Mengenai Saya

Foto saya
Berani, Disiplin,Profesional dan Suka Tantangan

Kamis, 27 Oktober 2011

Reformasi Birokrasi Di Indonesia ( Study Kasus Reformasi Birokrasi Di Kejaksaan Agung


A. Pendahuluan
     Reformasi adalah sebuah perubahan yang mendasar untuk membagun sebuah tatanan baru yang lebih baik dari pada sebelumnya. Reformasi ini dinilai mencakup empat hal pokok. Pertama, visi organisasi, yaitu arah yang dituju oleh organisasi di masa depan.Kedua,misi organisasi, atau raison d’etre alias keberadaan, dari organisasi.ketiga, yang menyangkut ancaman pilihan untuk melakukan reformasi dirung-ruang lingkup yang lain. Disini reformasi mencakup pembenahan ulang manajemen organisasi. Keempat, menyangkut budaya organisasi an sich. Misalnya mengubah budaya organisasi yang KKN menjadi budaya organisasi yang professional. Dsini sudah masuk perihal etika organisasi.[1]
         Gerakan reformasi birokrasi itu belum menghinggapi atmofir pemerintahan zaman reformasi sekarang. Gegap gempitanya gerakan reformasi birokrasi tidak sedasyat gerakan anti korupsi. Padahal korupsi itu terjadi karena lembaga birokrasinya yang kuat dan kebesarannya ini. Reformasi birokrasi pemerintah tidak mungkin bisa dilakukan tampa didahului oleh upaya pemerintah melakukan evaluasi atau penelitian melalui lembaga pemerintahannya. Dari hasil evaluasi ini akan dihasilkan rekomendasi lembaga organisasi mana yang masih efektif dan yang mana pula yang harus dihemat, atau dilakukan penyusunan lembaga yang efektif.[2]
            Birokrasi diawaki birokrat professional karier (PNS), yang harus netral, kompeten, sejahtera, penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Negara, pemerintah dan masyarakat, serta bersatu padu (solidarity and solidity), bermental baik, berwibawa kuat,berdaya guna, berhasil guna, bersih, berkualitas tinggi, sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsure aparatur Negara, abdi Negara dan abdi masyarakat yang selalu memperbaiki dirinya dalam dalam memberikan pelayanan kepada Negara dan masyarakat..[3]
            Ada sejumlah alasan mengapa birokrasi tidak dapat tidak dapat berfungsi secara maksimal dan lancar sebagaimana yang diharapkan, yaitu : ketakutan yang berlebihan “ terlalu banyaknya personal yang khawatir akan kehilangan posisi mereka; kekhawatiran akan hambatan karier dimasa depan; ketakutan terjebat dalam lingkaran setan yang tidak berunjung pangkal, sekandal atau berbagai jenis tindakan yang menyimpang lainnya. Oleh karena itu para anggota birokrasi seringkali menerapkan strategi pertahanan yang sangat merugikan konsumen dan klien mereka. Dengan sendirinya, keluhan dan tuntutan para konsumen dan klien ini secara timbale balik akan memperbesar rasa takut yang sudah kian berakar.kalau kita ingin meningkatkan efektivitas birokrasi, kita harus mampu kesan wajah angker birokrasi tersebut. Kita harus menciptakan lembaga baru yang dapat melindungi klien, organisasi dan orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut.[4]
            Untuk itu Reformasi birokrasi yang dimaksudkan ialah adanya pembaharuan dan penyesuaian untuk membentuk kembali pada maksud semula diadakannya birokrasi pemerintah, didefenisikan berbagai kalangan melalui bermacam-macam angle, berkonotasi mencapai kebaikan birokrasi pemerintah dinegara demokratis yang betul-betul bekerja sesempurna-sempurnanya, berorentasi kepada kepentingan public dengan menerapkan manajemen yang semakin modern.
Dilaksanakannya reformasi birokrasi mengandung maksud agar birokrasi pemerintah selalu berlangsung baik, sesuai dengan kebaikan prinsip-prinsip manajemen modern yang semakin baik dalam melayani masyarakat yang memang merupakan subyek utama untuk dilayani oleh birokrat professional karier ( PNS ) yang merupakan subyek kegiatan umum pemerintahan dan pembangunan ( outword looking ). Untuk itu pada saat bersamaan, public bureaucracy / public governance yang terus menerus mengadakan berbaikan dalam proses reorentasi internal ( Bintoro Tjokroamidjojo, 2000, h 26), sebagai inward looking-nya. Hal inilah termaksud yang disebut lompatan peningkatan kualitas dan kekenyalan aparatur Negara.[5]
             Program Reformasi Birokrasi Kejaksaan RI diluncurkan pada 18 September 2008. Program Reformasi Birokrasi Kejaksaan ini berpedoman pada pada ketentuan/ peraturan/ juklak yang dikeluarkan oleh MENPAN. Sebagai persiapan pelaksanaan RB, pada bulan Juni 2008 Jaksa Agung  telah melaporkan  kepada Presiden RI tentang rencana launching Reformasi Birokrasi Kejaksaan RI. Kemudian pada bulan Agustus 2009 Jaksa Agung membentuk Tim Pengarah  Reformasi Birokrasi Kejaksaan RI dimana Wakil Jaksa Agung sebagai Ketua Tim Pengarah. Reformasi Birokrasi Kejaksaan pada hakekatnya bukanlah hal yang baru sama sekali. Jauh sebelum Panduan Reformasi Birokrasi dirampungkan, Kejaksaan telah mencanangkan program Pembaruan, tepatnya pada hari Bhakti Adhyaksa 22 Juli 2005. Sebagai hasil dari Program Pembaruan pada tanggal 12 Juli 2007, telah ditandatangani 6 (enam) Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia yang mencakup pembaruan di bidang Rekrutment, Pendidikan dan Pelatihan, Standard Minimum Profesi Jaksa, Pembinaan Karir, Kode Perilaku Jaksa serta pembaruan di bidang Pengawasan. Maka bila dilihat dari panduan Reformasi Birokrasi yang dikeluarkan MENPAN, keenam program pembaruan ini merupakan modal yang sangat besar bagi Kejaksaan untuk melaksanakan Reformasi Birokrasi yang pada hakekatnya merupakan reformasi yang sifatnya lebih menyeluruh dan menyentuh seluruh aspek organisasi. [6]
     Tetapi sampai dengan sekarang reformasi birokrasi di kejaksaan Agung Cuma hanya sebatas teoritis tidak ada implementasi sama sekali. Karena kita tahu bahwa dalam lingkungan kejaksaan birokrasinya terlalu besar ( Gemuk ) sehingga sangat susah sekali di pangkas.. Untuk itu melalui reformasi birokrasi diharapkan kejaksanan lebih profesionalitas, akuntabilitas dan lebih berwibawa. untuk itu bagaimana upaya yang harus dilakukan agar Kejaksaan Agung mampu melakukan reformasi Birokrasi?
B.  Reformasi Birokrasi Kejaksaan Agung.
             Untuk melakukan reformasi birokrasi, maka langkah yang awal yang perlu dilakukan adalah mengenali masalahnya ( diagnosa ). Masalah yang dihadapi birokasi Di Indonesia misalnya di kejaksaan Agung adalah : 1. Birokrasi Indonesia terlalu besar ( gemuk ), 2. Rekruitmen tidak didasarkan pada system Merid tetapi didasarkan pada system politik, 3. Sistem pengawasan terlalu buruk, 4. Kekuasaan terlalu besar atau Diskresi terlalu longgar.[7]
            Birokrasi dalam kejaksaan Agung Indonsia itu sangat besar sekali,dimana dalam satu bagian organisasi itu terdiri dari beberapa jaksa muda dan beberapa esilon 2 dan lain lain sebaginya,dan struktur birokrasi tersebut terlalu gemuk yang seharusnya itu bisa dirampingkan atau dipangkas, yang tentunya membebani anggaran Negara.
            Meritrokrasi dapat dengan ketat menerapkan tolak ukur kualitas kualitas profesionalisme sejak staffing SDM aparatur terutama pada segi rekrutmen dan penentuan persyaratan tugas personil, organizing terutama dalam penugasan dan pemberian wewenang, sampai segala cara apresiasi mendukung take home pay yang berdasarkan performance yang semakin meningkat. Semua itu tampa mengabaikan segi masa kerja dan latar belakang pendidikan serta visi dan misi bersama.dengan kesadaran tinggi secara bertanggung jawab demi masa depan bangsa dan keberhasilan reformasi birokrasi, maka secara umum melalui penerapan prinsip meritrokrasi akan membuka kesempatan luas untuk maju bagi SDM aparatur yang visioner, unggul dan cakap serta menjadi arena pendorong kompetisi sehat untuk maju. Yang pada intinya penerapan prinsip meritokrasi sangat menentukan keberhasilan birokrasi pemerintah.[8]
Rekrutmen pegawai negeri atau aparatur birokrasi merupakan dasar awal yang sangat menentukan apakah sebuah organisasi birokrasi akan berisikan orang-orang yang kompeten dan terbaik dibidangnya atau tidak. Agar tidak salah pilih, maka saja setiap institusi birokrasi  harus punya perumusan yang jelas mengenai klasifikasi serta jabatan kepegawaian apa yang harus ada dalam organisasinya dan kualifikasi macam apa yang harus dimiliki oleh jabatan tersebut. Standar kualifikasi ini haruslah beutl-betul menjadi patokan dalam penilaian kelulusan para calon aparatur birokrasi karena jika tidak, maka buruknya kualifikasi dari satu komponen atau fungsi organisasi birokrasi selalu akan berpengaruh terhadap kinerja dari komponen-komponen atau fungsi-gungsi yang lain dan secara keseluruhan akan berpengaruh terhadap kinerja organisasi birokrasi.[9]
     Kekuasaan dan Diskresi yan luas memang oleh Robert Kltigaard dituduh sebagai penyebab terjadinya korupsi jika tidak diimbangi dengan adaya akuntabilitas Publik. Bagimana kita bisa melihat ketika administrasi pemerintahan selama pemerintahan orde baru, kuasaan dan diskresi pejabat birokrasi menjadi tidak taktertandingi. Sehingga korupsi merupakan hal yang tidak bisa terelakan. Makan solusi pemberantasan korupsi dikalangan berokrasi pemerintah disarankan, agar kekuasaan dan diskresi itu dkurangi sementara akuntabilitas public itu di giatkan. Diskresi dan kekuasaan yang ditenggarai sebagai biang terjadinya korupsi itu jika kekuasaan dan diskresi itu menyalahi atau melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. [10]
Korupsi dikalangan kejaksaan sering saja terjadi bagaimana kita menyaksikan bahwa kosus korupsi yang dilakukan oleh urip, yang merupakan salah satu dari kejaksaan Agung. Begitu juga halnnya dengan system pengawan yang dilakukan dikejaksaan agung itu tidak ketat, sehingga orang dengan mudah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
     Paling sedikit ada 11 kelemahan manajemen kepegawaian dewasa ini, sehingga tidak benar dalam pelaksanaannya yaitu :`
  1.  Pengadaan yang tidak sesuai kebutuhan untuk mewujudkan visi dan misi organisasi.
  2. 2Struktur organisasi gemuk, sehingga identifikasi kebutuhan pegawai berdasarkan jenis keahlian dan keterampilan menjadi sulit.
  3. 3Kualifikasi perekrutan belum sesuai dengan formasi serta kualitasnya dibawah standar yang disebabkan karena rekrutmen model KKN.
  4. 4Ketidaktepatan penempatan pegawai dalam jabatan karena mengutamakan (orentasi ) persyaratan administrasi pada pangkat dan KUD, padahal pangkat tidak selalu sejalan dengan kompetensi.
  5. 5 Lemahnya penyusanan pola karier yang berakibat sangat menyulitkan identifikasi kebutuhan diklat.
  6. 6Obyektifitas system penilaian kerja dipertanyakan, termaksud belum diterapkannya job description secara rinci, padahal job description merupakan sumber informasi untuk pengecekan. Supervisors can use as basic for performance expectation and for guiding and monitoring individual performance ( Jai V. Chorpade, 1988,h 6 )
  7. 7Kenaikan pangkat belum didasarkan prestasi kerja, namun secara otomatis, sehingga bukan bagian dari “ reward system”.
  8. Program diklat masih berorentasi pada peningkatan kompetensi yang bersifat umum
  9. 9System imbalan bukan berfungsi sebagai bagian “ reward system”, karena besaran gaji ditetapkan berdasarkan tinggi rendahnya pangkat secara merata. Padahal pangkat tidak selalu terkait dengan kompetensi, beban tugas, tanggung jawab, budaya kerja dan sebagainya.
  10. 1Peraturan disiplin belum dilaksakan secara konsekuen
  11. 1Data base pegawai belum sesuai harapan untuk manajemen, terutama pembuatan perencanaan pegawai.[11]
Dari sebelas kelemahan tersebut, tentunya itu semua dialami oleh birokrasi dindonesia termaksud halnya birokrasi kejaksaan. Agung. Itu semua menjadi permasalahan birokrasi Indonesia, dimana hal menjebabkan penyakit birokrasi, sehingga birokrasi tidak efektif dan efisien dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Dan tidak heran kalau dalam lembaga birokrasi kejaksaan sering terjadi, penyalahgunnaan wewenang, penyuapan, sampai dengan Korupsi, kolusi dan nepotisme ( KKN ).
            Kemudaian dalam birokrasi kita mengenal Patologi birokrasi dimana merupakan penyakit dalam birokasi. Patologi itu  yang dapat dikategorikan pada lima kelompok, yaitu sebagai berikut :
  1.  Patologi yang timbul karana persepsi dan gaya manajerial para pejabat dilingkungan birokrasi
  2.   Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional,
  3. Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melangggar norma-norma hokum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional atau negative.
  5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan[12]
     Selain itu masalah strategis yang berasal dari lingkungan internal bisa berupa struktur kelembagaan, penataan, dan kompetensi aparatnya, ketatalaksanaan, teknologi administrasi ( sarana dan prasarana ), dan manajemen birokrasi itu sendiri. Masalah yang berasal dari lingkungan eskternal bisa berupa dinamika masyarakat dan tumbuh kembannya masalah yang dihadapi masyarakat begitu cepat, perubahan kondisi masyarakat yang kurang berdaya menjadi berdaya bahkan sangat berdaya, terjadi pergesaran paradigma berpikir , pergesaran paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan layanan masyarakat, dari sentralisasi kedesentralisasi dan lain sebagainya.[13]
     Dari itu melalui kebijakan reformasi dalam penataan organisasi ini, diharapkan dapat mewujudkan organisasi yang memenuhi cirri-ciri sebagai berikut :
  1.   Mempunyai strategi yang jelas
  2.   Mempunyai flat atau toleransikan bersifat latar
  3. Organisasi ramping atau tidak terlalu banyak pembidanan secara horizontal.
  4. Organisasi bersifat jejaring ( networking )
  5.  Organisasi bersifat fleksibel dan adaktif
  6. Organisasi banyak diisi jabatan-jabatan fungsional
  7. Organisasi menerapkan stategi “ Learning Organization”.[14]
Kemudian untuk mengatasi masalah tersebut, birokrasi public terutama birokrasi Kejaksaan Agung  setidaknya harus seperti berikut
  1. Memiliki kompetensi dan profesionalisme dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi, kewenangan dan tanggung jawab
  2. Memiliki visi kedepan yang jelas, terutama mereka yang menduduki jabatan pimpinan
  3.  Memiliki sikap dan perilaku yang baik, yang layak menjadi panutan masyarakat yang dilayaninya
  4. Memiliki manajemen yang andal berupa manajemen yang kondusif, kompetitif, responsive dan adaptif dalam menyelenggarakan pemerintahan., pembangunan dan layanan masyarakat.[15]
     Salah satu penyebab mengapa birokrasi seringkali dituduh tidak mampu menyesuaikan dengan perkembangan atau pembangunan, ialah karena birokrasi masih kental dengan kebiasaan-kebiasaan yang tidak produktif. Sementara itu ada yang menuduh erat kaitannya dengan sebab pertama ialah mentalitas pelaku birokrasi kita yang memang sulit dikendalikan.[16]
     Kemudian masalah lain adalah keberpihakan pegawai khususnya kejaksaan Agung, kepada salah satu partai politik, dimana ini memperlemah birokrasi pemerintahan.birokrasi kejaksaan dalam hal ini seharusnya lebih professional, berwibawa dan lain sebagainya
Adapun upaya yang dilakukan oleh oleh kejaksaan agung dalam melakukan reformasi birokrasi , yang merupakan suatu proses mendasar, antara lain mencakup:
1. Aspek kelembagaan (organisasi),
2. Ketatalaksanaan (administration process) dan
3. Sumber daya manusia (personil).
Masalah yang terkait aspek kelembagaan, meliputi restrukturisasi organisasi dan tata laksana organisasi, serta aktualisasi serta aturan-aturan internal kejaksaan ri, diharapkan pada tahun 2025 telah tuntas, sehingga pada tahun 2025 tersebut reformasi birokrasi sudah dapat berjalan secara efektif. Perbaikan dan pembenahan yang menyangkut aspek kelembagaan (organisasi) dan perangkat peraturan pelaksananya, diarahkan pada penerapan sistem “miskin struktur namun kaya akan fungsi”, yang tentunya memerlukan upaya merubah pola pikir (mind set), budaya kerja (culture set) dan perilaku (behavior) dari seluruh aparatur kejaksaan republik indonesia serta perlunya aktualisasi peraturan-peraturan internal kejaksaan.
Masalah yang berkaitan dengan ketatalaksanaan (administration process). Perlu segera dilakukan evaluasi dan perbaikan perja-perja yang telah ada, sehingga dapat ditemukan permasalahan atau hambatan yang terjadi, untuk segera dilakukan upaya-upaya perbaikannya. Selanjutnya menerbitkan aturan pelaksana atau petunjuk teknis dari perja-perja yang ada, sehingga peraturan yang telah dibuat dapat diaplikasikan sesuai dengan maksud dan tujuannya serta manfaatnya dapat dirasakan bersama.
Masalah yang berkaitan dengan sumber daya manusia (personil). Peningkatan mutuatau kualitas sumber daya manusia (sdm) adalah kebutuhan mendasar dan merupakan salah satu aspek penting yang diperlukan oleh institusi kejaksaan dalam upaya mewujudkan birokrasi yang kuat dan handal, terutama dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai institusi publik yang dituntut mampu memberikan pelayanan hukum yang prima kepada masyarakat. Sdm yang hendak dihasilkan atau dicetak melalui pelaksanaan reformasi birokrasi kejaksaan ini adalah sdm yang berintegritas, kompeten, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera. Namun, untuk mewujudkan sdm yang unggul dan berkualitas tersebut tentulah tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan, perlu dilakukan usaha yang kuat dan sungguh-sungguh, agar masalah pemenuhan sdm yang unggul ini tidak hanya sekedar menjadi jargon belaka, akan tetapi benar-benar merupakan sesuatu hal yang dapat kita wujudkan bersama.[17]
Faktor yang bisa mendorong timbulnya referomasi birokrasi pemerintah adalah sebagai berikut :
  1. Adanya kebutuhan melakukan perubahan dan pembaharuan;
  2. Memahami perubahan yang terjadi dilingkungan strategis nasional;
  3.  Memahami perubahan yang terjadi dilingkungan strategis global;
  4.  Memahami perubahan yang terjadi dalam paradigm manajemen pemerintahan.[18]
Saya kira dengan adanya faktor pendorong tersebut reformasi birokrasi di lingkungan kejagsaan agung bisa terwujud, tentunya dengan perubahan yang lebih strategis guna membuat birokrasi kejaksaan lebih efektif dan efesien dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab dan bebas dari KKN.
Secara garis besar, langkah-langkah untuk melakukan perubahan organisasi atau birokrasi adalah sebagai berikut :[19]
  1.   Diagnosa masalah atau penyakit birokrasi ( pengumpulan informasi, pengenalan kondisi birokrasi   dan identifikasi masalah )
  2.   Merumuskan alternaltif pemecahan sementara
  3.   Mengintervensikan atau mengujicobakan perubahan.
  4. Melembagakan perubahan tersebut.
Selain itu juga perlu ada stategi penguatan kapasitas kelembagaan, penguatan kapasitas kelembagaan ( Capacility Building ) secara konseptual dapat didekati dari sisi individu, system maupun kelembagaan. Dalam kerangka melaksanakan capacity building, dari sisi pemerintah sangat di tentukan oleh kemampuannya dalam merespon tuntutan dan kebutuhan masyarakatnya.[20]
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Kejaksaan pada dasarnya tidak berangkat dari titik nol, gagasan, kesadaran dan komitemen untuk melakukan reformasi telah tumbuh dan berkembang sejak lama dan kemudian memperoleh penguatan dengan dicanangkannya Agenda Pembaruan Kejaksaan pada tahun 2005. Fakta sejarah ini memberikan dasar dan fundamen untuk mendorong keberhasilan percepatan program reformasi birokrasi kejaksaan. Beberapa faktor penentu yang sangat mempengaruhi keberhasilan reformasi birokrasi kejaksaan, antara lain adalah :
1.Kemauan dan komitmen politik yang kuat mulai dari pimpinan tertinggi Kejaksaan Rl sampai dengan level pimpinan terendah dan diikuti oleh seluruh pegawai Kejaksaan;
2.Rasa kepemilikan terhadap program Pembaruan Kejaksaan semakin kuat;
3.Adanya persamaan persepsi, kepahaman, pandangan, dan cara berpikir setiap insan Kejaksaan bahwa Reformasi Birokrasi harus dijalankan demi peningkatan kualitas hidup seluruh pegawai Kejaksaan;
4.Konsistensi dan keberlanjutan pelaksanaan Reformasi Birokrasi harus dijalankan sesuai dengan rancangan induk Reformasi Birokrasi dan Peraturan Perundang-undangan yang ada;
5.Tersedianya dukungan dana untuk pelaksanaan seluruh program Reformasi birokrasi dan peningkatan kesejahteraan pegawai;
6.Dukungan dan partisipasi masyarakat.
7.Program Percepatan (Quick Wins) yang jelas dan terarah yang terdiri dari :
1.Percepatan penanganan perkara dalam rangka memberikan pelayanan prima kepada masyarakat dalam penegakan hukum
2.Ketersediaan akses informasi perkara kepada publik
3.Transparansi penanganan pengaduan masyarakat
8.Program Komunikasi Terpadu
1.Program Komunikasi Internal (Pembenahan komunikasi internal antar unit)
2.Program Komunikasi Eksternal (Pembenahan komunikasi dengan stakeholders Kejaksaan)
3.Pembenahan sistem informasi public.[21]
Dari sebelas faktor tersebut  yang lebih menentukan dalam reformasi birokrasi adalah kemauan pemimpin kejaksaan Agung dan dukungan dari masyarakat. Kemauan Pemimpin sangat menentukan perubahan dalam organisai kejaksaan agung, karena kita tahu bahwa pemimpin memiliki  fungsi sebagai penentu kebijakan dan dukungan/ tekanan  maupun control dari masyarakat mampu untuk mempengaruhi sebuah kebijakan, dalam hal ini kebijakan untuk melakukan reformasi birokrasi.
Akan tetapi Adanya kebutuhan melakukan perubahan dan pembaharuan aparatur dan pemerintah sangat tergantung dari kebutuhan dari pemimpin nasional kita. Jika pemimpin politik nasional kita merasa butuh melakukan perubahan, pasti perubahan itu dan pembaharuan aparatur itu akan terwujud. Kebutuhan itu di dukung oleh kebijakan politik yang trategis dan dijadikan suatu program nasional dengan dukungan seluruh komponen rakyat, maka perubahan dan pembaharuan aparatur Negara / pemerintah bisa dilakukan.[22]
Reformasi birokrasi mempunyai sejumlah isu strategis, pertama, reformasi memerlukan kepemimpinan yang dapat memberikan inspirasi dan teladan bagi yang lain, membangun system dan mengarahkan segenap langkah bersama menuju perubahan yang diinginkan.Kedua reformasi memerlukan kesabaran, karena perubahan memerlukan waktu dan membawa konsekwensi merubah diri. Reformasi memerlukan perubahan paradigma semua pihak yang berada dalam keseluruhan program untuk menjadi spirit perubahan menuju kondisi yang lebih baik dan dinamika yang lebih kondusif dalam menjawab berbagai tantangan. Ketiga, reformasi birokrasi memerlukan bukti berupa pelayanan public yang lebih baik guna memenuhi hak-hak masyarakat sebagai warga Negara. Oleh karena itu perubahan system merupakan prasyarat keberhasilan reformasi birokrasi. Mengingat dinamika tatanan masyarakat yang begitu cepat.[23]
Kemudian dalam melakukan reformasi birokrasi dikejaksaan agung tidak terlepas dari peran masyarakat sipil karena control dan tekanan  dari masyarakat yang bisa memberikan dampak yang positif untuk mewujudkan reformasi birokrasi kejaksaan agung.reformasi birokrasi kejaksaan agung di arahak untuk mewujudkan birokrasi yang profesionalisme, berwibawa dan melaksanakan tugas dan wewenang dengan baik.
 C. Kesimpulan
     Dari beberapa hasil pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan adalah sebagai berikut :
  1. Reformasi birokrasi yang harus dilakukan oleh kejaksaan Agung adalah mengenai aspek kelembagaannya, ketatalaksanaannya dan Sumber Daya Manusia misalnya system rekrutmen, penilaian kerja, peningkatan kapasitas. Jangjang karier, pengawasan dan remunerasi.kelembagaan disini berkaitan dengan kultur dan struktur dalam birokrasi kejaksaan Agung.
  2.  Dengan Reformasi Birokrasi dikejaksaan Agung maka akan lebih tercipta komptensi dan profesionalisme dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi, kewenangan dan tanggung jawab.
  3. Melalui Reformasi Birokrasi inilah sistem reward dan kesejahteraan aparat Kejaksaan akan ditingkatkan sehingga sesuai dengan tuntutan kebutuhan hidup yang layak dan tuntutan lain dalam menjalankan profesi dengan, integritas tinggi akuntabel dan terhormat.
  4. Ø Reformasi Birokrasi Kejaksaan akan tercipta lingkungan organisasi  modern yang mengutamakan pelayanan publik dalam penegakan hukum, melalui perubahan sistem yang mencakup pembenahan kelembagaan, bisnis proses dan sumber daya manusi
  5.  Perampingan birokrasi dalam lingkungan kejaksaan Agung sangat memungkinkan sekali, dengan melihat kemauan pemimpin kejaksaan Agung untuk melakukan reformasi birokrasi. Dengan perampingan birokrasi di kejaksaan Agung dapat mencegah terjadinya pungutan liar atau Korupsi-kolusi dan Nepotisme.



Daftar Pustaka

Temin,Tamin “Reformasi birokrasi  Analisis pendayagunaan Aparatur Negara” Bandung : Belantika.2004.
Thoha, Miftah “Birokrasi pemerintahan Indonesia di Era Reformasi “Jakarta : kencana,2009.
Siagian, Sondang.  Patologi Birokrasi Analisis, Identifikasi dan Terapinya. Jakarta : Ghalia 1994.
Joko Widodo. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Jawa Timur: Bayumedia 2005
Miftah Toha. Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi. Yogyakarta : media Widya Mandala. 1991
Purbokusumo,Yuyun dkk. Reformasi terpadu Pelayanan Publik Pemerintah Profinsi DIY.Yogyakarta : kemitraan. 2006
Benveniste, Gue, 1994. Birokrasi.Jakarata : Raja Grafindo Persada
D, Riant Rugroho . 2001, Reinventing Indonesia Menata Ulang Manajemen Pemerintahan untuk pembangunan Indonesia baru dengan keunggulan Klobal. Jakarta: Gramedia.
Agus Pramusinto,Dr, Dr Erwan Agus Purwanto dkk,2009, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan pelayanan Publik. Yogyakarta : Gava Media.
Dr Samodra Wibawa, 2005. Reformarmasi administrasi bunga rampai pemikiran admnistrasi Negara / public . Yogyakarta : Gaya Media

Mas’ud Said, M. 2007. “Birokrasi dinegara Birokratis, Masalah, Makna dan Dekontruksi Birokrasi Indonesia

Webside Kejaksaan Agung..http://www.kejaksaan.go.id/reformasi_birokrasi

 


[1] Riant Rugroho D. 2001, Reinventing Indonesia Menata Ulang Manajemen Pemerintahan untuk pembangunan Indonesia baru dengan keunggulan Klobal. Jakarta: Gramedia hlm 403-405
[2] Miftah, Toha,2009 Birokrasi Pemerintah Indonesia di era Reformasi. Jakarta: kencana hlm 11
[3] Feisal  Tamin.2004 Reformasi birokrasi  Analisis pendayagunaan Aparatur Negara. Bandung : Belantika. hlm 73
[4] Benveniste, Gue, 1994. Birokrasi.Jakarata : Raja Grafindo Persada hlm X
[5] Ibid hlm 75
[6]  http://www.kejaksaan.go.id/reformasi_birokrasi.
[7] Perkuliahan Teori Organisasi Dan Manajemen Publik oleh Bapak Prof. Miftah Toha, pada tanggal 14 April 2010
[8] Miftah Toha Op.cip hlm 130
[9] M. Mas’ud Said “2007. Birokrasi dinegara Birokratis, Masalah, Makna dan Dekontruksi Birokrasi Indonesia “hlm 106
[10] Miftah Toha, op,cip hlm 79.
[11] Feisal  Tamin. Op.cip  hlm 89-90
[12] Sondang P.Siagian.1994. Patologi Birokrasi Analisis, Identifikasi dan Terapinya. Jakarta : Ghalia Hlm 36
[13] Joko Widodo.2005. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Jawa Timur: Bayumedia 2005 Hlm 121-122
[14] Ibid hlm 106-109
[15] Joko Widodo op,cip. Hlm 126-127
[16] Miftah Toha.1991 “Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi”. Yogyakart :media Widya Mandala. Hlm 8
[18] Miftah Thoha, Op.cip .hlm 106-107
[19] Dr Samodra Wibawa, 2005. Reformarmasi administrasi bunga rampai pemikiran admnistrasi Negara / public . Yogyakarta : Gaya Media hlm 108
[20] Dr. Agus Pramusinto, Dr Erwan Agus Purwanto dkk,2009, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan pelayanan Publik. Yogyakarta : Gava Media, hlm 85
[21] http://www.kejaksaan.go.id/reformasi_birokrasi.
[22] Miftah Toha.op.cip hlm 197
[23] Yuyun Purbokusumo,dkk. 2006. Reformasi terpadu Pelayanan Publik Pemerintah Profinsi DIY.Yogyakarta:kemitraan.2006 Hlm 55-56

1 komentar: