Kemunculan UU nomor 32
tahun 2004 sebagai pengganti UU nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah
yang sekaligus menandakan lahirnya pilkada langsung diberbagai daerah
diIndonesia diharapkan mampu membawa perubahan bagi bangsa ini didalam merajut
agenda reformasi yang lebih demokratis. Pilkada langsung yang kemudian
dilaksanakan pada 1 juni 2005 ( amirudin dan bisri, 2006 : 6 ) merupakan sebuah
implementasi kebijakan pemerintah pusat serta merupakan proses demokrasi
masyarakat di tingkat local. Hal baru ini tentunya tidak ditemukan oleh
masyarakat pada masa orde baru sebelumnya. Jadi sekarang ini, Kepala Daerah
tidak lagi ditentukan dan diangkat oleh pemerintah pusat bahkan dipilih oleh
anggota DPRD disetiap daerah, mainkan dipilih langsung oleh masyarakat
setempat, sehingga proses demokrasi yang berjalan dinegara ini dapat dilakukan
secara menyeluruh.[1]
Kendati demikian,
perubahan sistem politik dengan diberlakukannya sistem pemilihan langsung di
daerah tidak sepenuhnya memberikan arti perubahan yang positif. Pilkada
langsung pada prakteknya ternyata memunculkan serangkaian konflik dalam
pelaksanaannya, dimana hal tersebut berbanding terbalik dengan tujuan awal
diterapkannya sistem pemilihan langsung untuk menciptakan pemimpin daerah yang
lebih berkualitas ( Amirudin dan Basri 2006 : 12 ). Konflik-konflik yang
muncul bahkan tak jarang berujung pada
serangkaian tindakan anarkis yang jika tidak ditangani secara serius, justru
akan mengarah pada persoalan disintegrasi bangsa dan menjadi sebuah paradox
baru bagi Negara ini dalam melaksanakan agenda politik local dibalik eforia
demokrasi. Apalagi pilkada langsung yang menempatkan ruang lingkup yang lebih
luas dalam konteks pemilihannya. Permasalahan ini menjadi suatu yang menarik,
ketika konflik tersebut cenderung mengarah kepada konflik kepentingan yang
berujung kepada tindakan yang anarkis. Selama 2005 samapi awal 2009, sudah
banyak sekali konflik yang terjadi disetiap pelaksanaan pilkada langsung di
seluruh wilayah Indonesia. Misalnya konflik pilkada yang terjadi di Padang
Pariaman ( Sumatra Barat ), Semarang dan Sukoharjo ( Jawa tengah ), Mataram (
NTB ), Toli-Toli ( Sulawesi Tengah ) dll yang berbuntut pada aksi pendudukan,
penepungan, serta pengrusakan kantor KPUD dan bentrokan dengan petugas keamanan
dan sejenisnya.[2]
Jelas dan sistematisnya
pentahapan proses pemilihan Kepala Daerah seperti diuraikan diatas, maka pada
kenyataannya belum menjadi jaminan
lahirnya proses demokratis dalam pilkada. Terlebih sebagai instrument untuk
melahirkan pemimpin daerah yang kapabel, berkepribadian baik, bersih secara
moral, memiliki kemampuan memimpin daerah, dan bisa diterima oleh masyarakat
setempat; aturan formal normative tersebut semakin tidak bisa dijadikan
garansi. Proses pemilihan kepala daerah yang selama ini berlangsung memberikan
kesan kuat bahwa UU, PP maupun tata tertib pemilihan yang menjadi landasan
pelaksanaan hanyalah sebatas aaturan formal yang penuh kelemahan dan secara
subtantif tidak menjamin berlangsungnya rekrutmen politik yang demokratis,
obyektif dan rasional. Upaya untuk mewujudkan demokratisasi didaerah melalui
mekanisme pilkada oleh DPRD, dalam prakteknya sering menghadirkan berbagai
indikasi kecurangan, seperti prakte jual beli suara dan pemalsuan dokumen.
Munculnya berbagai kasus tersebut sangat mungkin disebabkan oleh kelemahan yang
ada pada dalam PP Nomor 151 tahun 2000, yang oleh para politisi local sering
dimamfaatkan sebagai peluang untuk melakukan praktek-praktek manipulative dalam
pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah. Dijawa tengah misalnya proses pilkada di
tingkat kabupaten sering bermuara pada persoalan-persoalan membutuhkan energy
besar untuk menyelesaikannya. Pemilihan Bupati Karanganyar, sebagai salah satu
contoh ( Agustus 2003 ) masih belum bisa menyelesaikan sehingga Menteri Dalamm
Negeri akhirnya menetapkan Mardiyanto yang baru saja terpilih sebagai Gubernur
Jawa Tengah untuk menjalankan tugas sebagai pejabat Bupati Karanganyer.[3]
Kasus yang lain yang
menarik terjadi diKlaten, proses pemilihan bupati yang sudah berlangsung pada
tahun 2000 ternyata cacat secara hokum. Hal ini terjadi setelah keluar
keputusan judikal review dari Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa keputusan
DPRD Klaten Nomor 23 tahun 2000 tentang Tata tertib pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil kepala daerah melanggar UUD 1945 dan HAM. Dalam salah satu bagian tatib
pilkada tersebut
Ada beberapa hal yang menyebabkan
terjadinya konflik iantaranya :
1. Banyak kebolongan-kebolongan
aturan-aturan Pemilihan kepala daerah (PILKADA). Diatara kebolongannya itu
adalah terlalu besarnya hegemoni partai politik dalam Pilkada, hal ini di
tunjukan dengan tidak di akomodirnya calon independent dalam Pilkada,walaupun
secara tegas Mahkamah Konstitusi membolehkan calon Independen tetapi belum
lahir juga aturan yang jelas tentang mekanisme pencalonan secara
independent.sedangkan calon-calon yang di tawarkan oleh parpol kebanyakan tidak
di sukai oleh rakyat.dan masih banyaknya calon-calon dari luar parpol yang di
sukai dan di nilai kompeten untuk menjadi pemimpin di daerah. Hal ini di
tunjukan dengan masih tingginya suara golput dalam beberapa rangkai pilkada ke
belakang.
2. masih lemahnya pendidikan politik
untuk masyarakat.inilah tugas kita sebagai Civil society yang merupakan
pilar ke tiga dalam mewujudkan Good Governance.masyarakat sangat perlu untuk di
didik agar melek politik supaya masyarakat tidak terus di bohongi oleh
calon pemimpinnya di daerah.karena bentrokan yang terjadi adalah setingan para
elit politik.lemahnya pemahaman politik masyarakat ini di tunjukan dengan masih
banyaknya Incumbent yang terpilih kembali,yang padahal incumbent ini telah
gagal dalam mensejaherakan rakyatnya.oleh karena itu pendidikan politik untuk
masyarakat sangat penting di dilakukan agar masyarakat paham dan bisa menuai
hasil yang optimal dalam momentum pilkada ini untuk masa depan mereka.
3. potensi konflik pasca Pilkda juga
perlu di perhatikan dengan baik karena hal ini tidak kalah krusialnya menurut
saya. Jika tidak di menej dengan baik maka akan melahirkan konflik yang lebih
besar.. Konflik pasca Pilkada juga dimungkinkan, jika terjadi kecurangan dalam
proses pemilihan tanpa penyelesaian hukum yang adil, misalnya, menggunakan
politik uang. Aturan yang termaktub dalam UU Pilkadal seolah membuka peluang
terjadinya persaingan politik uang di antara para kontestan. Hal ini jelas
menimbulkan kecemburuan di kalangan kontestan yang “miskin”. Hal ini bisa kita
lihat beberapa pilakda kebanyakan berakhir di pengadilan,sebut saja
misalnya hasik Pilkada Depok,Pilkada Kab Bandung,atau kabar terbaru yang kita
saksikan bersama di media masa. Mahkamah agung memutuskan agar di lakukan
pilakda ulang di 4 kabupaten pad pilkada Sulawesi selatan.atau berakhirnya
pilkada maluk utara di tangan KPU pusat yang penuh dengan kontroversi.[4]
Sementara Andirias mengidentifikasi masalah disekitar
pilkada langsung yang bisa memicu konflik politik didaerah yaitu sebagai
berikut :
1.
terdapatnya peraturan Pilkada langsung
yang menutup munculnya calon
independen. Presedennya sudah dimunculkan pada Pilpres (Pemilu Presiden) lalu
yang tak memperkenankan calon independen maju sebagai capres (capres) atau
cawapres (calon wakil presiden). Salah satu kelemahan UU 32/2004 menyangkut
Pilkada adalah pemberian otoritas penuh kepada partai politik sebagai
satu-satunya penjual tiket calon kepala daerah. Hal ini tentu bisa memicu
ketidakpuasan, karena pada kenyataannya di banyak daerah terdapat tokoh-tokoh non partai yang disukai masyarakat.
independen. Presedennya sudah dimunculkan pada Pilpres (Pemilu Presiden) lalu
yang tak memperkenankan calon independen maju sebagai capres (capres) atau
cawapres (calon wakil presiden). Salah satu kelemahan UU 32/2004 menyangkut
Pilkada adalah pemberian otoritas penuh kepada partai politik sebagai
satu-satunya penjual tiket calon kepala daerah. Hal ini tentu bisa memicu
ketidakpuasan, karena pada kenyataannya di banyak daerah terdapat tokoh-tokoh non partai yang disukai masyarakat.
2.
Kuatnya hubungan emosional antara
kandidat dengan konstituen. Hubungan
emosional antara konstituen dengan kepala daerah jauh lebih dekat dibandingkan
dengan kepala negara atau pemimpin di level nasional. Hal itu bukan hanya
disebabkan kedekatan fisik, tetapi juga sosial, budaya, geografis dan
sebagainya. Jika tidak ada manajemen konflik yang baik, terutama terhadap
bolong-bolong yang terdapat pada aturan Pilkada, maka ketidakpuasan konstituen
terhadap konstituen dan kandidat lain atau proses pemilihan kepala daerah bisa
memicu lahirnya konflik di daerah. Dengan kata lain, sensitivitas konstituen dalam pilkada sangat tinggi.
emosional antara konstituen dengan kepala daerah jauh lebih dekat dibandingkan
dengan kepala negara atau pemimpin di level nasional. Hal itu bukan hanya
disebabkan kedekatan fisik, tetapi juga sosial, budaya, geografis dan
sebagainya. Jika tidak ada manajemen konflik yang baik, terutama terhadap
bolong-bolong yang terdapat pada aturan Pilkada, maka ketidakpuasan konstituen
terhadap konstituen dan kandidat lain atau proses pemilihan kepala daerah bisa
memicu lahirnya konflik di daerah. Dengan kata lain, sensitivitas konstituen dalam pilkada sangat tinggi.
3.
UU 32/2004, seperti disebutkan di muka,
memberi peluang dan dominasi
kepada partai dalam proses pencalonan. Ada kemungkinan partai-partai besar
terobsesi untuk hanya mencalonkan pasangan dari partai sendiri tanpa
memperhatikan polarisasi politik yang ada. Padahal seharusnya, proses
pencalonan kepala daerah harus mempertimbangkan kekuatan-kekuatan politik dan
sosial yang terdapat di daerah bersangkutan. Kita ambil contoh proses
pencalonan kepala daerah di Maluku, seharusnya tidak hanya mengakomodasi
kekuatan-kekuatan politik yang ada, tetapi juga dua komunitas agama yakni
Kristen dan Islam. Jika calon kepala daerahnya berasal dari komunitas Kristen,
maka wakil kepala daerah mestinya dari kalangan Islam. Begitu pula sebaliknya.
Akomodasi politik yang menjamin stabilitas pemerintahan lokal harus benar-benar tercermin dalam proses pencalonan kepala daerah.
kepada partai dalam proses pencalonan. Ada kemungkinan partai-partai besar
terobsesi untuk hanya mencalonkan pasangan dari partai sendiri tanpa
memperhatikan polarisasi politik yang ada. Padahal seharusnya, proses
pencalonan kepala daerah harus mempertimbangkan kekuatan-kekuatan politik dan
sosial yang terdapat di daerah bersangkutan. Kita ambil contoh proses
pencalonan kepala daerah di Maluku, seharusnya tidak hanya mengakomodasi
kekuatan-kekuatan politik yang ada, tetapi juga dua komunitas agama yakni
Kristen dan Islam. Jika calon kepala daerahnya berasal dari komunitas Kristen,
maka wakil kepala daerah mestinya dari kalangan Islam. Begitu pula sebaliknya.
Akomodasi politik yang menjamin stabilitas pemerintahan lokal harus benar-benar tercermin dalam proses pencalonan kepala daerah.
4.
Kerancuan peran DPRD dalam Pilkada juga
dapat memicu konflik. Pilkada
memang sepenuhnya dilaksanakan oleh KPU Daerah, tetapi pertanggungjawabannya
harus disampaikan kepada DPRD. Dalam hal ini, kerja KPUD (Komisi Pemilihan Umum
Daerah) berpotensi diintervensi oleh partai politik yang mempunyai kekuatan di
DPRD. Sebab, sejalan dengan kewenangan yang besar dalam proses-proses politik
lokal, partai berpotensi membajak fungsi KPUD, jika kerja KPUD dianggap tidak
menguntungkannya.(Supriyanto,2004).
memang sepenuhnya dilaksanakan oleh KPU Daerah, tetapi pertanggungjawabannya
harus disampaikan kepada DPRD. Dalam hal ini, kerja KPUD (Komisi Pemilihan Umum
Daerah) berpotensi diintervensi oleh partai politik yang mempunyai kekuatan di
DPRD. Sebab, sejalan dengan kewenangan yang besar dalam proses-proses politik
lokal, partai berpotensi membajak fungsi KPUD, jika kerja KPUD dianggap tidak
menguntungkannya.(Supriyanto,2004).
5.
Potensi konflik pasca Pilkada langsung
juga tak kalah krusialnya. Jika
potensi-potensi konflik di atas tak bisa diantisipasi dan dimenej dengan baik,
maka bakal memicu konflik pasca pelaksanaan Pilkada. Konflik pasca Pilkada juga
dimungkinkan, jika terjadi kecurangan dalam proses pemilihan tanpa penyelesaian
hukum yang adil, misalnya, menggunakan politik uang. Aturan yang termaktub
dalam UU Pilkada seolah membuka peluang terjadinya persaingan politik uang di
antara para kontestan. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan di kalangan
kontestan yang miskin.
potensi-potensi konflik di atas tak bisa diantisipasi dan dimenej dengan baik,
maka bakal memicu konflik pasca pelaksanaan Pilkada. Konflik pasca Pilkada juga
dimungkinkan, jika terjadi kecurangan dalam proses pemilihan tanpa penyelesaian
hukum yang adil, misalnya, menggunakan politik uang. Aturan yang termaktub
dalam UU Pilkada seolah membuka peluang terjadinya persaingan politik uang di
antara para kontestan. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan di kalangan
kontestan yang miskin.
Sejak Juni 2005 hingga Juni 2007, telah dilaksanakan pilkada
di 285 dari 440 kabupaten/kota dan di 15 dari 33 provinsi di Indonesia. Dari
identifikasi empiris penyelenggaraan pilkada, pemerintah menyimpulkan paling
tidak ada tujuh potensi penyebab konflik pilkada, yaitu: (1) tidak akuratnya
data pemilih, (2) persyaratan administratif pasangan calon yang tidak lengkap,
(3) permasalahan internal parpol terhadap penetapan pasangan calon, (4) adanya
kecenderungan KPU daerah tertentu tidak independen, tidak transparan dan
memberikan perlakuan berbeda terhadap pasangan calon, (5) adanya dugaan money
politic, (6) pelanggaran terhadap rambu- rampu penyelenggaraan Pilkada, dan (7)
penghitungan suara yang tidak akurat. Ketujuh hal ini perlu diantisipasi agar
pilkada mampu menghasilkan pemimpin yang dipilih secara demokratis. Salah satu penyebab konflik politik dapat
berkembang menjadi anarkis adalah jabatan kepala daerah sebagai pimpinan
birokrasi di daerah tersebut menjanjikan keuntungan ekonomi dan politik yang
besar bagi mereka yang memenangi kontes pilkada. Institusi birokrasi selama ini
dipandang sebagai tempat amat strategis bagi para kepala daerah untuk membangun
konsesi ekonomi-politik dan praktik-praktik KKN bernilaiuang cukup besar bagi
para aparatus daerah. Maka, tidak mengherankan apabila momentum pilkada
disambut antusias para politisi, dengan para donatur di belakangnya yang berani
mempertaruhkan jumlah uang cukup besar untuk memenangi ajang pilkada.Ketika
tidak terpilih, tidak mengherankan mereka akan mendorong massa pendukungnya
melakukan protes yang menyulut konflik.[5]
[1]
Dikutip dari Gede Febri Purnama Putra, 2009, Meretas Perdamaian Dalam Konflik Pilkada Langsung, gavamedia.
Yogyakarta Hlm 1-2
[2]
Ibid hlm 3
[3] Dikutip dari
Abdul Gaffar Karim, 2003, Komplesitas persoalan Otonomi Daerah Di
Indoensia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Hlm
197-198
[4] http://eljundi.wordpress.com/2007/12/21/potensi-konflik-pilkada/
[5]Di
kutip dari artikel Usman Yassin, konflik pilkada hlm 4 dalam http://www.scribd.com/doc/9770134/Konflik-Pilkada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar