Mengenai Saya

Foto saya
Berani, Disiplin,Profesional dan Suka Tantangan

Kamis, 27 Oktober 2011

PENATAAN SEKTOR INFORMAL DI WILAYAH KOTA YOGYAKARTA ( STUDY KASUS PASAR KLITHIKAN DI KOTA YOGYAKARTA )



KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhana Wata’ala yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Laporan Paper yang berjudul PENATAAN SEKTOR INFORMAL DI WILAYAH KOTA YOGYAKARTA (STUDY KASUS PASAR KLITHIKAN PAKUNCEN DI KOTA YOGYAKARTA)”. Tak lupa pula shalawat dan salam penulis tujukan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah berjuang membawa umat manusia kepada fitrah yang benar dan jalan yang lurus.
Penulisan paper ini disusun untuk memenuhi tugas dari Mata Kuliah Ekonomi Kebijakan Publik. Dengan selesainya penyusunan tugas ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu dan yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan masukan, saran dan motivasi selama proses penyelesaian penyusunan tugas  ini.
Harapan penulis, semoga paper ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca sebagai wacana dan menambah wawasan. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan tugas ini. Oleh karena itu penulis tidak menutup diri untuk menerima kritik dan saran yang bersifat membangun.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb








PENATAAN SEKTOR INFORMAL DI WILAYAH KOTA YOGYAKARTA
(STUDY KASUS PASAR KLITHIKAN DI KOTA YOGYAKARTA)
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Keberadaan sektor informal tidak dapat di pisahkan dari proses pembangunan ada dua pemikiran yang berkembang dalam memahami kaitan antara pembangunan  dan sektor informal. Pertama, pemikiran yang menekankan bahwa kehadiran sektor informal sebagai gejala transisi dalam proses pembangunan di negara sedang berkembang. Sektor informal adalah tahapan yang harus di lalui dalam menuju tahapan modern. Pandangan ini berpendapat bahwa sektor informal berangsur-angsur  akan berkembang menjadi sektor informal seiring dengan meningkatnya dengan pembangunan. Berarti keberadaan sektor informal merupakan gejala sementara dan akan terkoreksi oleh keberhasilan pembangunan. Namun, berapa lama masa transisi itu harus dilalui tidak di jelaskan. Kedua, pemikiran yang berpendapat bahwa kehadiran sektor informal merupakan gejala adanya ketidakseimbangan kebijakasanaan pembangunan. Kehadiran sektor informal di pandang sebagai akibat kebijaksanaan pembangunan yang dalam hal ini lebih berat pada sektor modern (perkotaan). Sektor informal akan terasa hadir dalam proses pembangunan selama sektor tradisional  tidak mengalami perkembangan. Lebih lanjut penganut pandangan ini berpendapat bahwa berkembangan sektor informal tergantung pada sifat kebijaksanaan pembangunan. Selama ini kebijakasanaan pembangunan cenderung menguntungkan sektor modern dan sektor tradisional hanya dipandang sebagai penyedia bahan baku bagi sektor modern serta adanya sikap “pergorbanan” dari sektor tradisional, maka sektor informal akan tetap ada dan cenderung bertambah.[1]
Istilah “sektor informal” biasanya di gunakan untuk menunjukan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Tetapi akan menyesatkan bila di sebut dengan “perusahaan“ berskala kecil karena karena beberapa alasan berikut ini. Sektor informal terutama dianggap sebagai suatu manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di Negara sedang berkembang; karena itu mereka yang memasuki kegiatan yang berskala kecil ini di kota, terutama bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan dari pada memperoleh keuntungan. Karena  mereka yang terlibat dalam sektor ini pada umumnya miskin, berpendidikan sangat rendah, tidak terampil dan kebanyakan para migran, jelaslah bahwa mereka bukanlah kapitalis  yang mencari investasi yang menguntungkan dan juga bukan pengusaha seperti yang di kenal pada umumnya. Cakrawala meraka nampaknya terbatas pada pengadaan kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan yang lansung bagi dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, harus di akui bahwa banyak diantara mereka berusaha dan bahkan berhasil mengatasi hambatan-hambatan yang ada dan secara perlahan-lahan masuk kedalam perusahaan berskala kecil dengan jumlah modal dan keterampilan yang memadai dan semestinya dengan orentasi yang lebih besar kepada keuntungan.[2]
Keberadaan sektor informal (informal sektor) yang pada umumnya tidak terorganisir  dan tertata secara khusus melalui peraturan khusus melalui peraturan itu, resminya baru di kenal pada tahun 1970-an  sesudah diadakannya serangkaian observasi di beberapa negara dunia ketiga yang sejumlah besar tenaga kerja perkotaannya  tidak memperoleh tempat atau pekerjaan di sektor modern yang formal, dikota-kota itu, para tenaga kerja pendatang baru yang sangat banyak tersebut harus menciptakan suatu lapangan kerja sendiri atau bekerja pada perusahaan-perusahaan kecil milik keluarga. Bidang-bidang kerja kecil-kecilan seperti itu sangat banyak jenisnya. Mulai dari pedagang keliling, pedagang asongan dijalanan dan trotoar, penulisan papan nama, jasa pengasahan pisau, oparasi pemulung dan pembersih sampah hingga perdangan petasan, pelacuran, jual beli obat-obatan hingga ke pertunjukan tari ular. [3]
Keberadaan PKL dan sektor informal pada umumnya merupakan jawaban atas minimnya jumlah lapangan pekerjaan. Tetapi pada perkembangannya tampaknya tidak selalu begitu. Sektor informal merupakan pekerjaan bahkan terencana secara sistematis, dan tidak sedikit diantara mereka yang meraup keuntungan ratusan ribu bahkan jutaan rupiah tiap harinya. Karena itu tidak mengherankan jika pertumbuhan sektor informal meningkat secara segnifikan. Mereka menggunakan ruang public sebagai basis perekonomian, karena dengan itu mereka mudah dijangkau oleh konsumen. Titik-titik kosentrasi massa menjandi sumber rezeki PKL, seperti pinggir jalan, trotoar, pinggir lapangan, sela-sela pusat perbelanjaan ataupun perkantoran.
Keberadaan PKL sering di tuding sebagai merusak keindahan, keseimbangan lingkungan, mengganggu sosio ekosistem atau menimbulkan kemacetan lalu lintas. Upaya untuk menertibkan mereka biasanya berujung pada kebuntuan, sehingga pemerintah sebagai wakil dari public melakukan penggusuran. Padahal seharusnya problematika dapat terselesaikan tampa harus menggusur mereka, bila paket perencanaan tata ruang public memasukan sektor informal sebagai bagian dari kebijakan ini. Akan tetapi, dalam setiap langka melakukan pembahan serta pengambilan kebijakan keberadaan dan peran PKL seringkali terlupakan.para perencana ruang lupa bahwa PKL itu ada dan seharusnya diberi tempat sehingga terpadu dengan system yang hendak mereka ciptakan.[4]
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu propinsi dari 33 propinsi di Indonesia, dengan ibukotanya Yogykarta. Dengan memiliki 4 kabupaten dan satu kota madya. Yogyakarta terkenal sebagai kota parawisata, kota pelajar dan dan menyimpan berbagai kebudayaan-kebudayaan jawa. Sebagai kota parawisata tentunya pemerintah kota yogyakarta berupaya semaksimal mungkin untuk membentuk kota yogya yang bersih dan dan nyaman. Usaha yang dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan kota dalam bentuk menertibkan pedagang-pedagang kaki lima yang berjualan di tempat-tempat publik, yang itu mengganggu lalu lintas perjalanan dan juga mengurangi keindahan kota Yogyakarta sebagai kota parawisata.
Pada umumnya pedagang kaki lima tersebut menempati daerah-daerah yang itu sering dilalui oleh masyarakat misalnya di badan jalan, di trotoar, contohnya saja daerah Mangkubumi, dan lain sebagainya. Sehingga melalui kebijakan yang di keluarkan pemerintah kota Yogyakarta berinisiatif untuk merelokasi para pedagang-pedagang tersebut suatu ketempat yang lebih baik. Tetapi dalam perjalananya proses relokasi tersebut terjadi pro dan kontra. Ada pedangang yang mau dipindahkan dan ada juga juga pedagang yang tidak mau dipindahkan dengan alasan-alasan cukup rasional bagi meraka.
            Melalui ini kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota Yogyakarta terkait dengan Peraturan Walikota Yogyakarta no. 45 tahun 2007. Peraturan tersebut berisi kebijakan Pemerintah Kota Yogykarta untuk memindahkan para pedagang Klithikan di jalan Mangkubumi, jalan Asam Gede dan alun-alun kidul ke Pasar Klithikan Kuncen. Pemerintah telah menyediakan lokasi baru bagi para pedagang yaitu Pasar Pakuncen dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan. Niat baik pemerintah ini ditujukan untuk merelokasi pedagang kaki lima yang dianggap mengganggu ketertiban.[5]
Pro dan kontra dalam pelaksanaan ini muncul ketika sebagian pedagang menolak adanya relokasi dengan alasan akan mengurangi penghasilan. Sedangkan Forum LSM yang selama ini menjadi tim advokasi Pethikbumi menolak relokasi karena pihak Pemerintah Kota dalam melakukan komunikasi dengan Pethikbumi tidak maksimal dan tidak mengedepankan azas keadilan dan partisipasi. Bahkan Pemerintah kota tidak punya itikad baik untuk mendengarkan gagasan penataan yang ditawarkan Pethikbumi di jalan Mangkubumi. Alangkah arif dan bijaksananya jika pihak Pemerintah kota mau membatalkan konsep relokasi yang di rasa sepihak. Sebab konsep relokasi akan sangat strategis jika mengedepankan aspirasi dan partisipasi dari para PKL Mangkubumi yang faktanya sebagian besar menolak.[6]
Proses pemindahan pedagang kaki lima dari Jln Mangkubumi, Asam Gede dan alun-alun kidul melalui proses yang cukup panjang. Terjadi  pro dan kontra dalam proses pemindahan tersebut.pedagang yang menolak dipindahkan kebanyakan berasal dari pedagang kaki lima di jalan Mangkubumi, untuk pedagang kaki lima Asam Gede dan Alun-Alun pada umumnya setuju.
Untuk itu penulis sangat tertarik sekali untuk mengetahui lebih jelas lagi bagaimana proses pemindahan pedagang kaki lima dari tiga tempat ini, sehingga pedagang kaki lima mau berdagang ke pasar Klithikan Pakuncen?
Kemudian Berbicara  pasar Klithikan pada kenyataan bahwa sektor informal bisa menjadi katup penyelamat dan mendorong pertumbuhan ekonomi perkotaan, sektor informal juga menjadi salah satu penyebab persoalan penataan ruang dan ekonomi perkotaan. Adanya sektor informal di perkotaan secara umum sebenarnya juga menunjukkan adanya ketidakefisienan ekonomi perkotaan. Retribusi informal yang dikenakan kepada pedagang kaki lima oleh preman-preman bisa mencapai angka yang hampir sama dengan perparkiran dalam setahunnya. Keadaan itu juga menunjukkan ada distribusi pendapatan yang tidak merata. Preman, ataupun apapun namanya yang mengelola secara informal pelaku sektor informal ini menerima uang yang sangat besar jumlahnya sementara pelaku sektor informal bisa dikatakan tidak menerima peningkatan pelayanan apapun dari kota, selain “keamanan” pelaku sektor informal dari perusakan..[7]
Para pedagang kaki lima pada ketika Berjualan di jalan Mangkubumi, Asam Gede dan Alun-alun untuk mengenai biaya retribusi, biasanya membayar retribusi kepada preman pasar, sementara keamanan yang mereka dapat belum terjamin secara maksimal. Kemudian dari segi pendapatan itupun tidak menentu, tergantung dari jumlah pembeli dipasar. Dengan letaknya yang tidak cukup strategis hanya mampu dikunjungi oleh masyarakat menengah kebawah sehingga pendapatan yang meraka dapat sangat berkurang.
Untuk Penulis ingin melihat lebih jauh lagi bagaimana proses yang terjadi para pedagang kaki lima setelah perdagang di Pasar Klithikan Pakuncen. Dari sisi pendapatan misalnya bagimana pendapatan yang dihasilkan ketika perjualan di sebelumnya ketika dibandingkan dengan diklthikan pakuncen dan lain sebagainya.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut diatas maka yang menjadi permasalahan adalah Sebagai berikut, yaitu :
  1. Bagaimana  proses  penataan  pedagang kaki lima yang ada di Klithikan di Jalan Mangkubumi, Jalan Asam Gede dan Alun-Alun Kidul Agar Mereka berdagang Kepasar Klithikan Pakuncen wilayah Kota Yogyakarta yang sesuai dengan program pemerintah kota Yogyakarta untuk mewujudkan penataan kota yang bersih dan nyaman? 
  2.     Bagaimana perubahan yang terjadi pada pedagang kaki lima terhadap konsumen  setelah mereka berdagang  pasar klithikan pakuncen?
C.    Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut :
  1.     Ingin mengetahui proses pemindahan Pedagang kaki lima ke pasar klithikan
  2.     Ingin menganalisis proses pemindahan pedagang kaki lima dari Jln Mangkubumi,asam gede dan alun alun ke pasar Klitihkan
  3.  Ingin mengetahui perubahan yang terjadi pada pedagan kaki lima terhadap konsumen setelah mereka berdagang dipasar klithikan pakuncen.
 D.    Manfaat Penelitian 
Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pembaca adalah sebagai berikut;
  1.   Memberikan masukan kepada pemerintah, khususnya kepada pemerintah di luar kota Yogyakarta, tentang  pentingnnya pengaturan sektor informal dalam rangka menciptakan kota yang bersih aman dan nyaman.
  2.  Secara akademis mengembangkan konsep yang berkaitan dengan sektor informal.
  3.  Menembah wawasan tentang pentingnya penataan sektor informal perkotaan
E.     Metode Penelitian
Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh dan memudahkan dalam proses penulisan penelitian  ini, maka metode yang dilakukan  dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.   Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif yakni penelitian yang mengambarkan dan menjelaskan proses penataan pedagang kaki lima yang ada di jalan Mangkubumi, jalan Asam Gede dan Alun-Alun kidul ke pasar Klithikan Pakuncen kota Yogyakarta dan mengambarkan dan menjelaskan perubahan yang terjadi pada pedagang kaki lima terhadap konsumen setelah mereka berdagang ke pasar Klithikan Pakuncen kota Yogyakarta.
Penelitian deskriptif adalah langkah-langka melakukan reinterprestasi obyektif tentang fenomena-fenomena sosial yang terdapat dalam permasalahan yang diteliti. Ciri-cirinya yakni; pertama, memusatkan diri pada masalah-masalah yang ada pada masa sekarang. Kedua, data yang terkumpul pertama kali disusun, dijelaskan, kemudian dianalisis, kerana itu metode deskriptif sering juga di sebut sebagai metode analisa.[8]
2.Unit analisis.
Yang menjadi unit analisis adalah para pedagang kaki lima di Pasar Klthikan pakuncen baik dari pedagang kaki lima dari Jln Mankubumi,Asam Gede dan alu-alun Kidul, Organisasi Paguyuban Ktlthikan dan Pemerintah  Kota Yogyakarata. 
Penelitian ini mengambil lokasi dipasar Klithikan pakuncen kota Yogyakarta. Alasan mengambil lokasi tersebut, karena penulis sangat tertarik dengan penataan sektor informal dikota Yogyakarta dan menurut penulis sektor informal yang ada diyogkarta sangat unik artinya sektor informal yang ada di Yogyakarta bisa mampu tertata dengan rapi sesuai dengan penataan kebijakan pemerintah kota Yogyakarta, lain halnya dengan daerah-daerah lain yang ada  di Indonesia.
1.      Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara, observasi langsung, dan dokumentasi.
Wawancara dilakukan dengan memberikan pertanyaan yang sudah disiapkan oleh penulis kepada responden.
Observasi adalah metode pengumpulan data, dimana peneliti mengadakan pengamatan terhadap gejala subyek yang diselidiki baik pengamatan itu dilakukan dalam situasi buatan yang khusus diadakan.[1]
Dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan data dengan cara memamfaatkan data yang telah tersedia sebelumnnya. Dalam dokumentasi ini dikenal dengan data sekunder yang berwujud jurnal, catatan- catatan harian dan lain sebagainya.
2.      Teknik  Analisis Data
Analisa data dalam penulisannya ini dalam pendekatan deskriptif kualitatif adalah induktif interpretative yaitu usaha pengambilan kesimpulan berdasarkan penelitian dan berpikiran logis atas data yang telah diperoleh.


BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Sektor informal
Dalam mengkaji sektor informal, perhatian di pusatkan  pada sektor informal diperkotaan. Sektor informal di artikan sebagai sebagai pekerja yang berusaha sendiri tampa buruh, berusaha sendiri dengan buruh tak tetap, atau di bantu tenaga kerja keluarga tidak dibayar.[2].
Menurut Wirosandjojo (1985) dalam Harris Koentjoro (1994), sektor informal merupakan bagian dari kegiatan ekonomi marginal (kecil-kecilan), yang memiliki ciri-ciri antara lain (a) Pola kegiatannya tidak teratur, baik waktu, permodalan maupun penerimaan ; (b) Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omsetnya kecil dan diusahakan berdasar hitungan harian; (c) umumnya tidak memiliki tempat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggalnya; (d) tidak memiliki keterikaitan dengan usaha lain yang besar; (e) umumnya dilakukaan oleh dan melayani masyarakat yang berpenghasilan rendah; (f) tidak membutuhkan keahlian atau ketrampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan dan ketrampilan kerja; (g) umumnya tiap-tiap satuan usaha mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari kerabat keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama; dan (h) tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan dan perkreditan formal (Wirosandjojo, 1985 dalam Koentjoro ,1994 )[3]
Ketidakpuasan terhadap konsep sektor informal teleh melahirkan konsep-konsep terbaru dalam menelah tenaga kerja dan kemiskinan di kota Negara sedang berkembang. Salah satu konsep oleh Breman, dia membedakan pekerja sektor informal menjadi tiga kelompok berdasarkan kondisi social ekonomi tiap kelompok pekerja. Pertama, kelompok pekerja berusaha sendiri dengan modal dan memiliki keterampilan. Kedua, kelompok buruh pada usaha kecil dan usaha sendiri tampa modal atau modal kecil. Ketiga, kelompok pekerja miskin yang kegiatannya cenderung melanggar hukum atau mirip gelandangan, pemungut puntung rokok. Ketiga kelompok itu perlu dibedakan dengan karyawan perusahaan besar atau pemerintah. Bromley dan Gerry ( 1979 ) mengajukan konsep yang agak berbeda dengan kedua konsep terdahulu. Gerry Bromley membagi pekerja tidak tetap menjadi empat kelompok berdasarkan status dan hubungan kerja pada tiap kegiatan yaitu :
1.      Buruh tidak tetap
2.      Pekerja sub kotrak atau borongan yang di kerjakan rumah tangga atau dalam usaha kecil
3.      Pekerja yang tergantung pada Bahan,alat atau tempat yang di sewakan atau di peroleh melalui kredit.
4.      Pekerja usaha sendiri yang tidak terikat pada usaha lain dalam pembelian, permodalan atau penjualan hasil produksi. [4]
Sektor informal pada umumnya ditandai oleh beberapa karakteristik khas seperti sangat bervariasinya bidang kegiatan produksi barang dan jasa , berskala kecil, unit-unit produksinya dimiliki secara perorangan  atau keluaraga, banyak menggunakan tenaga kerja ( padat Karya ) dan teknologi di pakai secara relative sederhana. Mereka menjalankan pemeliharaan perusahaan seperti halnya perusahaan memonopoli persaingannya dalam menghadapi penurunan pemasukan, kelebihan kapasitas dan mengendalikan persaingan laba (pendapatan ) yang menurun rata-rata harga penawaran  tenaga kerja potensial yang baru. Para pekerja menciptakan sendiri lapangan pekerjaannya di sektor informal biasanya tidak memiliki pendidikan formal.umunnya mereka tidak mempunyai keterampilan khusus dan sangat kekurangan modal kerja.[5]
Sejak Hart memperkenalkan konsep sektor informal , konsep ini sering dipakai untuk menjelaskan bahwa sektor informal dapat mengurangi pengangguran di kota Negara sedang berkembang. Bahkan beberapa pengamat pembangunan dinegara sedang berkembang memandang sektor informal itu sebagai strategi alternatif memecahkan masalah keterbatasan peluang kerja. Sektor informal berfungsi sebagai katup pengamann yang dapat meredam ledakan social sebagai akibat meningkatnya pencari kerja, baik dari dalam kota maupun pendatang desa kota. Namun, pusat kajian banyak menyeroti kegiatan sektor informal sah.[6]
Konsep sektor informal  yang dilontarkan Hart ini kemudian dikembangkan dan diterapkan oleh ILO. Dengan melakukan penelitian dibeberapa Negara, ILO membandingkan hasil penelitian dan ditemukan bahwa mereka yang terlibat dalam sektor informal pada umumnya miskin, kebanyakan dalam usia kerja utama ( prime age ), berpendidikan rendah, upah yang diterima dibawah upah minimum, modal usaha rendah serta sektor ini memberikan kemungkinan untuk mobilitas vertical.[7]
B.     Penataan Sektor Informal Di Perkotaan
Sektor informal dianggap banyak mengundang masalah didaerah perkotaan, karena sektor informal terutama yang beroperasi ditempat strategis di kota dapat mengurangi keindahan di kota dan diduga sebagai sebagai penyebab kemacetan lalu lintas dan menurunnya lingkungan hidup dikota. Karena itu ada pemerintah kota yang telah mengambil kebijaksanaan membatasi ruang gerak sektor informal.[8]
Kebijakan yang perlu diambil dalam menangani sektor informal, antara lain menyediakan kredit, pendidikan dan latihan keterampilan, pengembangan sumber daya dan teknologi, dan mengubah sikap pemerintah agar mendukung pertumbuhan sektor informal.[9]
Sektor informal memiliki banyak keterkaitan dengan sektor-sektor  lainnya dalam perekonomian perkotaan, bahkan nasional secara keseluruhan. Pertama-tama sektor informal ini terkait dengan sektor pedesaan dalam pengertian kawasan atau sektor pedesaan merupakan sumber kelebihan tenaga kerja miskin, yang kemudian mengisi sektor informal di daerah perkotaan guna menghindari kemiskinan dan pengangguran di desa, walaupun sebenarnya kondisi kerja dan kualitas hidup di kota belum tentu lebih baik. Selain itu sektor informal juga terkait erat dengan sektor formal perkotaan, dalam pengertian sektor formal sesungguhnya tergantung pada sektor informal dalam penyediaan input-input produksi dan tenaga kerja murah, sedangkan sektor informal sangat tergantung pada sektor formal dalam kedudukannya sebagai pasar pokok  dari sebahagian besar pendapatan yang mereka terima. Ada satu kasus yang yang secara jelas menunjukan bahwa sebenarnya sektor informal justru mensubsidi sektor formal dalam penyediaan bahan-bahan mentah dan berbagai komoditi baku serta tenaga kerja yang kesemuanya seringkali di nilai dan di beli dengan harga yang sangat murah ( yakni apabila di bandingkan dengan daya beli sektor formal yang cukup besar ) dan semua bentuk atau pola hubungan yang timpang ini acapkali malahan dilembagakan atau di bakukan oleh pihak pemerintah.[10]
Ada beberapa argumen lain yang turut menggaris bawahi pentingnya promosi sektor informal. Pertama, data yang ada menunjukan bahwa sektor informal mampu menciptakan surplus hasil, di tengah-tengah lingkungan yang bermusuhan sekalipun, yang menghalangi aksesnya untuk mendapatkan berbagai fasilitas dan kemudahan yang biasa di tawarkan kepada sektor formal seperti tersedianya fasilitas kredit, valutasi asing dan konsesi pajak. Jadi suplus yang di hasilkan terbukti menjadi pendorong yang amat positif bagi pertumbuhan ekonomi perkotaan. Kedua, sebagai akibat dari rendahnya intensitas permodalan, sektor informal yang hanya memerlukan atau menyerap sebahagian kecil modal dari jumlah modal yang di perlukan oleh sektor formal untuk memperkerjakan sejumlah tenaga kerja yang sama. Ini merupakan salah satu cara memupuk tabungan nasional bagi negera-negara berkembang yang sering menghadapi kesulitan atau kekurangan modal. Ketiga, sektor informal juga mampu memberikan latihan kerja dan magang dengan biaya yang sangat murah apabila di bandingkan biaya yang di tuntut oleh lembaga-lembaga dalam sektor formal, sehingga sektor informal dapat memainkan peranan penting dalam rangka formasi atau pembentukan dan pembinaan sumber daya manusia. Sedangkan argument yang ke empat, sektor informal menciptakan permintaan atas tenaga kerja semiterlatih dan kurang ahli yang jumlahnya sangat absolute maupun relative ( presentase terhadap total angkatan kerja ) terus meningkat dan yang tidak mungkin terserap oleh sektor formal yang hanya mau menerima tenaga kerja berkeahlian. Kelima, sektor formal lebih banyak dan lebih mudah menerapkan teknologi tepat guna dan memamfaatkan segenap sumber daya local,sehingga memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih efisien.Keenam, sektor informal memainkan peranan yang sangat penting dalam proses daur ulang limbah atau sampah.argumen ketujuh adalah promosi sektor informal itu akan memeratakan distribusi hasil-hasil pembangunan bagi penduduk miskin yang kebanyakan memang terpusat di sektor informal.[11]


BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

A.    Hasil Penelitian

1.      Gambaran Umum Pasar Klithikan Pakuncen Yogyakarta
Adapun gambaran umum atau profil tentang Pasar Klithikan Pakuncen Yogyakarta adalah sebagai berikut:[12]
a)      Alamat                                       : Jln Hos.Jokroatminoto. No. 84 Yogyakarta
b)      Luas Tanah                    : 6348 M2
c)      Luas lahan dasaran        : 2130 M2
d)     Kelas Pasar                     : III
e)      Jumlah Pedagang           : 718
f)       Fasilitas :
Tempat parker                          : 4
Kamar Mandi/ WC   : 9 
Kantor Pengelola                    : 1
Mesjid/mushola                       : 1
Tempat Layanan Kesehatan    : 1

Pasar Klitikan Pakuncen ini dibangun diatas  tanah yang luas arealnya enam ribu tiga ratus empat puluh delapan meter bujur sangkar (6348 m2) yang sebelumnnya digunakan untuk pasar hewan (saat ini sudah di pindah ke daerah Ambar Ketewang, Gamping, Sleman). Pembangunan Pasar Klthikan Pakuncen mulai dibangun pada tahun 2006 dan dapat terselesaikan sepenuhnya yang langsung ditempati oleh para pedagang sesuai dengan fungsi pembangunannya pada bulan Oktober 2007.[13]
2.      Arah Kebijakan Pelaksanaan Pembangunan Pasar Klitikan Pakuncen
Pembangunan Pasar Klithikan terpadu di lahan bekas Pasar Hewan Kuncen menjadi gebrakan baru upaya penataan kembali ratusan pedagang klithikan yang selama ini mendiami kawasan Mangkubumi, Asem Gede, hingga seputaran Alun-alun Selatan, Yogyakarta. Langkah besar Pemerintah KotaYogyakarta ini terasa sangat menjanjikan dan menenteramkan karena bukan hanya sekadar ingin memindahkan pedagang maupun menciptakan kawasan ekonomi baru, melainkan juga akan bertanggung jawab terhadap kesuksesan dan keberhasilan para pedagang. Bahkan, yang lebih monumental lagi, Pemerintah Kota Yogyakarta pun telah mengobsesikan bahwasanya Pasar Klithikan terpadu ini bakal menjadi ikon pariwisata baru yang sangat layak disuguhkan bagi turis-turis mancanegara yang gaungnya diharapkan sampai ke negara-negara asing. Realitas inilah yang menyentakkan kesadaran kita karena pendekatan formal dan birokratis beserta paradigma proyek masih saja dilanggengkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi di sektor informal, di mana kebijakan tersebut justru berpotensi kian meminggirkan nasib dan eksistensi segenap pedagang klithikan. [14]
Pasar Klithikan, bagi publik telah menjadi salah satu simbol pasar tradisional yang menyediakan berbagai macam barang dengan harga miring. Sebelumnya, para penjual di Pasar Pakuncen itu adalah pedagang yang berlokasi di berbagai sudut kota Jogja seperti Asem Gede, Alun-alun Kidul (Alkid), dan paling banyak berasal dari jalan Mangkubumi. Bangunan Pasar Klithikan Pakuncen ini terdiri dari dua bagian. Lantai pertama merupakan zoning A1, B1, B2, C1, C2, dan D1. Lantai ini merupakan pusat dari pasar Pakuncen sendiri. Setiap zoning punya karakteristik barang dagangan yang berbeda-beda. Mulai dari onderdil-onderdil motor atau mobil bekas, barang-barang kuno, hingga pakaian dan sepatu ada di lantai ini. Sementara di lantai dua (zoning A2) yang merupakan kawasan penjual dengan barang dagangan HP second dan alat-alat elektronik. Dengan keunikannya, Pasar Klithikan Pakuncen dapat menjadi salah satu potensi wisata budaya. Dengan pembelajaran kontinyu serta wadah yang memadai bagi pedagang untuk menggali ilmunya, niscaya pasar ini pun akan semakin berkembang menjadi satu lahan ekonomi potensial bagi kota Jogja. Kedisiplinan pedagang untuk menjaga kualitas produk dan pelayanannya juga menjadi kunci keberhasilan pasar itu menjadi potensi wisata alternatif.[15]
B.     Analisis Data
1.      Relokasi Pedagang Kaki Lima Ke Pasar Klithikan Pakuncen Yogyakarta
Kebijakan relokasi yang dilakukan oleh pemerintah kota Yogyakarta sudah cukup arif dan baik. Dengan adanya relokasi tersebut merupakan upaya pemerintah kota Yogyakarta untuk penataan kota yogyakarta yang bersih dan nyaman.
Bahwasanya ada beberapa hal yang melatarbelakangi relokasi PKL Mangkubumi, Asam Gede, dan Alun-Alun Kidul adalah sebagai berikut :
1.      Aspek Legalitas.
Bahwa keberadaaan PKL klithikan di lokasi baru (pasar klithikan pakuncen) mempunyai status hukum yang jelas yaitu sebagai pedagang pasar.
2.      Aspek Pemberdayaan
Dengan dilakukannya relokasi ke pasar Klthikan Pakuncen, pemerintah kota yogyakarta akan menfasilitasi PKL klthikan Pakuncen sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dalam aktifitas usaha.
3.      Aspek wisata
Keberadaan PKL pada satu lokasi di pasar klthikan pakuncen akan menjadikan ikon wisata belanja baru di kota yogyakarta.[16]
Untuk memberdayakan potensi pedagang, khususnya PKL Klithikan yang sebelumnnya tersebesar di berbagai lokasi, menjadi pedagang formal yang memiliki status hukum yang jelas menjadi pedagang pasar yang memiliki tempat lebih representative. Pedagang pasar klithikan merupakan hasil relokasi dari PKl Asam Gede, Kawasan Alun-alun Kidul dan Mangkubumi. Kemudian untuk mendukung Yogyakarta sebagai kota wisata, khususnya dalam pengembangan wisata, Pasar Klitikan juga dijadikan sebagai sarana wisata belanja dengan berabagai Keunikan jenis barang yang di dagangan yang ditawarkan oleh pedagang pasar Klithikan Pakuncen merupakan simbol  parawisata baru di kota Yogyakarta.[17]
Dari hal tersebut diatas dapat kita lihat bahwa dengan adanya penataan yang lebih baik untuk PKL yang tidak jelas statusnya dan juga sering melakukan transaksi perdagangannya di pinggir jalan yang sangat meresahkan pedagang sekitar memiliki toko atau pusat perbelanjaan lebih legal, akibat dari kumpulan PKL yang berhamburan disekitarnya terutama di jalan Mangkubumi saat itu. Selain itu PKL liar ini juga meresahkan kinerja pemerintah dalam melakukan penataan kota yang lebih teratur.  Untuk menjaga ketidak teraturan penataan kota itu pemerintah dalam hal ini pengambil kebijakan melakukan berbagai upaya yang dapat memberdayakan PKL tersebut dan juga mendukung dalam memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan pendapatan asli daerah. Adapun langkah pemerintah yang telah dilakukan adalah memberikan sarana bagi PKL untuk berdagang dengan mendirikan pasar Klitikan Pakuncen Yogyakarta agar para konsumen PKL dimanapun terfokus dalam satu wilayah pasar.
Relitasnya, dengan terjadinya peningkatan status PKL yang tadinya sebagai pedagang informal menjadi pedagang formal, memberikan pengakuan tersendiri dikalangan masyarakat itu sendiri yang tentunya lebih baik dan lebih inovatif, dimana kita ketahui bersama bahwa bekerja di sektor informal yang dianggap mengotori lingkungan kota sehingga keberadaannya sangat mengganggu ketertiban dan kenyamanan. Selain itu para pedagang ini mendapat persepsi yang baik di mata masyarakat pada umumnya dengan bekerja di sektor formal, tadinya dikenal dengan nama ‘Pasar Maling’ sekarang lebih dikenal dengan nama yang lebih baik dan ditetapkan oleh pemerintah.
Kemudian ketika direlokasi pemerintah tidak hanya menyediakan sarana bangunan atau tempat untuk pedagang untuk berdagang begitu saja, tetapi pemerintah juga melakuakan upaya pemberdayaan dengan mendampingi para pedagang sampai mampu mengembangkan dagangan mereka dengan hal-hal yang lebih inovatif baik secara psikis maupaun dengan materi dan promosi keberadan pasar. Hal ini tentunya Sesuatu karakter unik dan langkah  yang ditempuh oleh pemerintah untuk daerah yang ada di Indonesia, bahwa sebagian para pedagang yang akan direlokasi menjual barang-barang langka, barang-barang lama (tempo doloe) dan susah di temui di toko-toko atau pusat perbelanjaan yang lain. Sehingga dengan bentuk barang itu tentu menarik perhatian masyarakat lokal maupun masyarakat luar Jogja yang datang untuk tujuan wisata ataupun masyarakat luar yang sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta untuk berkunjung kepasar Klithikan dan selain itu, tidak hanya masyarakat local yang berkunjung tetapi juga pasar ini memberi daya tarik tersendiri untuk turis mancanegara datang kepasar klitikan untuk melihat-melihat pasar klithikan, disamping itu juga dengan adanya relokasi tersebut kepasar Klithikan Pakuncen semua lapisan masyarakat bisa mengakses pasar klithikan. Karena sebelumnya ketika para pedagang ini berjualan di daerah Mangubumi, Asam gede dan Alun-alun kidul pengunjung datang sebagian besar masyarakat kelas menengah ke bawah dan masyarakat miskin sedangkan masyarakat golongan atas hanya orang-orang tertentu yang berkunjung dengan tujuan untuk membeli barang tertentu yang kemungkinan susah di dapat di tempat lain dan yang lain karena alasan  gengsi untuk berkunjung apalagi membeli barang yang tidak sangat memberikan dampak besar dalam  mempengaruhi atau mengurangi nilai-nilai yang ada pada pasar Klitikaan itu sendiri.
Dalam rangka pelaksanaan program pengembangan dan pembedayaan pedagang klithikan pakuncen paska relokasi pemerintah kota yogyakarta telah melaksanakan langkah-langkah sebagai berikut :
1.      Memberikan bantuan masa transisi sebesar Rp 40.000,-/ hari selama 7 ( tujuh ) hari kepada masing-masing pedagang.
2.      Memberikan bantuan masa adaptasi sebesar 20.000,-/ hari selama 30 (tiga puluh) hari kepada masing-masing pedagang.
3.      Memberikan dukungan untuk kepentingan promosi Pasar Klithikan pakuncen.
4.      Memberikan pelatihan manajemen usaha dan pelatihan teknis kepada masing-masing pedagang.
5.      Memberikan bantuan penguatan modal berupa pinjaman lunak bergulir dengan syarat membentuk Koperasi pedagang Klthikan Pakuncen.
6.      Memberikan kemudahan akses pinjaman modal kepada Bank yang di tunjuk.[18]

Upaya yang dilakukan pemerintah kota Yogyakarta dalam memberdayakan pedagang kaki lima paska relokasi tidak terlepas dari dukungan masyarakat, hal ini ditandai dengan adanya musyawarah yang dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk sosialisasi untuk penataan pasar, dan tetunya memintah pendapat masyarakat dalam perelokasian ini agar tidak terjadi kontradiksi dalam perelokasiannya. Program pembederdayaan pedagang kaki lima menurut penulis sangat strategis sekali, dimana dengan adanya bantuan dana masa transisi ini dan massa adaptasi merupakann upaya yang dilakukan agar pedagang terbiasa berada di pasar klithikan Pakuncen. Bantuan ini juga sebagai uang untuk berjaga-jaga ketika barang dagangan tidak laku karena kita tahu bahwa pasar kltikan pakuncen ketika baru ditempati pengunjung tentunya masih sedikit dan tidak terlalu banyak seperti ditempat sebelumnya. Untuk itu dengan bantuan promosi yang dilakukan oleh pemerintah kota Yogyakarta baik melalui media cetak, elektronik dan lain-lain sebagainya sangat membantu sekali dalam melakukan sosialisasi, karena dengan sosialasi masyarakat menjadi tahu bahwa telah ada pasar klthikan Pakuncen yang merupakan gabungan dari tiga tempat. Kemudian dengan upaya pemberdayaan para pedagang tentu membuat para pedagang sangat serius dan berlomba-lomba untuk bergabung ke pasar Klitikan Pakuncen. Semuanya program pengembangan dan pemberdayaan merupakan daya tarik agar masyarakat mau berdagang di pasar klithikan masyarakat. Dan kebijakan ini sangat positif bagi pedagang kaki lima dari tiga tempat tersebut.
Pemerintah kota Yogyakarta dalam melakukan penataan kota yogyakarta sudah cukup baik, dimana pedagang kaki lima tidak hanya di gusur/ dipindahkan begitu juga tetapi pemerintah kota menyediakan tempat yang layak untuk PKL berjualan. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Bapak Fathur Rahman berikut kutipannya
bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yogyakarta sudah arif dan baik,dimana dalam melakukan relokasi memperhatikan aspirasi dari masyarakat melalui dialog-dialog/ musyawarah, walaupun dalam proses relokasi ada yang pro dan ada yang kontra[19].
Hal yang sama diungkapan oleh Bapak Agung priyono Bidang Perdagangan yang mengatakan bahwa sebagai berikut;  
dalam melakukan proses sosialisasi pemerintah kota yogyakarta lebih mengedepankan pendekatan persuasive dan menjauhi segala bentuk tindakan represif, pendekatan persualif tersebut dilakukan dengan musyawarah/ dialog antara pemerintah kota yogyakarta dengan pihak yang mewakili para pedagang kaki lima (Pihak Paguyuban ), dan LSM yang mendampingi para PKL”.[20]

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa pemerintah kota Yogyakarta dalam melakukan merelokasi pedagang kaki lima melalui diskusi/musyawarah. Dalam musyawarah tersebut tentu ada yang pro dan ada yang kontra. Pedagang yang pro terhadap relokasi memiliki alasan yang cukup rasional dimana mempercayai pemerintah kota yogyakarta dalam membantu pedagang kaki lima untuk meningkatkan status pedagang dari informal menjadi formal, yang cukup penting mengapa pedagang pro terhadap kebijakan pemerintah karena memang pada dasarnya para pedagang merasa bersalah karena telah menempati daerah wilayah umum yang tidak layak untuk melakukan kegitan dagang dan sangat mengganggu aktifitas umum, seperti menggunakan jalan umum yang sangat mengganggu lalu lintas. Sedangkan para pedagang yang kontra menolak relokasi karena ketika direlokasi kepasar klithikan pakuncen, maka pendapatan para pedagang akan berkurang karena para masyarakat dalam hal ini sebagai konsumen tetap mereka tidak mengetahui keberadaan pasar Klithikan pakuncen atau tidak mengetahui keberadaan pedagang sebagai langgananya dalam belanja barang-barang tertentu sehingga hal ini dapat mengakibatkan konsumen tetap itu akan berpindah dan mencari tempat lain yang memperdagangkan barang-barang sejenis. Hal ini merupakan pukulan telak atau ketakutan-ketakutan tertentu yang mengakibatkan para pedagang menolak untuk direlokasikan ke pasar klithikan pakuncen.
Secara umum pedagang yang setuju relokasi terdiri dari; pedagang Alun-alun Kidul, Asem Gede, dan sebagian pedagang Mangkubumi. Beberapa pedagang tersebut tergabung dalam KPKMPR ( Komunitas Pedagang Klithikan Mangkubumi). Pedagang yang setuju dengan relokasi segera mendaftarkan diri sebagai pedagang pasar pakuncen kepada Dinas Perindustrian, perdagangan dan Koperasi Kota Yogyakarta. Adapun sependapatnya pedagang dengan adanya relokasi adalah dengan tersedianya sarana atau pusat perbelanjaan dalam hal ini pasar Klitikan Pakuncen pedagang merasa mendapatkan tempat yang lebaik dan layak untuk melakukan transaksi pasar, mendapatkan status legalitas yang lebih jelas dalam beraktifitas sebagai pedagang pasar, dan selain itu pemerintah telah melakukan upaya dengan  berjanji akan melakukankegiatan yang inovatif seperti mengadakan pelatihan-pelatihan bagi pedagang yang menempati pasar dan serta memberikan berbagai kemudahan modal setelah tahap pelaksanaan relokasi. Selain itu, pedagang yang tidak sependapat dengan adanya relokasi bersikeras untuk tidak mendaftarkan diri, mereka takut nantinya kalau memang benar-­benar dilaksanakan relokasi, mereka malah tidak mendapatkan kios atau tempat. Pedagang yang menolak relokasi adalah sebagian dari pedagang klithikan mangkubumi yang tergabung dalam Pethikbumi. Mereka menolak kebijakan relokasi tersebut karena pakuncen tidak memiliki letakn yang cukup strategis untuk berdagang  dan mereka tidak mau babat alas Baru lagi di pakuncen. [21]
Untuk itu jauh jauh hari sebelumnya pemerintah kota yogyakarta mengadakan diskusi dengan para paguyuban pedagang kaki lima. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Ketua Kompak Bapak Fathur Rahman, berikut kutipan wawancarananya.
Pemerintah kota Yogyakarta I tahun sebelum relokasi telah melakukan diskusi/dialong/ musyawarah kepada seluruh pedangang kaki lima yang diwakili oleh paguyuban-paguyuban. Pendakatan-pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sangat baik, tanpa melaui kekerasan tapi melalui pendekatan persuasive sehingga para paguyuban yang tadinya gotot tidak mau dipindahkan namun akhirnya mau tetapi dengan persyaratan-persyaratan yang diajukan dan di sepakati oleh pemerintah kota yogyakarta.sudah sangat baik dengan musyawarah/ dialog”
Keberhasilan relokasi tersebut tidak terlepas dari peran walikota yogyakarta sebagai interprenaursip, yang mempunyai misi bagiamana penataan kota yogyakarta berlangung aman dan terkendali, tanpa ada tindakan refresif tetapi dengan melalui berbagai pendekatan-pendekatan secara kekeluargaan. Upaya penataan kota yogyakarta dilaksanakan melaui proses yang cukup panjang dengan pemikiran-pemikiran yang memiliki nilai besar untuk kepentingan masyarakat dan tidak berdampak dalam hal penataannya atau merugikan masyarakat apalagi menghilangkan lapangan pekerjaan bagi meraka. Dan ini yang sangat dijauhi oleh Bapak Heri Susanto sebagai Walikota yogyakarta yang sudah dua periode penjabat sebagai Walikota yogyakarta.
Tetapi ada juga berbagai kendala dalam pelaksanaan relokasi Pedagang kaki lima oleh pemerintah Kota Yogyakarta, dimana para pedagang menolak relokasi dengan alasan bahwa takut jangan-sampai mengurangi pendapatan mereka seperti yang dikatakan oleh Bapak Lurah Pasar Klitikan berikut kutipan wawancaranya :
para pedangang yang menolak untuk direlokasi karana ketakutan ketika sudah berjualan dipasar klthikan barang dagangannya itu tidak laku, maka inikan akan menguragi pendapatan mereka, dan siapa yang akan kasih makan anak-anak mereka ketika pendapatan tidak ada.[22]
Sama halnya yang dikatakan oleh Bapak Ganef Eko, berikuti kutipan wawancaranya:
“Para pedagang ada yang menolak untuk direlokasi karena takut kehilangan pelanggang, jangan sampai pelanggang itu tidak tahu lagi dengan keberadaan tempat yang baru. Karena tempat yang baru itu masyarakat tidak tahu dan kemungkinan ketika berjualan ditempat yang baru itu, barang-barang dagangan tidak ada yang laku, itupun kalau laku terjual paling sangat rendah sekali pendapatan itu dalam sehari. Ketika dilakukan relokasi kepasar klthikan pakucen, para pedagang.”[23]
Dari beberapa pemaparan diatas maka terlihat jelas bahwa dalam melakukan relokasi pedagang kaki lima, terdapat kendala-kendala. Kendala- kendala tersebut para pedagang menolak relokasi dengan alasan takut pendapatan menjadi berkurang dan lai-lain sebagainya. Tetapi lagi-lagi dikatakan bahwa kendala-kendala tersebut berhasil diminimalisir dengan melakukan pendekatan-pendekatan persuasive kepada pedagang kaki lima.
2.      Perubahan yang terjadi pada para PKL setelah berdagang di Pasar Klithikan Pakuncen Yogyakarta.
Para pedagang kaki lima sebelum berdagang di pasar klithikan pakuncen, pada umumnya berasal dari tiga tempat yaitu PKL dari jalan Mangkubumi, Asam Gede, dan Alun alun Kidul. Ditempat sebelumnya mereka berjualan biasanya dibadan jalan, trotoar dan tempat-tempat yang trategis bagi mereka.misalnya saja Pedagang kaki lima di jalan mangubumi, berjualan didepan toko, ditempat orang pejalan kaki, begitu juga halnya ditempat asam gede dan Alun-alun kidul.
Dengan adanya pasar klithikan pakuncen ini memberikan angin segar bagi pedagang kaki lima, karena sarana dan prasana di pasar klithikan pakuncen itu sangat tersedia dan memadai, misalnya saja WC, dan Mushola, dan lain-lain ini merupakan daya tarik bagi pedagang untuk berjualan di pasar pakuncen, kemudian listrik gratis dan lain-lain sebagainya. Untuk waktu  yang diberikan oleh pemerintah di pasar untuk melakukan aktifitas perdagangan sangat panjang sekali dari pagi sampai malam yang dapat memberikan berbagai kesempatan bagi PKL untuk berdagang dan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk datang membeli ke Pasar Klitikan Pakuncen.
Tetapi lain halnya yang dapat kita tinjau ketika PKL berjualan ditempat sebelumnya, misalnya saja di Mangkubumi dapat kita rasakan dan lihat bagaimana ketika mereka berjualan, bahwasannya mereka berjualan dari sore sampai jam sepuluh malam, kemudian setelah berjualan barang dagangan mereka dibawa serta balik kerumah. Dimana pada saat hujan maka mereka kehujanan, begitu juga pada saat panas, kalau panas maka akan kepanasan, seperti yang dikatakan oleh pedagang yang pernah berjualan di Mangkubumi berikut kutipan wawancarnya :
“ ketika saya berjualan dimangkubumi,biasanya saya mulai berjualan dari jam tujuh sampai jam sepuluh malam, dan barang dagangan kalau sudah selesai berjualan saya bawa balik kerumah,dan lampu untuk berjualan itu tidak ada, tinggal saya mencari tempat yang agak terang, yang diterangi lampu listrik toko maupun jalan”.[24]
Para pedagang kaki lima ketika berjualan ditempat sebelumnya dengan menggunakan fasilitas seadainya dan sangat sempit berdesakan yang sangat menyulitkan para pedagang karena untuk berjualan saja barang dagangan harus dibawah dari rumah kemudian setelah berjualan barang dagangan tersebut dibawah balik lagi kerumah. Selain itu pedagang merasa kurang aman dan kurang nyaman dalam melakukan aktifitasnya. Memang terlihat jelas sekali kalau kondisi seperti ini sangat menyulitkan PKL.
Kemudian dari sisi keamanan, para PKL meresa tidak aman, karena tidak ada jaminan ketika barang di tinggal jualan tersebut akan aman. Ada sebahagian Pedagang kaki lima dari mangkubumi membayar sewa tempat karena berjualan didepan toko atau dengan kata lain retribusi tempat, tetapi ada juga yang gratis mengenai tempat.[25]
Untuk menambah pendapatan asli daerah (PAD) kota Yogyakarta, dinas pengelolaan pasar memberikan retribusi kepada para pedagang sebesar dua puluh delapan ribu per bulan dan retribusi berlaku sesuai dengan jenis barang yang diperjual belikan. Bagi para pedagang ini sangat tidak memberatkan sekali, karena para pedagang mendapatkan tempat yang aman dan layak, dan listrik gratis dan tersedianya sarana dan prasana yang memadai. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Bapak Budyharianto, berikut kutipan wawancaranya “
“Retribusi pasar klthikan pakuncen ini setiap bulannya Rp 28. Ribu/ bulannya, dan dengan retribusi tersebut tidak memberatkan sekali. Karena dari 28 ribu itu kalau berharinya berarti sekitar Rp 1.000. retribusi tersebut sesuai dengan fasilitas yang yang saya dapat kalau berjaulan dipasar pakuncen, listrik gratis, dan saya aman kalau berjualan disini.[26]       
Dari pemaparan diatas, saya kira terlihat jelas bahwa pungutan retribusi bagi pedagang pasar pakuncen itu tidak memberatkan sama sekali dan retribusi tersebut sangat sesuai sekali dengan fasilitas yang didapatkan.
Dengan adanya relokasi tersebut tentunya pedagang kaki lima ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Yang setuju, memiliki memiliki cara pandang bahwa bahwa memang para pedagang kaki lima dalam posisi yang salah karena menempati daerah trotoar, menempati tempat yang dilalui oleh para pejalan kaki  dan mengganggu ketertiban umum dan merupakan suatu kesukuran yang besar kalau pemerintah beritikat baik untuk membuat tempat yang baru bagi pedagang kaki lima. Sedangkan yang tidak setuju karena ketakutan ketika dipindahan penjualan tidak bakalan laku, pendapatan berkurang dan lain-lain sebagainya.
Ketika berjualan dimangkubumi,atau Alun-alun Kidul, pendapatan para pedagang kaki lima kadang-kadang laku dan kadang-kadang juga tidak laku, seperti yang dikatakan oleh Bapak Sugianto, berikut kutipan wawancaranya sbb :
“Pendapatan yang saya ketika berjualan di mangkubumi hamper sama dengan pendapatan saya sekarang berjualan di Pakuncen, biasanya bersih 25 ribu/ hari, tapi kadang-kadang laku-kadang-kadang juga tidak laku.[27]
Sedikit berbeda yang dikatakan oleh Bapak Gamef eko, berikut kutipan wawancaranya”
“ada peningkatan pendapatan ketika berjualan di pasar klthikan pakuncen.kalau berjualan di tempat sebelumnya ( Mangkubumi ) itu pendapatan saya sangat sedikit lain halnya ketika saya berdagang disini. Kalau dipakuncen pembeli banyak sekali apalagi kalau sore dan malam hari. Pembeli padat sekali[28].
Begitu juga halnya yang dikatakan oleh Bapak Budyharinto adalah  bahwa;
kalau saya berjualan dipasar Klitihikan pendapatan saya meningkat, barang-barang saya pada laris,, banyak yang beli, lain halnya dengan ketika saya berjualan sebelum di dipasar Klthikan,pendapatan saya  tetap tepat saja tidak ada peningakatan,pelanggang saya itu-itu saja,,,lain halnya kalau di pakuncen pelanggang saya meningkat.[29]
Dari pendapat diatas dapat kita simpulkan bahwa dengan adannya relokasi pedagang kaki lima di pasar klitihikan pakuncen ini memberikan dampak yang positif bagi para Pedagang kaki lima, dimana ketika berdagang dipasar pakuncen pendapatan pedagang menjadi bertambah, ini berarti relokasi tersebut mampu dan sesuai dengan program pemerintah dalam upaya menyejahterakan masyarakatnya.. Selain itu juga, para pedagang memperoleh kenyamanan dalam  berdagang.
Peningkatan pendapatan masyarakat dipasar klithikan pakuncen tidak terlepas dari sosialiasi yang dilakukan oleh pemerintah kota yogyakarta maupun pihak paguyuban pasar kltihikan yang dilakukan melaui berbagai event yang dapat memberikan daya tarik tersendiri bagi masyarakat local maupun turis asing untuk berkunjung kepasar klithikan pakuncen, seperti yang dikatakan oleh Ketua Kompak sebagai berikut :
“ pasar klithikan sampai dikenal oleh masyarkat karena sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah kota yogyakarta baik melaui media cetak, elotronik dan kami sendiri dalam memperkenalkan pasar klthikan pakuncen selalu mengadakan event-event, yang ini tentu bisa menarik perhatian masyarakat untuk selalu berjungjung kepakuncen.
Untuk itu saya kira sosialisasi terus digalakan sehingga pasar klithikan pakuncen cukup dikenal oleh banyak orang. Dan pasar pakuncen ini sesuai dengan ikon parawisata ini dapat diwujudkan dengan baik.[30]
Tetapi dengan dengan peningkatan pendapatan oleh pedagang disatu sisi tetapi disisi lain pemberdayaan pedagang jarang digalakan sehingga banyak pedagang-pedagang yang gulung tikar dan menjual tempat dagangan mereka dan meraka sebahagian kembali kejalan lagi, hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Ketua Kompak berikut kutipan wawancaranya :
“pemberdayaan pedagang perna dilakukan oleh pemerintah kota yogyakarta tapi itu masih sangat kurang  apalagi sekarang sudah tiga tahun pasar klithikan pakuncen berjalan dan saya kira perlu dilakukan terus menerus karena pemberdayan bagi pedagang itu sangat penting sekali. Kerena dengan pemberdayaan bagimana melatih pedagang untuk punya kemampuan dalam jual beli, bagimana pedagang memiliki kemampuan dalam hal pemasaran dll. Dengan melihat kapasitas para pedagang sangat terbatas sehingga ada sebahagian pedagang yang tidak memiliki kemampun dalam berdagang sehingga gulung tikar atau tidak mampu bersaing dengan pedagang yang lain dan diganti dengan pedagang yang baru, sekitar 50 % pedagang dipasar pakuncen diganti dengan pedagang yang baru.  dan mereka yang tidak mampu bersaing akhirnya mereka kembali berjualan dijalan lagi.[31]
Setelah Pelaksanaan relokasi pedagang kaki lima ke pasar  Klitikan Pakuncen pemerintah kota Yogyakrta memang telah memberikan subsidi dan berjanji akan melakukan pemberdayaan dan membantu untuk melakukan sosialisasi tentang keberadaan pasar. Sementara itu pemberdayaan yang telah dilakukan pemerintah kota yogyakarta terhadap para pedagang sangat minim sekali dalam melakukan aktifitas pemasaran sehingga pedagang tidak mengalami berbagai kendala apapun yang berdampak pada kebangkrutan akibat dari kurang pahamnya dalam pelaksanaan teknik manajemen perdagangan. Bantuan yang diberikan ketika awal menempati pasar klitihikan memang sangat diperlukan tetapi tidak hanya bersifat jangaka pendek. Selain itu pengaruh yang lebih besar dari relokasi ini adalah ditandai banyaknya bemunculan pedagang-pedagang baru, hampir sekitar lima puluh persen (50%) dari kesluruhan pedagang yang ada di pasar. Dari hal ini bahwa relokasi pasar memiliki dampak negative yang kecil dan memiliki dampak positif yang lebih besar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama para pedagang




BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Berdasarkan beberapa penjelasan dari hasil penelitian dan pembahasan diatas sehingga dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Pemerintah kota yogyakarta berhasil melakukan relokasi pedagang Kaki lima Mangkubumi, Asam Gede, dan Alun-alun kidul dengan melakukan pendekatan-pendekatan persuasif, dan tidak dengan represif. Pendekatan-pendekatan itu dilakukan melalui dialog/ musyawarah antara pihak pemerintah kota yogyakarta dengan perwakilan Paguyuban-paguyuban pedagang kaki lima, dan dengan adanya paguyuban PKL yang mampu menampung aspirasi pedagang kaki lima sehingga memudahkan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam melakukan dialog/ diskusi. keberhasilan relokasi tersebut tidak terlepas juga dari kepemipinan walikota yogyakarta.
2.      Dengan adanya relokasi pedagang kaki lima ke pasar klthikan pakuncen memberikan dampak yang positif bagi pedagang diantaranya mampu meningkatkan pendapatan masyarakat serta tersedianya fasilitas sarana dan prasarana memberikan kenyamanan baik pedagang maupun penjual.
3.      Pembedayaan pedagang klthikan pakuncen yang dilakukan oleh pemerintah kota yogyakarta sangat minim sekali sehingga banyak pedagang yang bangkrut ( gulung Tikar ).
4.      Kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam melakukan Penataan Sektor Informal di Wilayah Kota Yogyakarta, dalam hal ini relokasi PKL  pada Pasar Klithikan memberikan dampak dan pengaruh negatif yang sangat kecil serta dampak positif yang lebih besar terhadap masyarakat terutama para pedagang di pasar.
B.     Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Penataan Sektor Informal di Wilayah Kota Yogyakarta pada Pasar Klitikan Pakuncen penulis ingin memberikan saran yang dapat bermanfaat bagi pembaca, masyarakat, ataupun pemerintah, sebagai berikut:
1.      Perlunya pemberdayaan pedagang Kltikan Pakuncen oleh Pemerintah kota yogyakarta secara kontinyu misalnya pelatihan manajemen pemasaran dan lain-lain, sehingga tidak terjadi proses penjualan tempat, karena bangkrut (gulung tikar), dan  pera pedagang tidak kembali lagi berjualan kejalan serta dengan pelatihan tersebut mampu meningkatkan sumber daya pedagang sehingga mampu mengelola manajemen barang dan jasa yang tentunnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang dibarengi dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2.      Memberikan bantuan-bantuan modal kepada pedagang Klitihikan Pakuncen, karena dengan modal tersebut para pedagang dapat mengembangkan usaha. Karena selama ini pemerintah hanya memudahkan  bantuan modal oleh pedagang kepada kepada pihak bank dalam bentuk ketika meminjam uang dapat menyerahkan Kartu bukti perdagangan.
3.      Dalam upaya pemerintah Kota Madya Yogyakarta untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat terutama pada para pedagang kaki lima lebih terarah dan cenderung memperhatikan dampak yang ada terhadap masyarakat dengan berbagai kemudahan dalam beraktifitas, dan kebijakan itu bukan merupakan proyek individu semata tetapi untuk kepentingan umum.



                                                                                .
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Tadjuddin Noer. 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan. Yogyakarata : Tiara wacana
Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ke Tiga. Jakarta: Erlangga
Surakmand, Winarni . 1985 “Dasar Teknik Research, Pengantar Metodologi Ilmiah” ( Bandung,Trasito. )
Cris Manning dan Tadjuddin  Noer Effendi, 1985.  Urbanisasi, Pengangguran Dan Sektor Infrormal kota. Gramedia. Jakarta
WIbawa,  Samodra .2005. Reformasi Administrasi Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara/ public . Yogyakarta : Gava Media

Sumber lain
http://ratnadwipa.blogspot.com/2008/12/multidimensional-kebijakan-relokasi.html
http://arkandas.wordpress.com/2009/05/28/kebijakan-relokasi-pedagang-klithikan-yogyakarta-se


[1] Ibid  hlm 192
[2] Tadjuddin Noerr effendi,op.cip.  hlm 80
[4] Tadjuddin Noerr effendi.op.cip.  hlm 80
[5] Michael P. Todar.op.cip. hlm  351-352
[6] Tadjuddin Noerr effendi.op.cip. hlm 83-84
[7] Cris Manning dan Tadjuddin  Noer Effendi.op.cip  hlm 76
[8] Tadjuddin Noerr effendi.op.cip. hlm 87
[9] Cris Manning dan Tadjuddin  Noer Effendi.op.cip hlm 76
[10] Michael P. Todaro.op.cip  hlm 352
[11] Ibid. hlm  353-354
[12] Dinas Pengelolaan Pasar, 2007
[13] Ibid
[14] Ancas Waluyo Jati, Sabtu, 18 November 2006, menyoal Kawasan Ekonomi Klithikan,  http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0611/18/jogja/1030852.htm  


[15] http://njowo.multiply.com/reviews/item/337
[16] data sekunder dari dinas Perindagkoptan kota yogyakarta.
[17] Data sekunder dari Dinas Pengelolaan Pasar kota Yogyakarta
[18] ibid
[19] Wawancara dengan ketua Kompak Bapak Fathur rahman tgl 26 April 2010
[20] Wawancara dengan bapak Agung priyono, Dinas Perindakoptan Yogkarta, Bidang Perdagangan, tanggal 26 April 2010
[22] Wawancara dengan Lurah Pasar Klthikan Pakunce Bapak R. Sigit Permono, pada tanggal 26 April 2010
[23] Wawancara dengan Bapak Ganef  eko Pada tanggal 18 April 2010.

[24] Wawancara dengan Bapak  Sugiyanto pada tanggal 18 April 2010
[25] ibid
[26] Wawancara dengan Bapak Budyharianto pada tanggal 18 april 2010.
[27] Ibid.
[28] Wawancara dengan Bapak Ganef  eko Pada tanggal 18 April 2010. Sebelumnya Bapak ganef eko berjualan di Mangkubumi. Paguyuban dimangkubimi itu bernama Pethikbumi yang terdiri dari beberapa kelompok. Dan Bapak Genef Eko salah satu Ketua kelompok dari 8 kelompok yang ada dipaguyuban petikbumi
[29] Wawancara dengan Bapak Budyharianto pada tanggal 18 april 2010, pak budyharianto pedagang alat-alat Motor Bekas.
[30] Wawancara dengan Bapak Fathur Rahman, 26 April 2010
[31] Ibid.



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar