Mengenai Saya

Foto saya
Berani, Disiplin,Profesional dan Suka Tantangan

Jumat, 28 Oktober 2011

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah


Pembangunan daerah sebagai bagian dari integral dari pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat munuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sub sistem pemerintahan Negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggung jawaban kepada masyarakat. Dalam rangka penyelengaraan pemerintahan pelayanan  masyarakat, dan pembangunan, pemerintahan suatu Negara pada hakikatnya mengembang tiga fungsi utama yakni :
Ø  Fungsi alokasi yang meliputi antara lain, sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan pelayanan masyarakat.
Ø  Fungsi distribusi yang meliputi, antara lain, pendapatan dan kekayaan masyarakat, pemerataan pembangunan.
Ø  Dan fungsi stabilisasi yang meliputi antara lain pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter.[1]
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan pertanggung jawab di Daerah secara proposional, yang diwujdukan dengan paraturan, pembagian dan pemamfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan pemerintah Daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan Daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan. Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari dalam wilayah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dana perimbangan merupakan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam, serta dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana perimbangan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, mengingat tujuan masing-masing jenis sumber tersebut saling mengisi dan melengkapi.[2]
Menurut Sidik(1999 : 2) ada empat kriteria untuk menjamin sistem hubungan keuangan Pusat-Daerah yang baik. Pertama, harus memberikan pembagian kewenangan yang rasional dari perbagai tingkat pemerintahan mengenai penggalian sumber dana pemerintah dan kewenangan penggunaannya; kedua,  menyajikan suatu bagian yang memadai dari sumber-sumber dana masyarakat secara keseluruhan untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi penyediaan pelayanan dan pembangunan yang diselenggarakan pemerintah daerah; ketiga,  sejauh mungkin membagi pengeluaran pemerintah secara adil diantara daerah daerah atau sekuranng-kurangnya memberikan prioritas pada pemerataan pelayanan kebutuhan dasar tertentu; dan keempat, pajak dan retribusi yang dikenakan pemerintah daerah harus sejalan dengan  distribusi yang adil atas beban keseluruhan dari pengeluaran pemerintah dalam masyarakat.[3]
Dalam melaksanakan perimbangan keuangan antara Pemerintah pusat dan Daerah tersebut perlu memperhatikan kebutuhan pembiayaan bagi pelaksanaan kewenangan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, antara lain pembiayaan bagi politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, pengelolaan moneter dan fiscal, agama serta kewajiban pengembalian pinjaman pemerintahan Pusat. Undang-Undang nomor 22/ 1999 juga mengatur kewenangan Daerah untuk membentuk Dana Cadangan yang bersumber dari penerimaan daerah, serta sistem pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan dalam rangka desentralisasi dilakukan oleh Kepala Daerah kepada DPRD. Berbagai laporan keuangan Daerah ditempatkan dalam dokumen Daerah agar dapat diketahui oleh masyarakat sehingga terwujud keterbukaan dalam pengelolaan keuangan Daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 1956 tidak dapat dilaksanakan sesuai yang diharapkan, karena antara lain beberapa faktor untuk menghitung pembagian keuangan kepala daerah belum memungkinkan untuk dipergunakan. Selain itu mengingat berbagai jenis pajak yang merupakan sumber bagi pelaksanaan perimbangan keuangan tersebut saat ini sudah tidak diberlakukan lagi melalui berbagai peraturan perundangan, serta adanya kebutahan dan aspirasi masyarakat yang berkembang dalam mendukung otonomi daerah, maka perlu ditetapkan Undang-Undang yang mengatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.[4]
Undang-Undang No 25/1999 mempunyai tujuan pokok antara lain :
a.       Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomiann daerah.
b.      Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proposional, rasional,  transparan, partisipatif, bertanggung jawab ( akuntabel ) dan pasti.
c.       Mewujudkan sistem perimbangan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara Pemerintah Pusat dan Daerah, mendukung pelaksanaan otonomi Daerah dengan penyelenggaraan pemerintah daerah yang transparan, memperhatikan partisipasi masyarakat dan pertanggung jawaban kepada masyarakat, mengurangi kesenjangan antar Daerah dalam kemampuannya untuk membiayai tanggung jawab otonominya dan memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan.
d.      Menjadi acuan dalam alokasi penerimaan Negara bagi daerah.
e.       Mempertegas sistem pertanggung jawaban keuangan oleh pemerintah Daerah.
f.       Menjadi pedoman pokok tentang keuangan Daerah.[5]
Penyelenggaraan tugas daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dibiayai atas beban APBD. Penyelenggaraan tugas pemerintah pusat yang dilaksanakan perangkat Daerah Propinsi dalam rangka pelaksanaan Dekosentrasi dibiayai atas beban APBN. Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan Pemerintah Pusat kepad Bupati/ Walikota diikuti dengan pembiayaannya.penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat Kepada Gubernur atau Bupati/ Walikota dapat dikukan dalam rangka Desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan. Setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat Kepada Daerah dalam rangka desentralisasi dan dekosentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya munusia dan sarana serta pengelokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut[6]
Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menetapkan bahwa pinjaman Daerah adalah sebagai salah satu sumber penerimaan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.dana pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah yang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana Daerah atau harga tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman serta memberikan mamfaat bagi pelayanan masyarakat. Selain itu daerah dimungkinkan pula melakukan pinjaman dengan tujuan lain, seperti mengatasi masalah jangka pendek yang berkaitan dengan arus kas daerah. Pinjaman daerah perlu disesuaikan dengan kemampuan daerah karena dapat menimbulkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun tahun berikutnya yang cukup berat sehingga perlu didukung dengan keterampilan perangkat Daerah dalam mengelola pinjaman Daerah.[7]
Dana perimbangan  terdirid dari :
a.       Dana Bagi Hasil
b.      Dana Alokasi Umum
c.       Dana Alokasi Khusus
Dana bagi hasil adalah bagian daerah dari penerimaan pajak Bumi dan Bagunan, bea perolehan Hak atas tanah dan bangunan dan penerimaan dari sumber daya alam. Dana bagi hasil merupakan alokasi pada dasarnya memperhatikan potensi daerah Pengahasil. Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana alokasi umum dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat daerah, sehingga perpedaan antara daerah yang maju dan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Dana alokasi khusus adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan tertentu. Dana alokasi khusus bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus Daerah. Dengan demikian sejalan dengan kebutuhan pokoknya dana perimbangan dapat lebih memperdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proposional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab serta memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan.[8]
Pokok pokok perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ( UU nomor 33 tahun 2004 hendak mengatur suatu perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berdasarkan atas hubungan fungsi, yaitu berupa sistem keuangan daerah yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab antartingkat pemerintahan sesuai dengan pengaturan pada UU tentang pemerintah daerah. UU perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah meliput ruang lingkup pengaturan dari : ( 1)prinsip-prinsip pembiayaan fungsi pemerintah di daerah.(2)sumber-sumber pembiayaan fungsi dan tugas tanggung jawab daerah yang meliputi : (a) pendapatn asli daerah, ( b)Dana Perimbangan (c)pinjaman, (d)pembiayaan pelaksanaan asas dekosentrasi bagi propinsi, ( 3)pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah, ( 4) sistem informasi keuangan daerah.[9]
UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Agar sesuai dengan laju perkembangan kehidupan masyarakat, kemudian diganti dengan UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah. Sesuai dengan UU No 22 tahun 1999 yang diganti dengan UU No 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali kewenangan mengenai pemerintahan dalam bidang pertahanan, keamanan, politik luar negeri, fiscal, moneter, peradilan, agama dan administrasi pemerintahan yang bersifat strategis.uraian singkat tersebut menunjukan bahwa telah terjadi berubahan-perubahan besar dalam desain kebijakan hubungan antara pemerintah pusat yang dratis dan radikal. Tentunya perubahan ini akan berdampak positif dan negative, bahkan rawan terhadap gejolak konflik, gonjangan krisis dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi konflik kalau tidak kita sikapi dengan bijaksana. Sebab boleh jadi otonomi justru akan melahirkan raja-raja kecil didaerah yang dapat membuka pintu keluasaan korupsi dtingkat local. Oleh karena itu, perubahan Undang-Undang pemerintah daerah akan berimplikasi pada hubungan keuangan pusat dan daerah, berkaitan dengan siklus pengelolaan dana yang berasal dari pusat kepada daerah.[10]
Implementasi kebijakan desentralisasi fiscal di Indonesia dapat dilihat dari isu poko tersebut : pertama, pengelolaan keuangan Negara, dari sisi keuangan Negara, kebijakan pelaksanaan desentralisasi fiscal telah membawa konsekwensi kepada perubahan yang cukup mendasar, mengenenai pengaturan hubungan pusat dan daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang dalam banyak literature disebutb intergoverment fiscal relation.kedua, menyangkut pendapatan asli daerah. Salah satu wujud dan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri dengan potensinya masing-masing. Kewenangan pemumutan pajak dan retribusi, berdasarkan paraturan perundang-undangan yang berlaku, daerah diberi kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan retribusi daerah sampai saat ini, distribusi kewengan perpajakan antara daerah dan pusat terjadi ketimpangan yang realtif besar. Ketiga, tentang bentuk-bentuk bagi hasil. Untuk menguragi ketimpangan vertical ( vertival imbalance ) antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Keempat, mengenai dana alokasi umum. Perimbangan keuangan antara pusat daen daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah ( dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal 25 % dari penerimaan dalam negeri jadi kepastian daerah akan sumber-sumber pendapatan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.kelima, Dana Alokasi Khusus ( DAK ). Pengertian DAK adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuahan khusus. Alokasi DAK ditentukan dengan memperhatikan tersediannya dana dalam APBN sesuai d engan UU Nomor 25 Tahun 1999 Jo UU Nomor 33 tahun 2004. Adapun yang dimakud dengan kebutuhan khusus diantaranya adalah : ( a) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum; (b)kebutuhan yang merupakan komitmen/prioritas nasional.[11]
Setelah UU No 32 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan Pusat dan Daerah disahkan dan diterapkan, segera muncul permasalahan baru, terutama menyangkut soal desentralisasi fiskla dan pengelolaan SDA. Tentu saja hal tersebut tidak memuaskan semua pihak. Bahkan banyak pihak yang justru gundah atas adanya implementasi tersebut. dalam hal ini desentralisasi fiscal maupun kewenangan pengelolaan SDA, eksploitasi pusat atas daerah menjadi wacana yang tampak pada implementasi otonomi daerah selama ini. Belum lagi soal good governance yang juga menjadi problem besar dalam pemerintahan daerah. Pada satu sisi, adanya problem berupa dana pemerintah pusat ke daerah yang belum sebanding dengan yang diserap pusat dan daerah. Sedang disisi lain, dana yang ditransfer pusat tidak dikelola maksimal oleh pemerintah daerah untuk kesejahteraan  rakyat (Antara News, 2 Januari 2008). Idealnya Otda menciptakan sistem pembiayaan yang adil dan seimbang. Serta memunculkan good governance dengan pembiayaan yang akuntabel, transparan, pasti serta partisipatif. Pemamfaatan dana perimbangan oleh Pemerintah Daerah memang belum dimaksimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, dana perimbangan pusat untuk daerah tetap harus sebanding dengan yang diserap pusat dan daerah tersebut. bila tidak, ancaman desintegrasi bangsa akan terus membayangi negeri ini.[12]
Semangat pemerintah Indonesia yang ingin segera  dapat mewujudkan good corporate perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak. UU no 32 tahun2004 dan UU No 33 tahun 2004 yang menitipberatkan pada pola transparansi serta akuntabilitas jelas terlihat bahwa pemerintah menginginkan adanya pola penyusunan, pelaksanaan dan perartanggung jawaban keuangan daerah; tidak hanya melibatkan semua komponen masyarakat, bahkan hasil akhir dan semua itu hendak ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Transparansi mulai dilakukan oleh pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah;iklan lelang proyek pemerintah juga sudah diatur dan mempunyai kekuatan hokum;laporan kerja maupun pertanggung jawaban keuangan daerah juga sudah dikemas sedemikian rupa, sehingga sangat normative, walaupun belum semua pemda melakukannya.[13]



Daftar Pustaka


Bratakusumah, Deddy Supriady dkk, 2002, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Gramedia. Jakarta
Halim, Abdul dan Ibnu Mujib,2009, Problem dan Perimbangan Keuangan pemerintahan Pusat daerah.peluang dan tantangan dalam pengelolaan sumber daya Daerah . Sekolah Paskasarjana UGM, Yogyakarta
Hamid, Edy Suandi, 2005, Formula Alternatif DAU, Upaya mengatasi ketimpangan Fiskal dalam era otonomi daerah, UII press, Yogyakarta


[1] Dikutip dari Deddy Supriady Bratakusumah, Ph.D dkk,2002, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Gramedia : Jakarta. Hlm  168-169
[2] Ibid  Hlm  170
[3]  Dikutip dari  Edy Suandi hamid, 2005, Formula Alternatif DAU, Upaya mengatasi ketimpangan Fiskal dalam era otonomi daerah, UII press, Yogyakarta Hlm 12-13
[4] 0p.cip. Deddy Supriady Bratakusumah Hlm  171
[5] Ibid hlm  173
[6] ibid. Hlm  172
[7] Ibid Hlm  191.
[8] ibid Hlm  173
[9]Prof dr Abdul Halim dan Ibnu Mujib,2009,Problem dan Perimbangan Keuangan pemerintahan Pusat daerah.peluang dan tantangan dalam pengelolaan sumber daya Daerah . Sekolah Paskasarjana UGM, Yogyakarta hlm 13
[10] Ibid hlm  23
[11] Ibid hlm 30
[12] Ibid  Hlm 35
[13] Ibid hlm 51

Tidak ada komentar:

Posting Komentar