasar
kltihikan yang dilakukan melaui berbagai event yang dapat memberikan daya tarik
tersendiri bagi masyarakat local maupun turis asing untuk berkunjung kepasar
klithikan pakuncen, seperti yang dikatakan oleh Ketua Kompak sebagai berikut :
“
pasar klithikan sampai dikenal oleh masyarkat karena sosialisasi yang dilakukan
oleh pemerintah kota yogyakarta baik melaui media cetak, elotronik dan kami
sendiri dalam memperkenalkan pasar klthikan pakuncen selalu mengadakan event-event,
yang ini tentu bisa menarik perhatian masyarakat untuk selalu berjungjung
kepakuncen.
Untuk
itu saya kira sosialisasi terus digalakan sehingga pasar klithikan pakuncen
cukup dikenal oleh banyak orang. Dan pasar pakuncen ini sesuai dengan ikon
parawisata ini dapat diwujudkan dengan baik.[30]
Tetapi dengan dengan
peningkatan pendapatan oleh pedagang disatu sisi tetapi disisi lain
pemberdayaan pedagang jarang digalakan sehingga banyak pedagang-pedagang yang
gulung tikar dan menjual tempat dagangan mereka dan meraka sebahagian kembali
kejalan lagi, hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Ketua Kompak berikut
kutipan wawancaranya :
“pemberdayaan
pedagang perna dilakukan oleh pemerintah kota yogyakarta tapi itu masih sangat kurang
apalagi sekarang sudah tiga tahun pasar
klithikan pakuncen berjalan dan saya kira perlu dilakukan terus menerus karena
pemberdayan bagi pedagang itu sangat penting sekali. Kerena dengan pemberdayaan
bagimana melatih pedagang untuk punya kemampuan dalam jual beli, bagimana
pedagang memiliki kemampuan dalam hal pemasaran dll. Dengan melihat kapasitas
para pedagang sangat terbatas sehingga ada sebahagian pedagang yang tidak
memiliki kemampun dalam berdagang sehingga gulung tikar atau tidak mampu
bersaing dengan pedagang yang lain dan diganti dengan pedagang yang baru,
sekitar 50 % pedagang dipasar pakuncen diganti dengan pedagang yang baru. dan mereka yang tidak mampu bersaing akhirnya
mereka kembali berjualan dijalan lagi.[31]
Setelah Pelaksanaan
relokasi pedagang kaki lima ke pasar Klitikan Pakuncen pemerintah kota Yogyakrta
memang telah memberikan subsidi dan berjanji akan melakukan pemberdayaan dan
membantu untuk melakukan sosialisasi tentang keberadaan pasar. Sementara itu pemberdayaan
yang telah dilakukan pemerintah kota yogyakarta terhadap para pedagang sangat minim
sekali dalam melakukan aktifitas pemasaran sehingga pedagang tidak mengalami
berbagai kendala apapun yang berdampak pada kebangkrutan akibat dari kurang
pahamnya dalam pelaksanaan teknik manajemen perdagangan. Bantuan yang diberikan
ketika awal menempati pasar klitihikan memang sangat diperlukan tetapi tidak hanya
bersifat jangaka pendek. Selain itu pengaruh yang lebih besar dari relokasi ini
adalah ditandai banyaknya bemunculan pedagang-pedagang baru, hampir sekitar
lima puluh persen (50%) dari kesluruhan pedagang yang ada di pasar. Dari hal
ini bahwa relokasi pasar memiliki dampak negative yang kecil dan memiliki
dampak positif yang lebih besar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat terutama para pedagang
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
beberapa penjelasan dari hasil penelitian dan pembahasan diatas sehingga dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pemerintah
kota yogyakarta berhasil melakukan relokasi pedagang Kaki lima Mangkubumi, Asam
Gede, dan Alun-alun kidul dengan melakukan pendekatan-pendekatan persuasif, dan
tidak dengan represif. Pendekatan-pendekatan itu dilakukan melalui dialog/
musyawarah antara pihak pemerintah kota yogyakarta dengan perwakilan Paguyuban-paguyuban
pedagang kaki lima, dan dengan adanya paguyuban PKL yang mampu menampung
aspirasi pedagang kaki lima sehingga memudahkan Pemerintah Kota Yogyakarta
dalam melakukan dialog/ diskusi. keberhasilan relokasi tersebut tidak terlepas
juga dari kepemipinan walikota yogyakarta.
2. Dengan
adanya relokasi pedagang kaki lima ke pasar klthikan pakuncen memberikan dampak
yang positif bagi pedagang diantaranya mampu meningkatkan pendapatan masyarakat
serta tersedianya fasilitas sarana dan prasarana memberikan kenyamanan baik
pedagang maupun penjual.
3. Pembedayaan
pedagang klthikan pakuncen yang dilakukan oleh pemerintah kota yogyakarta
sangat minim sekali sehingga banyak pedagang yang bangkrut ( gulung Tikar ).
4. Kebijakan
Pemerintah Kota Yogyakarta dalam melakukan Penataan Sektor Informal di Wilayah
Kota Yogyakarta, dalam hal ini relokasi PKL
pada Pasar Klithikan memberikan dampak dan pengaruh negatif yang sangat kecil
serta dampak positif yang lebih besar terhadap masyarakat terutama para
pedagang di pasar.
B. Saran
Berdasarkan hasil
penelitian dan pembahasan tentang Penataan Sektor Informal di Wilayah Kota
Yogyakarta pada Pasar Klitikan Pakuncen penulis ingin memberikan saran yang
dapat bermanfaat bagi pembaca, masyarakat, ataupun pemerintah, sebagai berikut:
1. Perlunya
pemberdayaan pedagang Kltikan Pakuncen oleh Pemerintah kota yogyakarta secara
kontinyu misalnya pelatihan manajemen pemasaran dan lain-lain, sehingga tidak
terjadi proses penjualan tempat, karena bangkrut (gulung tikar), dan pera pedagang tidak kembali lagi berjualan
kejalan serta dengan pelatihan tersebut mampu meningkatkan sumber daya pedagang
sehingga mampu mengelola manajemen barang dan jasa yang tentunnya dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat yang dibarengi dengan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
2. Memberikan
bantuan-bantuan modal kepada pedagang Klitihikan Pakuncen, karena dengan modal
tersebut para pedagang dapat mengembangkan usaha. Karena selama ini pemerintah
hanya memudahkan bantuan modal oleh
pedagang kepada kepada pihak bank dalam bentuk ketika meminjam uang dapat
menyerahkan Kartu bukti perdagangan.
3. Dalam
upaya pemerintah Kota Madya Yogyakarta untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat terutama pada para pedagang kaki lima lebih terarah dan cenderung
memperhatikan dampak yang ada terhadap masyarakat dengan berbagai kemudahan
dalam beraktifitas, dan kebijakan itu bukan merupakan proyek individu semata tetapi
untuk kepentingan umum.
.
DAFTAR
PUSTAKA
Effendi, Tadjuddin Noer. 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan. Yogyakarata : Tiara wacana
Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ke Tiga.
Jakarta: Erlangga
Surakmand, Winarni . 1985 “Dasar Teknik Research, Pengantar Metodologi
Ilmiah” ( Bandung,Trasito. )
Cris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi, 1985. Urbanisasi,
Pengangguran Dan Sektor Infrormal kota. Gramedia. Jakarta
WIbawa,
Samodra .2005. Reformasi
Administrasi Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara/ public . Yogyakarta : Gava Media
Sumber
lain
http://ratnadwipa.blogspot.com/2008/12/multidimensional-kebijakan-relokasi.html
http://arkandas.wordpress.com/2009/05/28/kebijakan-relokasi-pedagang-klithikan-yogyakarta-se
[1]
Ibid hlm 192
[2]
Tadjuddin Noerr effendi,op.cip. hlm 80
[4]
Tadjuddin Noerr effendi.op.cip. hlm 80
[5]
Michael P. Todar.op.cip. hlm 351-352
[6]
Tadjuddin Noerr effendi.op.cip. hlm 83-84
[7]
Cris Manning dan Tadjuddin Noer
Effendi.op.cip hlm 76
[8]
Tadjuddin Noerr effendi.op.cip. hlm 87
[9]
Cris Manning dan Tadjuddin Noer
Effendi.op.cip hlm 76
[10]
Michael P. Todaro.op.cip hlm 352
[11]
Ibid. hlm 353-354
[12]
Dinas Pengelolaan Pasar, 2007
[13]
Ibid
[14] Ancas Waluyo Jati, Sabtu, 18 November 2006, menyoal Kawasan Ekonomi Klithikan, http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0611/18/jogja/1030852.htm
[15] http://njowo.multiply.com/reviews/item/337
[16]
data sekunder dari dinas Perindagkoptan kota yogyakarta.
[17]
Data sekunder dari Dinas Pengelolaan Pasar kota Yogyakarta
[18] ibid
[19] Wawancara dengan ketua Kompak Bapak Fathur rahman tgl 26 April 2010
[20]
Wawancara dengan bapak Agung priyono, Dinas Perindakoptan Yogkarta, Bidang
Perdagangan, tanggal 26 April 2010
[22]
Wawancara dengan Lurah Pasar Klthikan Pakunce Bapak R. Sigit Permono, pada
tanggal 26 April 2010
[23]
Wawancara dengan Bapak Ganef eko Pada
tanggal 18 April 2010.
[24]
Wawancara dengan Bapak Sugiyanto pada
tanggal 18 April 2010
[25]
ibid
[26]
Wawancara dengan Bapak Budyharianto pada tanggal 18 april 2010.
[27]
Ibid.
[28]
Wawancara dengan Bapak Ganef eko Pada
tanggal 18 April 2010. Sebelumnya Bapak ganef eko berjualan di Mangkubumi.
Paguyuban dimangkubimi itu bernama Pethikbumi yang terdiri dari beberapa
kelompok. Dan Bapak Genef Eko salah satu Ketua kelompok dari 8 kelompok yang
ada dipaguyuban petikbumi
[29]
Wawancara dengan Bapak Budyharianto pada tanggal 18 april 2010, pak
budyharianto pedagang alat-alat Motor Bekas.
[30]
Wawancara dengan Bapak Fathur Rahman, 26 April 2010
[31]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar