Mengenai Saya

Foto saya
Berani, Disiplin,Profesional dan Suka Tantangan

Jumat, 28 Oktober 2011

Pelaksanaan Otonomi Di Tingkat Desa


A.  Pendahuluan        
          Dengan berlakunya UU 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, daerah  memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengelola daerahnya sendiri, tampa adanya campur tangan dari pemerintah pusat. Kewenangan yang dimiliki oleh daerah baik dalam penyelenggaraaan pemerintahan, pembangunan dan lain lain dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah termuat suatu kebijakan otonomi desa. Dengan begitu maka desa bukan lagi menjadi bawahan dari kecamatan maupun kelurahan. Dalam Undang-undang tersebut mengakui adanya otonomi  desa. Maka secara otomatis dengan dengan adanya otonomi tersebut desa juga memiliki kewenangan-kewenangan baik dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan maupun dalam pengelolaan keuangan desa.
          Akan tetapi Dalam Undang -Undang No 32 tahun 2004 merupakan format politik yang mengatur tentang eksistensi desa, dalam pasal 1 ayat 12 undang-undang tersebut menempatkan desa sebagai wilayah otonom sesuai dengan maknanya. Dari makna tersebut terkandung bahwa prinsip desentralisasi dalam menempatkan hubungan antara desa dengan supra desa. Prinsip desentralisasi memberikan ruang ekspresi politik bagi desa, sementara pada sisi lain terdapat struktur dan mekanisme pemerintahan dan politik yang lebih mengembangkan upaya eksploitasi energi desa agar selalu mengalir kepemerintah supra desa. Kondisi ini menghasilkan pengelolaan Negara yang menempatkan kesenjangan hubungan antara Negara dan rakyat, dan sebagai bentuk sikap anti demokrasi(Widodo Triputro dkk,2005 : 264).Dari hal tersebut Sehingga otonomi desa dimaknai sebagai sesuatu yang masih mememiliki ketergantungan dengan pemerintah supra desa, dan desa belum  berdiri sendiri.  Untuk itu otonomi desa dipandang hanya sekedar teoritis , hanya sekedar konsep belaka, desa tidak  bisa bersifat otonom, selalu adanya intervensi dari pemerintah supra desa. Desa selalu mengalami ketergantungan dengan kecamatan maupun kabupaten. Dengan adanya pemaknaan seperti itu sehingga yang terjadi adalah Kewenangan-kewenangan yang seharusnya dimiliki desa, pemerintah kabupaten masih melakukan intervensi terhadap kebijakan-kebijakan desa. Pemerintah selalu menganggab desa sebelah mata dengan selalu menempatkan desa sebagai sasaran kebijakan dan regulasi dari kabupaten.Misalnya saja dalam hal retribusi-retribusi masih menjadi tanggung jawab kabupaten. Contohnya retribusi pasar desa yang seharunya itu menjadi sumber pendapatan asli desa, akan tetapi hasil retribusi tersebut diambil oleh kabupaten.
          Berbicara otononi desa, tentunya membicarakan tentang hak dan kewenangan desa dan kewenangan itu sangat erat kaitannya dengan keuangan. Dalam hal ini kewenangan merupakan sesuatu hal yang dapat memberikan profit/ pendapatan/keutungan , misalnya saya dalam pembuatan KTP,  Akta kelahiran, Pajak dll bila hal itu di lakukan atau di urus oleh desa tentunya  pendapatan desa akan bertambah dan bisa mengelolanya sendiri tampa campur tangan pemerintah supra desa. Namun yang terjadi desa tidak diberi kewenangan dalam mengurus hal tersebut,.  desa  dipandang tidak mampu untuk mengelola dan menyelenggarakan urusan administrasi penduduk desa. otonomi yang dimiliki desa hanya dipandang hanya sebelah mata oleh pemerintah supra desa.
          Dari hal tersebut diatas, dengan melihat kondisi desa seperti itu, maka apakah otonomi desa dapat terwujud, apakah otonomi desa hanya sekedar teoritis saja. Apakah otonomi desa sebuah kemustahilan untuk terwujud.?
B.  Kerangka Teori
a.    Otonomi Desa
Istilah otonomi dalam tinjauan etimologis berasal dari bahasa latin “autos” yang berarti sendiri dan “ nomos “ yang berarti aturan. Dalam etimologi Encylopedia Of Sosial Science ( Sarundang , (1999 ) otonomi dalam dalam pengertian orisinal ( the legal self suffliciency of social body and its actual independence. Sementara Manan ( 1993 ), memaknai otonomi sebagai kekebasan dan kemandirian satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengantur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. (Musa’ad, 2002 : 25 ).
Sedangkan di dalam Peraturan RI Nomor 72 tahun 2005 Tentang Pemerintah Desa menyebutkan bahwa , desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyakarat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, beradasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Cerita “ otonomi Asli “ yang melekat pada desa memang sudah lama kita dengar. Perangkat regulasi menyebut otonomi asli identik dengan kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan berwenang mengatur dan mengurus rumah tanggannya sendiri. Sela Sumarjan ( 1992 ), misalnya, menegaskan bahwa Pasal 18 UUD 1945 tampa ragu-ragu mengakui keberadaan daerah-daerah istimewa seperti desa di Jawa Bali, Nagari simatra Barat, atau marga di Sumatra Selatan, sebagai daerah swapraja ( Zelf-bestrurende landschappen ) dan kesatuan-kesatuan rakyat ( volkgemeenschappen ). Buku-buku lama juga menceritakan bahwa desa memiliki otonomi asli sebagai warisan sejarah masa lalu sebelum Republik Indonesia terbentuk, sementara otonomi yang melekat pada daerah merupakan “pemberian “ melalaui skema desentralisasi. Kalau desa disebut self-governing, sedangkan daerah disebut local-self government. Tetapi kita akan terjebak dalam sesat piker yang serius kalau memahami otonomi desa hanya dalam mengertian “otonomi asli. Otonomi asli pada dasarnya menunjuk kepada kemandirian desa sebelum masa colonial ketika desa tidak terikat secara hirarkis-strukutral dengan kekuasaaan supra desa. Dulu desa betul-betul mandiri dalam mengatur dan mengurus penduduk dan tanah yang berada diwilayahnya. Tetapi ketika desa diintegrasikan kedalam struktur supra desa, maka secara berangsur-angsur otonomi asli desa telah hancur. Desa tida lagi mempunyai kemandirian mengendalikan tanah dan penduduk, tetapi semua ini telah diambil alih menjadi kendali supra desa. Dimasa orde baru dan sekarang, otonomi asli ( hak dan kewenangan asal-usul ) sudah hancur dan sulit dikenali, kecuali hanya dalam bentuk otoritas desa mengelola sejengkal tanah bengkok maupun tanah ulayat yang nilai ekonomisnya tidak terlalu besar. Jika sekarang otonomi asli masih sering diucapkan sebenarnya hal itu merupakan upaya untuk melokalisir otonomi desa sebatas pada mengurus kepentingan masyarakat setempat yang ditopang dengan swadaya masyarakat. padahal mobilisasi swadaya masyarakat dalam pembangunan desa telah terbukti jutru menjadi beban berat masyarakat desa, sementara Negara cenderung menghindar dari tanggung jawabnya. Jika wilayah kota dibangun secara penuh dengan alokasi anggaran Negara, maka wilayah pedesaan dibangun dengan kombinansi antara dana stimulun pemerintah dan swadaya masyarakat setempat. Karena itu otonomi desa sebenarnya bukan otonomi asli bukan hanya dalam bentuk self governing community, bukan pula hanya kemandirian desa yang beralas pada mobilisasi swadaya masyarakat seperti halnya otonomi daerah, otonomi desa harus dipahami sebagai local self government yaitu desa yang mempunyai kedudukan dan kewenangan sebagai daerah otonom dalam kerangka NKRI.( Zakaria, 2004 : 41 ).
Desa yang otonom tentu bukan sekedar unit pemerintahan yang berada pada subsistem kabupaten/kota, melainkan sebagai entitas daerah kecil yang diakui dan menjadi bagian dari Negara. Desa otonom sebagai local self government itu tentu membutuhkan desentralisasi dari Negara, yakni pembagian kewenangan, sumber daya dan tanggung jawab kepala desa. Prinsip dasar desentralisasi ini adalah NKRI di bagi menjadi daerah propinsi, daerah kabupaten/kota dan desa yang masing-masing daerah itu mempunyai hak, kewenangan, sumber daya dan tanggung jawab dalam pengelolaan pemerintahan.
Berkaitan dengan adanya pengakuan atas otonomi desa ini, didalam wacana politik hukum, dikenal dengan adanya dua macam konsep hak berdasarkan asal usulnya. Masing-masing berbeda satu sama lainnya.pertama yaitu hak yang bersifat pemberian ( hak Pemberian ) dan kedua adalah hak yang merupakan bawaan yang melekat pada sejarah asal usul unit yang memiliki otonomi itu ( hak bawaan). Dengan menggunakan dua pembeda ini, maka otonomi daerah yang saat ini dibicarakan banyak orang dewasa dari hak menjadi wewenang (authority). Kewajiban selalu merupakan pemberian, yang selalu harus dipertanggung jawabkan. Selain itu, konsep urusan rumah tangga daerah hilang diganti dengan konsep kepentingan masyarakat. dengan demikian, otonomi daerah merupakann kewenangan pemerintahan daerah untuk mengantur kepentingan masyarakat didaerah. (Zakaria, 2004 : 42 ).
Jika kita berbicara tentang desentralisasi desa dan otonomi Desa , maka ada tiga hal, pertama desentralisasi politik (devolusi) yang membagi kekuasaan dan kewenangan dari Negara kepada desa. Kedua, desentralisasi pembangunan yakni membagi dan memastikan desa sebagai entitas local yang berwenang merumuskan perencanaan sendiri ( local self planning, bukan sekedar bottom up planning. Ketiga, desentralisasi keuangan, yakni transfer dana dari Negara ( bukan Kabupaten/kota ) kepala desa untuk membiayai pengelolaan pemerintahan dan pembangunan desa. (Sutoro Eko, Dkk , 2005 : 204 )
Dari beberapa pemahaman tentang otonomi desa di atas sehingga penulis menyimpulkan bahwa otonomi  desa pada dasarnya kewenangan yang dimiliki oleh desa untuk mengurus dan mengelola desa tampa adanya campur tangan dari dari kecamatan, kabupaten maupun pemerintah pusat.
C.  Pelaksanaan Otonomi Di tingkat Desa
          Pengalaman selama lima tahun terakhir memperlihatkan bahwa pemerintah maupun masyarakat local mengelami kesulitan dalam menentukan kedudukan, otonomi dan format pemerintahan local  dan sesuai dengan tujuan nasional. Pertama, kedudukan dan kewenangan  desa menjadi titik sentral dalam semesta pembicaraan tentang otonomi desa. Keduanya menjadi kruasial karena sejak masa colonial hingga masa reformasi sekarang selalu muncul pembicaraan dan tarik menarik bagaimana menempatkan posisi desa dalam strukur Negara yang lebih besar. Kedua tarik menarik antara keragamaman adat local dan model pemerintahan nasional. Ketiga problem pertama dan kedua itu sebenarnya juga pararel dengan pilihan, apakah desa akan dijadikan sebagai local self government yang otonom seperti daerah otonom ( kabupaten/kota ), atau hanya organisasi masyarakat yang hanya mengurus dirinya sendiri ( self goverming community ). Pilihan atas dua bentuk ini akan akan membawa konsekuensi pada makna dan format otonomi desa. UU yang tidak perna menyebut secara tegas tentang otonomi desa. Otonomi desa hanya dikenal dalam wacana resmi, pelajaran dikampus maupun suara-suara local yang kini mempergunakan otonomi desa sebagai ikon pembaharuan desa. Keempat, isu ekonomi politik. Otonomi desa ( posisi dan kewenangan desa ), bukan semata menjadi persoalan dalam mengelola ketatanegaraan dan adminitrasi pemerintahan secara formal, juga bukan semata masalah modernisasi pemerintahan adat. Kelima, desa umumnya mempunyai keterbatasan sumber daya local. Berdasalkan kalkulasi nominal, desa umumnya mempunyai keterbatasan ukuran wilayah, jumlah penduduk, potensi desa dan lain lain. Keenam, refitalisasi atau upaya untuk kembali kepada bentuk pemerintahan asli diberbagai daerah mengalami berbagai kesulitan ( kendala ). Pada umumnya daerah daerah diindonesia bersifat inklusif dan majemuk yang dihuni oleh berbagai suku bangsa. Masing-masing suku mempunyai referensi tentang pemerintahan local yang berbeda-beda dan terbatas. (Widodo Triputro dkk, 2005 : 246-248).  Sehingga menjadi rancu ketika kita berbicara tentang otonomi desa ketika kedukan desa tidak diatur dengan jelas, sehingga kewenangan-kewenangan selama ini yang dimiliki oleh desa itu selalu diambil alih oleh pemerintah diatasnya sehingga desa tidak bisa bersifat otonom.
a.    Desentralisasi Politik
          Penegasan tentang posisi desa itu membutuhkan pengakuan dan pembagian kewenangan dari Negara, bukan hanya dari kabupaten/kota. Sejauh ini ada empat tipe kewenangan yang perlu dibagi kepada desa. Tipe pertama adalah kewenangan generik atau kewenangan asli yang sering disebut hak atau kewenangan asal usul yang melekat pada desa ( atau nama lain ) sebagai kesatuan masyarakat hukum. Kewenangan inilah yang sering disebut sebagai property right komunitas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri ( Yando Zakaria, 2000 ), atau yang sering disebut sebagai wujud otonomi asli. Ada beberapa jenis kewenangan generic yang sering dibicarakan : (1)kewenangan membentuk dan mengelola sistem pemerintahan sendiri;(2)kewenangan mengelola sumber daya local ( tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan adat;(3)kewenangan mengelola dan merawat nilai nila dan budaya local termaksud adat-istiadat;(5) kewenagan yudikatif atau peradilan komunitas ( community justice system ), misalnya dalam hal penyelesaian konflik local. Tipe kedua adalah kewenangan devolutif, yaitu kewenangan yang harus ada atau melekat kepada desa karena posisinya sebagai pemerintahan local ( local self governmet. ( Sutoro Eko, Dkk , 2005 : 206-207).
          Kewenangan mengelola pemerintahan sendiri dalam hal ini kepala desa bersama berangkat desa  dengan  BPD menyelenggarakan pemerintaha Desa. Kepala desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 pasal 14 menyebutkan bahwa dalam melaksakan tugas, kepala desa mempunyai wewenang :
a.    Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD;
b.    Mengajukan rancangan peraturan desa;
c.    Menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD
d.   Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APB Desa   untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;
e.    Membina kehidupan masyarakat desa;
f.     Membina perekonomian Desa
g.    Menkordinasikan pembangunan desa secara partisipatif.
h.    Mewakili desanya didalam dan diluar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa            hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
i.      Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan- perundang-undangan.
          Dengan wewenang kepala desa dalam mengurus urusan pemerintahan tentunya memberikan dampak yang positif untuk menuju desa yang lebih otonom dalam urusan pemerintahan, dalam rangka menciptakan desa yang makmur, adil dan sejahtera. Namun, sebahagian kewenangan yang dimiliki oleh kepala desa tidak dapat dijalankan secara maksimal, misalnya saja dalam urusan membina perekonomian desa, bahkan tidak melaksanakan sama sekali, akan tetapi usaha untuk menuju pembinaan sudah mulai dirancang dan dilaksanakan dibeberapa daerah.
          Dengan melihat Kondisi desa sekarang  dengan adanya kepala desa yang dipilih secara langsung oleh rakyat menunjukan demokratisasi di tingkat desa. Partisipasi dari masyarakat  dalam rencana membuat peraturan desa dan lain lain sangat Hal ini memungkinkan membuka ruang demokratisasi ditingkat desa. kepada desa dituntut mampu membuat peraturan desa yang lebih partisipatif dengan pertujuan DPD, sehingga memungkinkan desa bisa mandiri dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan di desa.
          Kewenangan desa dalam mengelola sumber daya local misalnya tanah bengkok, tanah ulayat atapun tanah adat, contoh kasus dapat kita lihat di wilayah jawa khususnya di D.I Yogyakarta. Desa di wilayah yogyakarta memiliki kewenangan untuk mengelola tanah bengkok. Tanah bengkok tersebut merupakan tanah khas desa, yang sangat bermaamfaat sekali dalam menunjang pembangunan desa. Beda halnya dengan disejumlah daerah yang lain,dimana tanah bengkok tidak dimiliki oleh daerah yang lain misalnya di daerah Sulawesi, Sumatra maupun Kalimantan. Mengenai  tanah ulayat maupun tanah adat yang dimiliki oleh sejumlah daerah misalnya saja tanah adat yang di Papua, maupun dikalimantan mengelolaannya masih ada intervensi dari kecamatan maupun kabupaten. Tentunya dengan intervensi tersebut hasil dari tanah adat atau tanah ulayat masih wewenang kecamatan maupun kabupaten sehingga desa tida mampu berbuat apa-apa.
          Tipe ketiga adalah kewenangan ditribusif yakni kewenangan mengelola urusan ( bidang ) pemerintahan yang dibagi ( bukan sekedar delegasi ) oleh pemerintah kepada desa. Jika menurut UU no 22/1999 dan UU no 32/2004, kewenangan distribusif ini disebut sebagai kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah, yang dalam praktiknya sering dikritik sebagai kewenangan kering karena tidak jelas atau kewenangan sisa karena desa hanya menerima kewenangan sisa ( karena semuanya sudah diambil kabupaten/kota yang tidak jelas dari supra desa. Kewenangan distribusi sebanarnya pararel dengan dengan kewenangan luas dibidang pemerintahan yang selama ini sudah dibagi kepada daerah kecuali dibidang pertahanan, agama, monoter dan peradilan. Bidang atau urusan pemerintahan sebenarnya bisa dibagi secara proposional ( seimbang ) antara pusat, propinsi, kabupaten dan desa. Tipe keempat adalah kewenangan dalam pelaksanaan tugas pembantuan. Ini sebenarnya bukan termaksud kategori kewenangan desa karena tugas pembantuan hanya sekedar melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan(Sutoro Eko, Dkk , 2005 : 207)
b.    Desentralisasi Pembangunan
          Desentralisasi pembangunan juga mengembangan local self planning ditingkat desa. Desa mempunyai kewenangan untuk merencanakan sendiri program program pembangunan desa sesuai dengan batas-batas kewenangan yang didesentralisasikan kepada desa, yang juga didukung dengan desentraliasi keuangan kepada desa misalnya melalui skema alokasi dana desa ( ADD ). Skema pendanaan pembangunan desa diaras desa ( baik yang bersumber dari PADES, ADD maupun dana alokasi khusus dari pemerintah supra desa ) seharusnya dikelola dengan skema buggeter, yakni dimasukan dalam APBDES. Tentu APBDES memainkan rencana strategis desa yang disusun secara partisipatif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. ( Sutoro Eko, 2005 ). Akan tetapi realitas yang terjadi dengan atas dalih pembangunisme, Negara mengeisploitasi kekayaan desa. Pembangunan tidak lagi utuh kewenangan desa, akan tetapi sebahagian besar menjadi kewenangan Kabupaten ataupun kewenangan dari Pusat. Desa lagi lagi di jadikan obyek, dan desa hanya dijadikan proyek-proyek dalam memperoleh bantuan dari pusat oleh pemerintah daerah.
c.    Desentralasasi keuangan
          Selama ini ada tiga skema pembagian keuangan yang masuk kearas desa, yang sebenarnya tidak mencerminkan desentralisasi keuangan secara sempurna. Pertama, bantuan keuangan dari pemerintah yang sudah berjalan sejak 1969 melalui skema Impres Bantuan Desa. Pemerintah mengalokasikan sebesar Rp 100 ribu secara merata kepada seluruh desa pada tahun 1969, dan pada tahun 1999 pemerintah mengalokasikan secara merata dan seragam per desa sebesar 10 juta. Impres desa itu bagaimana pun telah menjadi legenda besar dalam perjalanan pembangunan desa di Indonesia. Tetapi bantuan ini tidak memberdayakan dan tidak adil, malainkan hanya melakukan mobilisasi swadaya masyarakat dan menciptakan ketergantungan. Kedua, proyek-proyek pemerintah tidak langsung memberikan uang kepada desa, malainkan pemerintah membawa program yang masuk desa. Ini yang menjadikan desa sebagai keranjang sampah pembangunan dan telah menciptakan involuasi desa. Ketiga, alokasi dana desa ( ADD ) yang sudah diterapkan oleh sejumlah kabupaten selama era otonomi daerah. Desa hanya memperoleh bantuan dari pusat, propinsi dan kabupaten. Karena tidak tegasnya UU, kabupaten mempunyai tafsir yang berbeda-beda. Sebahagian besar kabupaten hanya menerapkan konsep bantuan untuk mengalihkan sebahagian dananya kepada desa, misalnya dengan skema Dana Pembangunan Desa ( DPD ) untuk membiayai pemerintahan dan pembangunan Desa. Masih banyak Kabupaten yang enggan membuat kebijakan alokasi dana yang menggunkana istilah perimbangan keuangan atau alokasi dana desa ( ADD ). Meskipun banyak masalah dan distorsi yang muncul, ADD dibanyak kabupaten telah memberkan banyak pelajaran berharga yang kedepan mengarah pada penguatan kemandirian Desa.( (Sutoro Eko, Dkk , 2005 : 213 ) . Kewenangan yang dimiliki oleh desa dalam hal penyusunan olokasi anggaran untuk desa dalam APBD yang terjadi selama ini, tidak melibatkan desa dalam menyusun anggaran untuk desa, porsi anggaran untuk desa hanya merupakan kebaikan dari kabupaten. Kebijakan-kebijakan dari kabupaten yang berkaitan dengan desa tidak melibatkan partisipasi dari masyarakat di desa. Selanjutnya alokasi dana desa yang diberikan hanya kebaikan dari kabupaten, yang seharusnya jika alokasi dana desa diberikan secara penuh, desa cukup kaya dan mampu untuk mengembangkan pembangunan desa.
          Untuk itu seharusnya dalam membangun otonomi desa, idealnya desa diberikan kewenangan yang lebih luas dan jelas. Dan pada sisi lain kabupaten hendaknya mengurangi peran otoritasnya dalam mengurusi urusan desa yang sudah bisa dilakukan oleh desa. Kewenangan yang dibutuhkan desa diantaranya: pertama, kewenangan untuk ikut terlibat dalam pembuatan kebijakan pemerintah kabupaten yang menyangkut tentang desa. Kedua, memberi wewenang dalam urusan internal desa. Bagi desa-desa yang mampu mengurus urusan internalnya berilah keleluasaan untuk melakukannya. Misalnya pada penentuan model pemilihan kepemimpinan desa, pembentukan lembaga demokrasi desa, prosedur pertanggungjawaban  pemerintah desa pada masyarakat,  pengelolaan wilayah desa, pengelolaan pembangunan desa, dan anggaran desa. Ketiga,  berilah wewenang untuk mengelola dana perimbangan yang berasal dari pembagian DAU. Pemberian tersebut tentu harus diikuti dengan syarat bahwa ada komitmen atau jaminan dari kabupaten untuk memberi prosentase yang wajar kepada desa atas DAU yang diterima kabupaten. Namun sebesar apapun fungsi dan kekuasaan yang dimilki desa, tanpa  ditopang oleh  fasilitas “alat” untuk menjalankan fungsi dan kekuasaan tidak akan mendorong terwujudnya otonomi desa. Karena tidak ada kemandirian dalam mengelola daerahnya. Keempat, memberi kewenangan dalam mengelola sumber daya ekonomi yang ada di desa. Artinya desa leluasa untuk mengelola, baik secara sendiri maupun dengan mengajak kerjasama dengan pihak luar untuk menggarap sumber daya alam yang tersedia di desa. Adanya sumber pendapatan daerah yang telah dikelola oleh kabupaten di tingkat desa, idealnya kabupaten memberi bagian yang proporsional pada desa, tentunya dengan pembagian yang harus dibicarakan bersama antara pemerintah kabupaten dengan pemerintah desa. Dan andaikata, kabupaten merasa bahwa desa sudah cukup mampu mengelola secara mandiri, selayaknyalah kabupaten memfasilitasi untuk mengalihkan pengelolaan tersebut kepada desa.Kelima, adanya kewenangan untuk menolak segala bantuan dari pemerintah diatasnya yang tidak dikuti dengan pembiayaan yang sesuai, serta tidak sesuai dengan daya dukung masyarakat desa dan kehendak masyarakat setempat. Tetapi, lagi-lagi harus diikuti oleh adanya jaminan dari kabupaten bahwa penolakan tersebut bukan sebagai upaya pembangkangan, sehingga tidak timbul penilaian negatif dari kabupaten terhadap pemerintah desa. ( http://ruslidjamik.wordpress.com ). Dengan adanya kewenangan yang jelas dan tidak adanya intervensi dari kecamatan maupun kabupaten, otonomi desa yang dicita-citakan kemungkinan besar akan terwujud.
          Oleh sebab itu, yang dibutuhkan saat ini oleh desa adalah pengembalian otonomi desa seutuhnya, termaksud haknya sebagai subyek hukum dari hak ulayat. Pengakuan desa sebagai badan yang menerima kewenangan penyelenggaraan pemerintahan nasional hanyalah salah satu saja dari sekian kebutuhan yang harus dipenuhi dalam otonomi penuh tersebut. hanya dengan demikianlah ketengangan antara Negara dan desa dapat diselesaikan. Dengan cara demikian pula, dualisme yang terjadi didesa selama ini dan yang telah merugikan warga desa, dapat diselesaikan/ dihilangkan. Dengan pemberian otonomi penuh itulah akan tercipta komunitas yang sehat dan hidup yang dibutuhkan bagi kelangsungan keberadaan Negara ini dimasa-masa yang akan datang. (Gunawan dkk, 2005 : 345 ). Tentunya pengembalian otonomi desa itu di dukung oleh kapasitas dari sumber daya manusia di desa, karena karena keberhasilan pengelolaan otonomi desa sangat tergantung juga dari sumber daya manusia. Dengan hal tersebut segala kewenangan yang dimiliki oleh desa dapat dikelola secara baik dan maksimal dalam rangka mewudkan desa yang mandiri.
 D.  Kesimpulan
          Berdasarkan hal tersebut diatas, tentang gambaran dan realitas   otonomi di tingkat desa, Maka kita bisa mengambil  kesimpulan sebagai berikut :
1.      Otonomi desa pada dasarnya kewenangan yang dimiliki oleh desa untuk mengurus dan mengelola desa tampa adanya campur tangan dari dari kecamatan, kabupaten maupun pemerintah pusat.
2.      Dalam pelaksanaannya, pemaknaaan otonomi desa masih mengelami perdebatan dan kesulitan dalam menentukan kedudukan, otonomi, dan menempatkan desa dalam format pemerintahan local, hal tersebut Nampak jelas dengan adanya tarik menarik kepentingan pusat maupun local ( kabupaten ) yang menempatkan desa sebagai obyek dari kebijakan pemerintah. otonomi desa hanya dianggab sebagai slogan atau hanya sekedar teoritis saja, Nampak jelas dengan adanya kewenangan kewenangan yang dimiliki oleh desa sebahagian di intervensi oleh pemerintah supra desa.
Kemudian hal lain yang masih menjadi perdebatan bahwa menempatkan otonomi desa sama halnya dengan otonomi yang dimiliki oleh kabupaten dan perdebatan tersebut sampai sekarang  belum ada kepastian yang jelas format otonomi desa.
3.      Untuk itu desa idealnya desa diberikan kewenangan yang lebih luas dan jelas. dan memperjelas kedudukan desa dalam kerangka otonomi desa. Dengan didukung kualitas sumber daya manusia didesa. Dengan seperti itu akan tercipta kehidupan desa yang otonom dan mampu mengelola rumah tangganya sendiri.


    



Daftar Pustaka

Triputro, Widodo dkk, 2005, Pembaharuan Otonomi Daerah, Yogyakarta : APMD
Musa’ad, Mohamad Abdul, 2002, Penguatan Otonomi Daerah, Dibalik Bayang Bayang Disentegrasi , Bandung :  ITB
Zakaria, R. Yando, 2004, Merebut Negara, Yogyakarta Lapera
Eko, Sutoro  Dkk, Manifesto Pembaruan Desa, 2005, Yogyakarta, APMD Press
Gunawan, Jamil dkk, 2005, Desentralisasi, Globalisasi dan Demokrasi Lokal, Yogyakarta : LP3ES

Sumber Lain
http://ruslidjamik.wordpress.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar