Pembangunan daerah
sebagai bagian dari integral dari pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan
prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional memberikan
kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat munuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi
dan nepotisme. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sub sistem
pemerintahan Negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom,
daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan
masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan
pertanggung jawaban kepada masyarakat. Dalam rangka penyelengaraan pemerintahan
pelayanan masyarakat, dan pembangunan,
pemerintahan suatu Negara pada hakikatnya mengembang tiga fungsi utama yakni :
Ø Fungsi
alokasi yang meliputi antara lain, sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang
dan jasa pelayanan pelayanan masyarakat.
Ø Fungsi
distribusi yang meliputi, antara lain, pendapatan dan kekayaan masyarakat,
pemerataan pembangunan.
Ø Dan
fungsi stabilisasi yang meliputi antara lain pertahanan keamanan, ekonomi dan
moneter.[1]
Untuk mendukung
penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan
pertanggung jawab di Daerah secara proposional, yang diwujdukan dengan
paraturan, pembagian dan pemamfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan
pemerintah Daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan Daerah
dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan.
Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pendapatan
asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang
sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali
dari dalam wilayah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah,
hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dana perimbangan merupakan merupakan
sumber pembiayaan yang berasal dari bagian daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan,
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya
alam, serta dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana perimbangan
tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, mengingat tujuan masing-masing
jenis sumber tersebut saling mengisi dan melengkapi.[2]
Menurut Sidik(1999 :
2) ada empat kriteria untuk menjamin sistem hubungan keuangan Pusat-Daerah yang
baik. Pertama, harus memberikan pembagian kewenangan yang rasional dari
perbagai tingkat pemerintahan mengenai penggalian sumber dana pemerintah dan
kewenangan penggunaannya; kedua,
menyajikan suatu bagian yang memadai dari sumber-sumber dana masyarakat
secara keseluruhan untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi penyediaan
pelayanan dan pembangunan yang diselenggarakan pemerintah daerah; ketiga, sejauh mungkin membagi pengeluaran pemerintah
secara adil diantara daerah daerah atau sekuranng-kurangnya memberikan
prioritas pada pemerataan pelayanan kebutuhan dasar tertentu; dan keempat,
pajak dan retribusi yang dikenakan pemerintah daerah harus sejalan dengan distribusi yang adil atas beban keseluruhan
dari pengeluaran pemerintah dalam masyarakat.[3]
Dalam melaksanakan
perimbangan keuangan antara Pemerintah pusat dan Daerah tersebut perlu
memperhatikan kebutuhan pembiayaan bagi pelaksanaan kewenangan yang menjadi
tanggung jawab Pemerintah Pusat, antara lain pembiayaan bagi politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, pengelolaan moneter dan fiscal, agama
serta kewajiban pengembalian pinjaman pemerintahan Pusat. Undang-Undang nomor
22/ 1999 juga mengatur kewenangan Daerah untuk membentuk Dana Cadangan yang
bersumber dari penerimaan daerah, serta sistem pengelolaan dan pertanggung
jawaban keuangan dalam rangka desentralisasi dilakukan oleh Kepala Daerah
kepada DPRD. Berbagai laporan keuangan Daerah ditempatkan dalam dokumen Daerah
agar dapat diketahui oleh masyarakat sehingga terwujud keterbukaan dalam
pengelolaan keuangan Daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat dan
Pemerintah daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang nomor 32 tahun
1956 tidak dapat dilaksanakan sesuai yang diharapkan, karena antara lain
beberapa faktor untuk menghitung pembagian keuangan kepala daerah belum
memungkinkan untuk dipergunakan. Selain itu mengingat berbagai jenis pajak yang
merupakan sumber bagi pelaksanaan perimbangan keuangan tersebut saat ini sudah
tidak diberlakukan lagi melalui berbagai peraturan perundangan, serta adanya
kebutahan dan aspirasi masyarakat yang berkembang dalam mendukung otonomi
daerah, maka perlu ditetapkan Undang-Undang yang mengatur perimbangan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah.[4]
Undang-Undang No
25/1999 mempunyai tujuan pokok antara lain :
a.
Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan
perekonomiann daerah.
b.
Menciptakan sistem pembiayaan daerah
yang adil, proposional, rasional,
transparan, partisipatif, bertanggung jawab ( akuntabel ) dan pasti.
c.
Mewujudkan sistem perimbangan
perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang mencerminkan
pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, mendukung pelaksanaan otonomi Daerah dengan penyelenggaraan
pemerintah daerah yang transparan, memperhatikan partisipasi masyarakat dan
pertanggung jawaban kepada masyarakat, mengurangi kesenjangan antar Daerah
dalam kemampuannya untuk membiayai tanggung jawab otonominya dan memberikan
kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang
bersangkutan.
d.
Menjadi acuan dalam alokasi penerimaan
Negara bagi daerah.
e.
Mempertegas sistem pertanggung jawaban
keuangan oleh pemerintah Daerah.
f.
Menjadi pedoman pokok tentang keuangan
Daerah.[5]
Penyelenggaraan tugas
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dibiayai atas beban APBD.
Penyelenggaraan tugas pemerintah pusat yang dilaksanakan perangkat Daerah
Propinsi dalam rangka pelaksanaan Dekosentrasi dibiayai atas beban APBN.
Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau
penyerahan kewenangan atau penugasan Pemerintah Pusat kepad Bupati/ Walikota
diikuti dengan pembiayaannya.penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah
Pusat Kepada Gubernur atau Bupati/ Walikota dapat dikukan dalam rangka
Desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan. Setiap penyerahan atau
pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat Kepada Daerah dalam rangka
desentralisasi dan dekosentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya munusia
dan sarana serta pengelokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran
pelaksanaan penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut[6]
Undang-Undang Nomor 25
tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah menetapkan bahwa pinjaman Daerah adalah sebagai salah satu sumber
penerimaan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang dicatat dan
dikelola dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.dana pinjaman
merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah yang ada dan ditujukan
untuk membiayai pengadaan prasarana Daerah atau harga tetap lain yang berkaitan
dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan
untuk mengembalikan pinjaman serta memberikan mamfaat bagi pelayanan
masyarakat. Selain itu daerah dimungkinkan pula melakukan pinjaman dengan
tujuan lain, seperti mengatasi masalah jangka pendek yang berkaitan dengan arus
kas daerah. Pinjaman daerah perlu disesuaikan dengan kemampuan daerah karena
dapat menimbulkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun tahun
berikutnya yang cukup berat sehingga perlu didukung dengan keterampilan
perangkat Daerah dalam mengelola pinjaman Daerah.[7]
Dana perimbangan terdirid dari :
a. Dana
Bagi Hasil
b. Dana
Alokasi Umum
c. Dana
Alokasi Khusus
Dana bagi hasil adalah bagian daerah
dari penerimaan pajak Bumi dan Bagunan, bea perolehan Hak atas tanah dan
bangunan dan penerimaan dari sumber daya alam. Dana bagi hasil merupakan
alokasi pada dasarnya memperhatikan potensi daerah Pengahasil. Dana alokasi
umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana alokasi umum
dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas
daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat
daerah, sehingga perpedaan antara daerah yang maju dan daerah yang belum
berkembang dapat diperkecil. Dana alokasi khusus adalah dana yang berasal dari
APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai
kebutuhan-kebutuhan tertentu. Dana alokasi khusus bertujuan untuk membantu
membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus Daerah. Dengan demikian sejalan dengan
kebutuhan pokoknya dana perimbangan dapat lebih memperdayakan dan meningkatkan
kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil,
proposional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab serta memberikan
kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang
bersangkutan.[8]
Pokok pokok perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ( UU nomor 33 tahun 2004
hendak mengatur suatu perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang berdasarkan atas hubungan fungsi, yaitu berupa sistem
keuangan daerah yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas dan
tanggung jawab antartingkat pemerintahan sesuai dengan pengaturan pada UU
tentang pemerintah daerah. UU perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
Pemerintah Daerah meliput ruang lingkup pengaturan dari : ( 1)prinsip-prinsip
pembiayaan fungsi pemerintah di daerah.(2)sumber-sumber pembiayaan fungsi dan
tugas tanggung jawab daerah yang meliputi : (a) pendapatn asli daerah, ( b)Dana
Perimbangan (c)pinjaman, (d)pembiayaan pelaksanaan asas dekosentrasi bagi
propinsi, ( 3)pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah, ( 4) sistem
informasi keuangan daerah.[9]
UU No 22 tahun 1999
tentang pemerintahan daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Agar sesuai dengan laju
perkembangan kehidupan masyarakat, kemudian diganti dengan UU No 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah dan UU No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah. Sesuai dengan UU No 22 tahun 1999
yang diganti dengan UU No 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan untuk
menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali kewenangan mengenai
pemerintahan dalam bidang pertahanan, keamanan, politik luar negeri, fiscal,
moneter, peradilan, agama dan administrasi pemerintahan yang bersifat
strategis.uraian singkat tersebut menunjukan bahwa telah terjadi
berubahan-perubahan besar dalam desain kebijakan hubungan antara pemerintah
pusat yang dratis dan radikal. Tentunya perubahan ini akan berdampak positif
dan negative, bahkan rawan terhadap gejolak konflik, gonjangan krisis dan tidak
menutup kemungkinan akan terjadi konflik kalau tidak kita sikapi dengan
bijaksana. Sebab boleh jadi otonomi justru akan melahirkan raja-raja kecil
didaerah yang dapat membuka pintu keluasaan korupsi dtingkat local. Oleh karena
itu, perubahan Undang-Undang pemerintah daerah akan berimplikasi pada hubungan
keuangan pusat dan daerah, berkaitan dengan siklus pengelolaan dana yang
berasal dari pusat kepada daerah.[10]
Implementasi kebijakan
desentralisasi fiscal di Indonesia dapat dilihat dari isu poko tersebut :
pertama, pengelolaan keuangan Negara, dari sisi keuangan Negara, kebijakan
pelaksanaan desentralisasi fiscal telah membawa konsekwensi kepada perubahan
yang cukup mendasar, mengenenai pengaturan hubungan pusat dan daerah, khususnya
dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, yang dalam banyak literature disebutb
intergoverment fiscal relation.kedua, menyangkut pendapatan asli daerah. Salah
satu wujud dan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan
bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri dengan potensinya
masing-masing. Kewenangan pemumutan pajak dan retribusi, berdasarkan paraturan
perundang-undangan yang berlaku, daerah diberi kewenangan untuk memungut 11
jenis pajak dan retribusi daerah sampai saat ini, distribusi kewengan
perpajakan antara daerah dan pusat terjadi ketimpangan yang realtif besar.
Ketiga, tentang bentuk-bentuk bagi hasil. Untuk menguragi ketimpangan vertical
( vertival imbalance ) antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil
pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Keempat, mengenai dana alokasi
umum. Perimbangan keuangan antara pusat daen daerah telah diatasi dengan adanya
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah ( dengan kebijakan bagi hasil dan
DAU minimal 25 % dari penerimaan dalam negeri jadi kepastian daerah akan
sumber-sumber pendapatan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi
tanggung jawabnya.kelima, Dana Alokasi Khusus ( DAK ). Pengertian DAK adalah
dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu
membiayai kebutuahan khusus. Alokasi DAK ditentukan dengan memperhatikan
tersediannya dana dalam APBN sesuai d engan UU Nomor 25 Tahun 1999 Jo UU Nomor
33 tahun 2004. Adapun yang dimakud dengan kebutuhan khusus diantaranya adalah :
( a) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi
umum; (b)kebutuhan yang merupakan komitmen/prioritas nasional.[11]
Setelah UU No 32 tahun
2004 tentang perimbangan keuangan Pusat dan Daerah disahkan dan diterapkan,
segera muncul permasalahan baru, terutama menyangkut soal desentralisasi fiskla
dan pengelolaan SDA. Tentu saja hal tersebut tidak memuaskan semua pihak. Bahkan
banyak pihak yang justru gundah atas adanya implementasi tersebut. dalam hal
ini desentralisasi fiscal maupun kewenangan pengelolaan SDA, eksploitasi pusat
atas daerah menjadi wacana yang tampak pada implementasi otonomi daerah selama
ini. Belum lagi soal good governance yang juga menjadi problem besar dalam
pemerintahan daerah. Pada satu sisi, adanya problem berupa dana pemerintah
pusat ke daerah yang belum sebanding dengan yang diserap pusat dan daerah.
Sedang disisi lain, dana yang ditransfer pusat tidak dikelola maksimal oleh
pemerintah daerah untuk kesejahteraan rakyat
(Antara News, 2 Januari 2008). Idealnya Otda menciptakan sistem pembiayaan
yang adil dan seimbang. Serta memunculkan good governance dengan pembiayaan
yang akuntabel, transparan, pasti serta partisipatif. Pemamfaatan dana
perimbangan oleh Pemerintah Daerah memang belum dimaksimalkan untuk
kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, dana perimbangan pusat untuk daerah tetap
harus sebanding dengan yang diserap pusat dan daerah tersebut. bila tidak,
ancaman desintegrasi bangsa akan terus membayangi negeri ini.[12]
Semangat pemerintah
Indonesia yang ingin segera dapat
mewujudkan good corporate perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak. UU no 32
tahun2004 dan UU No 33 tahun 2004 yang menitipberatkan pada pola transparansi
serta akuntabilitas jelas terlihat bahwa pemerintah menginginkan adanya pola
penyusunan, pelaksanaan dan perartanggung jawaban keuangan daerah; tidak hanya
melibatkan semua komponen masyarakat, bahkan hasil akhir dan semua itu hendak
ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Transparansi mulai dilakukan oleh
pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah;iklan lelang proyek pemerintah
juga sudah diatur dan mempunyai kekuatan hokum;laporan kerja maupun pertanggung
jawaban keuangan daerah juga sudah dikemas sedemikian rupa, sehingga sangat
normative, walaupun belum semua pemda melakukannya.[13]
Daftar
Pustaka
Bratakusumah, Deddy Supriady dkk, 2002, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Gramedia. Jakarta
Halim, Abdul dan Ibnu Mujib,2009, Problem dan Perimbangan Keuangan pemerintahan Pusat daerah.peluang dan
tantangan dalam pengelolaan sumber daya Daerah . Sekolah Paskasarjana UGM,
Yogyakarta
Hamid, Edy Suandi, 2005, Formula Alternatif DAU, Upaya mengatasi
ketimpangan Fiskal dalam era otonomi
daerah, UII press, Yogyakarta
[1] Dikutip
dari Deddy Supriady Bratakusumah, Ph.D dkk,2002, Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah. Gramedia : Jakarta. Hlm
168-169
[2]
Ibid Hlm
170
[3] Dikutip dari
Edy Suandi hamid, 2005, Formula Alternatif DAU, Upaya mengatasi
ketimpangan Fiskal dalam era otonomi daerah, UII press, Yogyakarta Hlm 12-13
[4] 0p.cip.
Deddy Supriady Bratakusumah Hlm 171
[5]
Ibid hlm 173
[6]
ibid. Hlm 172
[7]
Ibid Hlm 191.
[8]
ibid Hlm 173
[9]Prof
dr Abdul Halim dan Ibnu Mujib,2009,Problem dan Perimbangan Keuangan
pemerintahan Pusat daerah.peluang dan tantangan dalam pengelolaan sumber daya
Daerah . Sekolah Paskasarjana UGM, Yogyakarta hlm 13
[10]
Ibid hlm 23
[11]
Ibid hlm 30
[12] Ibid Hlm 35
[13] Ibid
hlm 51
Tidak ada komentar:
Posting Komentar