A. Pendahuluan
Dengan berlakunya UU 32 tahun 2004
tentang pemerintah daerah, daerah
memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengelola daerahnya sendiri,
tampa adanya campur tangan dari pemerintah pusat. Kewenangan yang dimiliki oleh
daerah baik dalam penyelenggaraaan pemerintahan, pembangunan dan lain lain
dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah termuat
suatu kebijakan otonomi desa. Dengan begitu maka desa bukan lagi menjadi
bawahan dari kecamatan maupun kelurahan. Dalam Undang-undang tersebut mengakui
adanya otonomi desa. Maka secara
otomatis dengan dengan adanya otonomi tersebut desa juga memiliki kewenangan-kewenangan
baik dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan maupun dalam pengelolaan
keuangan desa.
Akan tetapi Dalam Undang -Undang No 32
tahun 2004 merupakan format politik yang mengatur tentang eksistensi desa, dalam
pasal 1 ayat 12 undang-undang tersebut menempatkan desa sebagai wilayah otonom
sesuai dengan maknanya. Dari makna tersebut terkandung bahwa prinsip
desentralisasi dalam menempatkan hubungan antara desa dengan supra desa.
Prinsip desentralisasi memberikan ruang ekspresi politik bagi desa, sementara
pada sisi lain terdapat struktur dan mekanisme pemerintahan dan politik yang
lebih mengembangkan upaya eksploitasi energi desa agar selalu mengalir
kepemerintah supra desa. Kondisi ini menghasilkan pengelolaan Negara yang
menempatkan kesenjangan hubungan antara Negara dan rakyat, dan sebagai bentuk
sikap anti demokrasi(Widodo Triputro dkk,2005 : 264).Dari hal tersebut Sehingga
otonomi desa dimaknai sebagai sesuatu yang masih mememiliki ketergantungan
dengan pemerintah supra desa, dan desa belum
berdiri sendiri. Untuk itu
otonomi desa dipandang hanya sekedar teoritis , hanya sekedar konsep belaka,
desa tidak bisa bersifat otonom, selalu
adanya intervensi dari pemerintah supra desa. Desa selalu mengalami
ketergantungan dengan kecamatan maupun kabupaten. Dengan adanya pemaknaan
seperti itu sehingga yang terjadi adalah Kewenangan-kewenangan yang seharusnya
dimiliki desa, pemerintah kabupaten masih melakukan intervensi terhadap
kebijakan-kebijakan desa. Pemerintah selalu menganggab desa sebelah mata dengan
selalu menempatkan desa sebagai sasaran kebijakan dan regulasi dari kabupaten.Misalnya
saja dalam hal retribusi-retribusi masih menjadi tanggung jawab kabupaten.
Contohnya retribusi pasar desa yang seharunya itu menjadi sumber pendapatan
asli desa, akan tetapi hasil retribusi tersebut diambil oleh kabupaten.
Berbicara otononi desa, tentunya
membicarakan tentang hak dan kewenangan desa dan kewenangan itu sangat erat
kaitannya dengan keuangan. Dalam hal ini kewenangan merupakan sesuatu hal yang
dapat memberikan profit/ pendapatan/keutungan , misalnya saya dalam pembuatan
KTP, Akta kelahiran, Pajak dll bila hal
itu di lakukan atau di urus oleh desa tentunya
pendapatan desa akan bertambah dan bisa mengelolanya sendiri tampa
campur tangan pemerintah supra desa. Namun yang terjadi desa tidak diberi
kewenangan dalam mengurus hal tersebut,. desa dipandang
tidak mampu untuk mengelola dan menyelenggarakan urusan administrasi penduduk
desa. otonomi yang dimiliki desa hanya dipandang hanya sebelah mata oleh
pemerintah supra desa.
Dari hal tersebut diatas, dengan melihat kondisi desa
seperti itu, maka apakah otonomi desa dapat terwujud, apakah otonomi desa hanya
sekedar teoritis saja. Apakah otonomi desa sebuah kemustahilan untuk terwujud.?
B. Kerangka Teori
a.
Otonomi
Desa
Istilah
otonomi dalam tinjauan etimologis berasal dari bahasa latin “autos” yang
berarti sendiri dan “ nomos “ yang berarti aturan. Dalam etimologi Encylopedia
Of Sosial Science ( Sarundang , (1999 ) otonomi dalam dalam pengertian orisinal
( the legal self suffliciency of social body and its actual independence.
Sementara Manan ( 1993 ), memaknai otonomi sebagai kekebasan dan kemandirian
satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengantur dan mengurus sebagian urusan
pemerintahan. (Musa’ad, 2002 : 25 ).
Sedangkan
di dalam Peraturan RI Nomor 72 tahun 2005 Tentang Pemerintah Desa menyebutkan
bahwa , desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa
adalah kesatuan masyakarat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
beradasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Cerita
“ otonomi Asli “ yang melekat pada desa memang sudah lama kita dengar.
Perangkat regulasi menyebut otonomi asli identik dengan kesatuan masyarakat
hukum yang berhak dan berwenang mengatur dan mengurus rumah tanggannya sendiri.
Sela Sumarjan ( 1992 ), misalnya, menegaskan bahwa Pasal 18 UUD 1945 tampa
ragu-ragu mengakui keberadaan daerah-daerah istimewa seperti desa di Jawa Bali,
Nagari simatra Barat, atau marga di Sumatra Selatan, sebagai daerah swapraja ( Zelf-bestrurende landschappen ) dan
kesatuan-kesatuan rakyat ( volkgemeenschappen
). Buku-buku lama juga menceritakan bahwa desa memiliki otonomi asli sebagai
warisan sejarah masa lalu sebelum Republik Indonesia terbentuk, sementara otonomi
yang melekat pada daerah merupakan “pemberian “ melalaui skema desentralisasi.
Kalau desa disebut self-governing,
sedangkan daerah disebut local-self
government. Tetapi kita akan terjebak dalam sesat piker yang serius kalau
memahami otonomi desa hanya dalam mengertian “otonomi asli. Otonomi asli pada
dasarnya menunjuk kepada kemandirian desa sebelum masa colonial ketika desa
tidak terikat secara hirarkis-strukutral dengan kekuasaaan supra desa. Dulu
desa betul-betul mandiri dalam mengatur dan mengurus penduduk dan tanah yang
berada diwilayahnya. Tetapi ketika desa diintegrasikan kedalam struktur supra
desa, maka secara berangsur-angsur otonomi asli desa telah hancur. Desa tida
lagi mempunyai kemandirian mengendalikan tanah dan penduduk, tetapi semua ini
telah diambil alih menjadi kendali supra desa. Dimasa orde baru dan sekarang, otonomi
asli ( hak dan kewenangan asal-usul ) sudah hancur dan sulit dikenali, kecuali
hanya dalam bentuk otoritas desa mengelola sejengkal tanah bengkok maupun tanah
ulayat yang nilai ekonomisnya tidak terlalu besar. Jika sekarang otonomi asli
masih sering diucapkan sebenarnya hal itu merupakan upaya untuk melokalisir
otonomi desa sebatas pada mengurus kepentingan masyarakat setempat yang
ditopang dengan swadaya masyarakat. padahal mobilisasi swadaya masyarakat dalam
pembangunan desa telah terbukti jutru menjadi beban berat masyarakat desa,
sementara Negara cenderung menghindar dari tanggung jawabnya. Jika wilayah kota
dibangun secara penuh dengan alokasi anggaran Negara, maka wilayah pedesaan
dibangun dengan kombinansi antara dana stimulun pemerintah dan swadaya
masyarakat setempat. Karena itu otonomi desa sebenarnya bukan otonomi asli
bukan hanya dalam bentuk self governing community, bukan pula hanya kemandirian
desa yang beralas pada mobilisasi swadaya masyarakat seperti halnya otonomi
daerah, otonomi desa harus dipahami sebagai local self government yaitu desa
yang mempunyai kedudukan dan kewenangan sebagai daerah otonom dalam kerangka
NKRI.( Zakaria, 2004 : 41 ).
Desa
yang otonom tentu bukan sekedar unit pemerintahan yang berada pada subsistem
kabupaten/kota, melainkan sebagai entitas daerah kecil yang diakui dan menjadi
bagian dari Negara. Desa otonom sebagai local self government itu tentu
membutuhkan desentralisasi dari Negara, yakni pembagian kewenangan, sumber daya
dan tanggung jawab kepala desa. Prinsip dasar desentralisasi ini adalah NKRI di
bagi menjadi daerah propinsi, daerah kabupaten/kota dan desa yang masing-masing
daerah itu mempunyai hak, kewenangan, sumber daya dan tanggung jawab dalam
pengelolaan pemerintahan.
Berkaitan
dengan adanya pengakuan atas otonomi desa ini, didalam wacana politik hukum,
dikenal dengan adanya dua macam konsep hak berdasarkan asal usulnya.
Masing-masing berbeda satu sama lainnya.pertama yaitu hak yang bersifat
pemberian ( hak Pemberian ) dan kedua adalah hak yang merupakan bawaan yang
melekat pada sejarah asal usul unit yang memiliki otonomi itu ( hak bawaan).
Dengan menggunakan dua pembeda ini, maka otonomi daerah yang saat ini
dibicarakan banyak orang dewasa dari hak menjadi wewenang (authority). Kewajiban selalu merupakan
pemberian, yang selalu harus dipertanggung jawabkan. Selain itu, konsep urusan
rumah tangga daerah hilang diganti dengan konsep kepentingan masyarakat. dengan
demikian, otonomi daerah merupakann kewenangan pemerintahan daerah untuk
mengantur kepentingan masyarakat didaerah. (Zakaria, 2004 : 42 ).
Jika
kita berbicara tentang desentralisasi desa dan otonomi Desa , maka ada tiga
hal, pertama desentralisasi politik (devolusi) yang membagi kekuasaan dan
kewenangan dari Negara kepada desa. Kedua, desentralisasi pembangunan yakni
membagi dan memastikan desa sebagai entitas local yang berwenang merumuskan
perencanaan sendiri ( local self planning, bukan sekedar bottom up planning.
Ketiga, desentralisasi keuangan, yakni transfer dana dari Negara ( bukan
Kabupaten/kota ) kepala desa untuk membiayai pengelolaan pemerintahan dan
pembangunan desa. (Sutoro Eko, Dkk ,
2005 : 204 )
Dari
beberapa pemahaman tentang otonomi desa di atas sehingga penulis menyimpulkan
bahwa otonomi desa pada dasarnya
kewenangan yang dimiliki oleh desa untuk mengurus dan mengelola desa tampa
adanya campur tangan dari dari kecamatan, kabupaten maupun pemerintah pusat.
C. Pelaksanaan Otonomi Di tingkat Desa
Pengalaman selama lima tahun terakhir memperlihatkan bahwa
pemerintah maupun masyarakat local mengelami kesulitan dalam menentukan
kedudukan, otonomi dan format pemerintahan local dan sesuai dengan tujuan nasional. Pertama,
kedudukan dan kewenangan desa menjadi
titik sentral dalam semesta pembicaraan tentang otonomi desa. Keduanya menjadi
kruasial karena sejak masa colonial hingga masa reformasi sekarang selalu
muncul pembicaraan dan tarik menarik bagaimana menempatkan posisi desa dalam
strukur Negara yang lebih besar. Kedua tarik menarik antara keragamaman adat
local dan model pemerintahan nasional. Ketiga problem pertama dan kedua itu
sebenarnya juga pararel dengan pilihan, apakah desa akan dijadikan sebagai local self government yang otonom
seperti daerah otonom ( kabupaten/kota ), atau hanya organisasi masyarakat yang
hanya mengurus dirinya sendiri ( self
goverming community ). Pilihan atas dua bentuk ini akan akan membawa
konsekuensi pada makna dan format otonomi desa. UU yang tidak perna menyebut
secara tegas tentang otonomi desa. Otonomi desa hanya dikenal dalam wacana
resmi, pelajaran dikampus maupun suara-suara local yang kini mempergunakan
otonomi desa sebagai ikon pembaharuan desa. Keempat, isu ekonomi politik.
Otonomi desa ( posisi dan kewenangan desa ), bukan semata menjadi persoalan
dalam mengelola ketatanegaraan dan adminitrasi pemerintahan secara formal, juga
bukan semata masalah modernisasi pemerintahan adat. Kelima, desa umumnya
mempunyai keterbatasan sumber daya local. Berdasalkan kalkulasi nominal, desa
umumnya mempunyai keterbatasan ukuran wilayah, jumlah penduduk, potensi desa
dan lain lain. Keenam, refitalisasi atau upaya untuk kembali kepada bentuk
pemerintahan asli diberbagai daerah mengalami berbagai kesulitan ( kendala ).
Pada umumnya daerah daerah diindonesia bersifat inklusif dan majemuk yang
dihuni oleh berbagai suku bangsa. Masing-masing suku mempunyai referensi
tentang pemerintahan local yang berbeda-beda dan terbatas. (Widodo Triputro
dkk, 2005 : 246-248). Sehingga menjadi
rancu ketika kita berbicara tentang otonomi desa ketika kedukan desa tidak
diatur dengan jelas, sehingga kewenangan-kewenangan selama ini yang dimiliki
oleh desa itu selalu diambil alih oleh pemerintah diatasnya sehingga desa tidak
bisa bersifat otonom.
a. Desentralisasi
Politik
Penegasan tentang posisi desa itu
membutuhkan pengakuan dan pembagian kewenangan dari Negara, bukan hanya dari
kabupaten/kota. Sejauh ini ada empat tipe kewenangan yang perlu dibagi kepada
desa. Tipe pertama adalah kewenangan generik atau kewenangan asli yang sering
disebut hak atau kewenangan asal usul yang melekat pada desa ( atau nama lain )
sebagai kesatuan masyarakat hukum. Kewenangan inilah yang sering disebut sebagai
property right komunitas untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri ( Yando Zakaria, 2000 ), atau
yang sering disebut sebagai wujud otonomi asli. Ada beberapa jenis kewenangan
generic yang sering dibicarakan : (1)kewenangan membentuk dan mengelola sistem
pemerintahan sendiri;(2)kewenangan mengelola sumber daya local ( tanah kas
desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan adat;(3)kewenangan mengelola dan
merawat nilai nila dan budaya local termaksud adat-istiadat;(5) kewenagan
yudikatif atau peradilan komunitas ( community
justice system ), misalnya dalam hal penyelesaian konflik local. Tipe kedua
adalah kewenangan devolutif, yaitu kewenangan yang harus ada atau melekat
kepada desa karena posisinya sebagai pemerintahan local ( local self governmet. ( Sutoro Eko, Dkk , 2005 : 206-207).
Kewenangan mengelola pemerintahan
sendiri dalam hal ini kepala desa bersama berangkat desa dengan
BPD menyelenggarakan pemerintaha Desa. Kepala desa mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 pasal 14 menyebutkan bahwa dalam
melaksakan tugas, kepala desa mempunyai wewenang :
a.
Memimpin penyelenggaraan pemerintahan
desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
bersama BPD;
b.
Mengajukan rancangan peraturan desa;
c.
Menetapkan peraturan desa yang telah
mendapat persetujuan bersama BPD
d.
Menyusun dan mengajukan rancangan
peraturan desa mengenai APB Desa untuk
dibahas dan ditetapkan bersama BPD;
e.
Membina kehidupan masyarakat desa;
f.
Membina perekonomian Desa
g.
Menkordinasikan pembangunan desa secara
partisipatif.
h.
Mewakili desanya didalam dan diluar
pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum
untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
i.
Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan
peraturan- perundang-undangan.
Dengan wewenang kepala desa dalam
mengurus urusan pemerintahan tentunya memberikan dampak yang positif untuk
menuju desa yang lebih otonom dalam urusan pemerintahan, dalam rangka
menciptakan desa yang makmur, adil dan sejahtera. Namun, sebahagian kewenangan
yang dimiliki oleh kepala desa tidak dapat dijalankan secara maksimal, misalnya
saja dalam urusan membina perekonomian desa, bahkan tidak melaksanakan sama
sekali, akan tetapi usaha untuk menuju pembinaan sudah mulai dirancang dan
dilaksanakan dibeberapa daerah.
Dengan melihat Kondisi desa sekarang dengan adanya kepala desa yang dipilih secara
langsung oleh rakyat menunjukan demokratisasi di tingkat desa. Partisipasi dari
masyarakat dalam rencana membuat
peraturan desa dan lain lain sangat Hal ini memungkinkan membuka ruang
demokratisasi ditingkat desa. kepada desa dituntut mampu membuat peraturan desa
yang lebih partisipatif dengan pertujuan DPD, sehingga memungkinkan desa bisa
mandiri dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan di desa.
Kewenangan desa dalam mengelola sumber
daya local misalnya tanah bengkok, tanah ulayat atapun tanah adat, contoh kasus
dapat kita lihat di wilayah jawa khususnya di D.I Yogyakarta. Desa di wilayah
yogyakarta memiliki kewenangan untuk mengelola tanah bengkok. Tanah bengkok
tersebut merupakan tanah khas desa, yang sangat bermaamfaat sekali dalam
menunjang pembangunan desa. Beda halnya dengan disejumlah daerah yang
lain,dimana tanah bengkok tidak dimiliki oleh daerah yang lain misalnya di
daerah Sulawesi, Sumatra maupun Kalimantan. Mengenai tanah ulayat maupun tanah adat yang dimiliki
oleh sejumlah daerah misalnya saja tanah adat yang di Papua, maupun
dikalimantan mengelolaannya masih ada intervensi dari kecamatan maupun
kabupaten. Tentunya dengan intervensi tersebut hasil dari tanah adat atau tanah
ulayat masih wewenang kecamatan maupun kabupaten sehingga desa tida mampu
berbuat apa-apa.
Tipe ketiga adalah kewenangan
ditribusif yakni kewenangan mengelola urusan ( bidang ) pemerintahan yang
dibagi ( bukan sekedar delegasi ) oleh pemerintah kepada desa. Jika menurut UU
no 22/1999 dan UU no 32/2004, kewenangan distribusif ini disebut sebagai
kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum
dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah, yang dalam praktiknya sering dikritik
sebagai kewenangan kering karena tidak jelas atau kewenangan sisa karena desa
hanya menerima kewenangan sisa ( karena semuanya sudah diambil kabupaten/kota
yang tidak jelas dari supra desa. Kewenangan distribusi sebanarnya pararel
dengan dengan kewenangan luas dibidang pemerintahan yang selama ini sudah
dibagi kepada daerah kecuali dibidang pertahanan, agama, monoter dan peradilan.
Bidang atau urusan pemerintahan sebenarnya bisa dibagi secara proposional (
seimbang ) antara pusat, propinsi, kabupaten dan desa. Tipe keempat adalah
kewenangan dalam pelaksanaan tugas pembantuan. Ini sebenarnya bukan termaksud
kategori kewenangan desa karena tugas pembantuan hanya sekedar melaksanakan
tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggung jawabkan
kepada yang menugaskan(Sutoro Eko, Dkk ,
2005 : 207)
b. Desentralisasi
Pembangunan
Desentralisasi pembangunan juga
mengembangan local self planning
ditingkat desa. Desa mempunyai kewenangan untuk merencanakan sendiri program
program pembangunan desa sesuai dengan batas-batas kewenangan yang
didesentralisasikan kepada desa, yang juga didukung dengan desentraliasi
keuangan kepada desa misalnya melalui skema alokasi dana desa ( ADD ). Skema
pendanaan pembangunan desa diaras desa ( baik yang bersumber dari PADES, ADD
maupun dana alokasi khusus dari pemerintah supra desa ) seharusnya dikelola
dengan skema buggeter, yakni dimasukan dalam APBDES. Tentu APBDES memainkan rencana
strategis desa yang disusun secara partisipatif dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. ( Sutoro Eko, 2005 ). Akan tetapi realitas yang terjadi dengan atas
dalih pembangunisme, Negara mengeisploitasi kekayaan desa. Pembangunan tidak
lagi utuh kewenangan desa, akan tetapi sebahagian besar menjadi kewenangan
Kabupaten ataupun kewenangan dari Pusat. Desa lagi lagi di jadikan obyek, dan
desa hanya dijadikan proyek-proyek dalam memperoleh bantuan dari pusat oleh
pemerintah daerah.
c. Desentralasasi
keuangan
Selama ini ada tiga skema pembagian
keuangan yang masuk kearas desa, yang sebenarnya tidak mencerminkan
desentralisasi keuangan secara sempurna. Pertama, bantuan keuangan dari
pemerintah yang sudah berjalan sejak 1969 melalui skema Impres Bantuan Desa.
Pemerintah mengalokasikan sebesar Rp 100 ribu secara merata kepada seluruh desa
pada tahun 1969, dan pada tahun 1999 pemerintah mengalokasikan secara merata
dan seragam per desa sebesar 10 juta. Impres desa itu bagaimana pun telah
menjadi legenda besar dalam perjalanan pembangunan desa di Indonesia. Tetapi
bantuan ini tidak memberdayakan dan tidak adil, malainkan hanya melakukan
mobilisasi swadaya masyarakat dan menciptakan ketergantungan. Kedua,
proyek-proyek pemerintah tidak langsung memberikan uang kepada desa, malainkan
pemerintah membawa program yang masuk desa. Ini yang menjadikan desa sebagai
keranjang sampah pembangunan dan telah menciptakan involuasi desa. Ketiga,
alokasi dana desa ( ADD ) yang sudah diterapkan oleh sejumlah kabupaten selama
era otonomi daerah. Desa hanya memperoleh bantuan dari pusat, propinsi dan
kabupaten. Karena tidak tegasnya UU, kabupaten mempunyai tafsir yang
berbeda-beda. Sebahagian besar kabupaten hanya menerapkan konsep bantuan untuk
mengalihkan sebahagian dananya kepada desa, misalnya dengan skema Dana
Pembangunan Desa ( DPD ) untuk membiayai pemerintahan dan pembangunan Desa.
Masih banyak Kabupaten yang enggan membuat kebijakan alokasi dana yang
menggunkana istilah perimbangan keuangan atau alokasi dana desa ( ADD ).
Meskipun banyak masalah dan distorsi yang muncul, ADD dibanyak kabupaten telah
memberkan banyak pelajaran berharga yang kedepan mengarah pada penguatan
kemandirian Desa.( (Sutoro Eko, Dkk ,
2005 : 213 ) . Kewenangan yang dimiliki oleh desa dalam hal penyusunan olokasi
anggaran untuk desa dalam APBD yang terjadi selama ini, tidak melibatkan desa
dalam menyusun anggaran untuk desa, porsi anggaran untuk desa hanya merupakan
kebaikan dari kabupaten. Kebijakan-kebijakan dari kabupaten yang berkaitan
dengan desa tidak melibatkan partisipasi dari masyarakat di desa. Selanjutnya
alokasi dana desa yang diberikan hanya kebaikan dari kabupaten, yang seharusnya
jika alokasi dana desa diberikan secara penuh, desa cukup kaya dan mampu untuk
mengembangkan pembangunan desa.
Untuk itu seharusnya dalam membangun
otonomi desa, idealnya desa diberikan kewenangan yang lebih luas dan jelas. Dan
pada sisi lain kabupaten hendaknya mengurangi peran otoritasnya dalam mengurusi
urusan desa yang sudah bisa dilakukan oleh desa. Kewenangan yang dibutuhkan
desa diantaranya: pertama, kewenangan untuk ikut terlibat dalam pembuatan
kebijakan pemerintah kabupaten yang menyangkut tentang desa. Kedua, memberi
wewenang dalam urusan internal desa. Bagi desa-desa yang mampu mengurus urusan
internalnya berilah keleluasaan untuk melakukannya. Misalnya pada penentuan
model pemilihan kepemimpinan desa, pembentukan lembaga demokrasi desa, prosedur
pertanggungjawaban pemerintah desa pada
masyarakat, pengelolaan wilayah desa,
pengelolaan pembangunan desa, dan anggaran desa. Ketiga, berilah wewenang untuk mengelola dana
perimbangan yang berasal dari pembagian DAU. Pemberian tersebut tentu harus
diikuti dengan syarat bahwa ada komitmen atau jaminan dari kabupaten untuk memberi
prosentase yang wajar kepada desa atas DAU yang diterima kabupaten. Namun
sebesar apapun fungsi dan kekuasaan yang dimilki desa, tanpa ditopang oleh
fasilitas “alat” untuk menjalankan fungsi dan kekuasaan tidak akan
mendorong terwujudnya otonomi desa. Karena tidak ada kemandirian dalam mengelola
daerahnya. Keempat, memberi kewenangan dalam mengelola sumber daya ekonomi yang
ada di desa. Artinya desa leluasa untuk mengelola, baik secara sendiri maupun
dengan mengajak kerjasama dengan pihak luar untuk menggarap sumber daya alam
yang tersedia di desa. Adanya sumber pendapatan daerah yang telah dikelola oleh
kabupaten di tingkat desa, idealnya kabupaten memberi bagian yang proporsional
pada desa, tentunya dengan pembagian yang harus dibicarakan bersama antara
pemerintah kabupaten dengan pemerintah desa. Dan andaikata, kabupaten merasa
bahwa desa sudah cukup mampu mengelola secara mandiri, selayaknyalah kabupaten
memfasilitasi untuk mengalihkan pengelolaan tersebut kepada desa.Kelima, adanya
kewenangan untuk menolak segala bantuan dari pemerintah diatasnya yang tidak
dikuti dengan pembiayaan yang sesuai, serta tidak sesuai dengan daya dukung
masyarakat desa dan kehendak masyarakat setempat. Tetapi, lagi-lagi harus
diikuti oleh adanya jaminan dari kabupaten bahwa penolakan tersebut bukan
sebagai upaya pembangkangan, sehingga tidak timbul penilaian negatif dari
kabupaten terhadap pemerintah desa. ( http://ruslidjamik.wordpress.com
). Dengan adanya kewenangan yang jelas dan tidak adanya intervensi dari
kecamatan maupun kabupaten, otonomi desa yang dicita-citakan kemungkinan besar
akan terwujud.
Oleh sebab itu, yang dibutuhkan saat
ini oleh desa adalah pengembalian otonomi desa seutuhnya, termaksud haknya sebagai
subyek hukum dari hak ulayat. Pengakuan desa sebagai badan yang menerima
kewenangan penyelenggaraan pemerintahan nasional hanyalah salah satu saja dari
sekian kebutuhan yang harus dipenuhi dalam otonomi penuh tersebut. hanya dengan
demikianlah ketengangan antara Negara dan desa dapat diselesaikan. Dengan cara
demikian pula, dualisme yang terjadi didesa selama ini dan yang telah merugikan
warga desa, dapat diselesaikan/ dihilangkan. Dengan pemberian otonomi penuh
itulah akan tercipta komunitas yang sehat dan hidup yang dibutuhkan bagi
kelangsungan keberadaan Negara ini dimasa-masa yang akan datang. (Gunawan dkk,
2005 : 345 ). Tentunya pengembalian otonomi desa itu di dukung oleh kapasitas
dari sumber daya manusia di desa, karena karena keberhasilan pengelolaan
otonomi desa sangat tergantung juga dari sumber daya manusia. Dengan hal
tersebut segala kewenangan yang dimiliki oleh desa dapat dikelola secara baik
dan maksimal dalam rangka mewudkan desa yang mandiri.
D. Kesimpulan
Berdasarkan hal tersebut diatas, tentang
gambaran dan realitas otonomi di
tingkat desa, Maka kita bisa mengambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Otonomi
desa pada dasarnya kewenangan yang dimiliki oleh desa untuk mengurus dan
mengelola desa tampa adanya campur tangan dari dari kecamatan, kabupaten maupun
pemerintah pusat.
2. Dalam
pelaksanaannya, pemaknaaan otonomi desa masih mengelami perdebatan dan
kesulitan dalam menentukan kedudukan, otonomi, dan menempatkan desa dalam
format pemerintahan local, hal tersebut Nampak jelas dengan adanya tarik
menarik kepentingan pusat maupun local ( kabupaten ) yang menempatkan desa
sebagai obyek dari kebijakan pemerintah. otonomi desa hanya dianggab sebagai
slogan atau hanya sekedar teoritis saja, Nampak jelas dengan adanya kewenangan
kewenangan yang dimiliki oleh desa sebahagian di intervensi oleh pemerintah
supra desa.
Kemudian hal lain yang masih
menjadi perdebatan bahwa menempatkan otonomi desa sama halnya dengan otonomi
yang dimiliki oleh kabupaten dan perdebatan tersebut sampai sekarang belum ada kepastian yang jelas format otonomi
desa.
3. Untuk
itu desa idealnya desa diberikan kewenangan yang lebih luas dan jelas. dan
memperjelas kedudukan desa dalam kerangka otonomi desa. Dengan didukung
kualitas sumber daya manusia didesa. Dengan seperti itu akan tercipta kehidupan
desa yang otonom dan mampu mengelola rumah tangganya sendiri.
Daftar Pustaka
Triputro, Widodo
dkk, 2005, Pembaharuan Otonomi Daerah, Yogyakarta : APMD
Musa’ad, Mohamad
Abdul, 2002, Penguatan Otonomi Daerah, Dibalik Bayang Bayang Disentegrasi ,
Bandung : ITB
Zakaria, R.
Yando, 2004, Merebut Negara, Yogyakarta Lapera
Eko, Sutoro Dkk, Manifesto Pembaruan Desa, 2005,
Yogyakarta, APMD Press
Gunawan, Jamil
dkk, 2005, Desentralisasi, Globalisasi dan Demokrasi Lokal, Yogyakarta : LP3ES
Sumber
Lain
http://ruslidjamik.wordpress.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar