A. Latar Belakang
Ide pemilihan kepala
daerah secara langsung muncul kerena kebijakan desentralisasi luas yang
dicanankan melalui Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 yang semestinya ditujukan
untuk memperbaiki iklim demokrasi, dinilai belum cukup member peluang bagi
berkembangnya partisipasi masyarakat terhadap proses kebijakan public daerah.
Pelaksanaan UU No 22 tahun 1999 tersebut banyak ditafsirkan secara sempit oleh
para penyelenggara pemerintahan di daerah bahwa otonomi ada di tangan
pemerintah daerah bukan pada rakyat di daerah. Akibatnya, muncul gagasan
tentang perlunya pemilu dan parpol local sebagai instrument demokrasi yang
memang sama sekali tidak di atur dalam UU otonomi 22/1999 tersebut. secara
konseptual penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah langsung ini dapat dikatakan sebagai terobosan yang sangat besar
dan berani karena sesungguhnya masih banyak yang harus dipersiapkan sebelum hal
itudiberlakukan. Suasana psikologis yang mendorong ide tersebut sebanarnya
harus dipahami terlebih dahulu, mengapa timbul tuntutan untuk menerapkan
demokrasi politik secara langsung didaerah. Hal ini adalah bentuk dari
ketidakpercayaan masyarakat terhadap keberadaan politik nasional sehingga yang
lebih diharapkan adalah munculnya partai local yang bukan merupakan kepanjangan
tangan dari partai-partai tingkat nasional. Dinamika dan heteroginitas local
yang mencerminkan aspirasi riil didaerah akan lebih terakomodir dengan
keberadaan partai-partai local yang lebih independen.[1]
Upaya pemerintah diera reformasi sebenarnya patut dihargai
terumata tekatnya untuk menghidupkan demokrasi. Komitmen tersebut ditujukan
dengan keputusan untuk mengadopsi mekanisme pemilihan kepala daerah ( Pilkada )
secara langsung yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Hal ini
merupakan salah satu langkah maju dalam kebijakan desentralisasi dan proses
demokratisasi diIndonesia. Dorongan untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah
secara langsung ini antar lain karena mekanisme demokrasi secara tidak langsung
belum menjamin terakomodasinya aspirasi rakyat dalam memilih calon
pemimpinnya.mekanisme pemilihan kepala daerah tidak langsung hanya
menguntungkan sekelompok elit politik yang berorentasi pada kepetingan jangka
pendek. Namun dalam perjalannya, mekanisme pemilihan kepala daerah secara
langsung itu juga tidak dapat memuaskan masyarakat didaerah. Fenomena jual beli
partai menjadi suatu trend politik didaerah hingga pusat. Tidak sedikit partai
politik yang secara terang-terangan mematok harga bagi setiap calon yang
berminat mengikuti kovensi. Siapa yang mampu membeli dengan harga tertinggi dapat
dipastikan dia akan mendapat rekomendasi pengurus pusat dan dengan rekomendasi
pusat tersebut diharapkan seluruh pengurus wilayah dan cabang hingga ke
ranting-ranting akan mengikuti rekomendasi tersebut.[2]
Menjelang pelaksanaan
Pilkada langsung kali pertama pada juni 2005, perbedaan pandangan terhadap
materi UU No 32/2004 cukup tajam. Prinsipnya, mereka yang pro dan kontra
terhadap materi menyetujui system pilkada langsung. Yang musti di tangkap
adalah bahwa secara hukum sekarang tersedia ruang bagi rakyat untuk langsung
menunjukan kedaulatan dalam memilih pemimpinnya. Aspirasi rakyat tidak dimanipulasi,tidak diplintir dan tidak
dikadalin. System pemilihan langsung bukan sekedar kemenangan demokrasi
partisipatoris dari demokrasi elite dalam pusaran arus perubahan politik di
Indonesia, lebih dari itu merupakan pondasi bagi bangunan demokrasi politik
daerah.[3]
Pemilihan kepala daerah
dan Wakil Kepala daerah, baik Gubernur dan wakil Gubernur, maupun Bupati/
Walikota, wakil Bupati/ walikota, secara langsung oleh rakyat merupakan
perwujudan pengembalian “ hak-hak dasar “ rakyat dalam memilih pemimpin di
daerah. Dengan itu rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan
pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tampa intervensi ( Otonom ),
seperti mereka memilih Presiden da Wakil Presiden dan wakil-wakilnya di lembaga
legislative ( Dewan Perwakilan rakyat/ DPR, Dewan Perwakilan Daerah/ DPR, dan
Dewan perwakilan Rakyat Daerah/ DPRD dalam pemilu 2004.[4]
Axel Hadenius( 1992 :
42 )dalam Aurel Croissant mengatakan bahwa suatu pemilu, termaksud pilkada
langsung di sebut demokrasi kalau memiliki “ Makna “. Istilah bermakna merujuk
pada tiga criteria, yaitu ( 1 ) keterbukaan, ( Ketepatan ) dan ( 3 ) keektifan
pemilu. Ketiga criteria tersebut harus di penuhi bukan hanya pada saat
pemungutan suara saja, malainkan juga sewaktu dilakukan kampaye dan
menghitungan suara.[5]
Para pendukung system
pemilihan langsung acapkali menyetarakan pesona system tersebut dengan pesona
desentralisasi atau otonomi daerah, yang menyentuh aspek pemilih, system
politik dan bahkan autput system politik. Adapun pesona-pesona tersebut antara
lain :
1.
Pendidikan politik rakyat
Pilkada langsung memberikan
pemahaman kepada masyarakat tentang peran debat public, sistem seleksi calon
dan pentingnya program kerja ( visi dan Misi ), kebijakan, perencanaan dan
anggaran dalam suatu sistem demokrasi. Dari proses pendidikan yang berlangung
secara efektif dan terus menerus tersebut, dua tujuan dapat di ciptakan. Di
satu sisi, rakyat semakin rasional baik dalam memilih calon maupun menyikapi
proses pilkada.pemilih yang rasional akan menghindari keputusan untuk memilih
calon yang sama sekali tidak kompeten atau bahkan tidak bermoral. Mereka juga
tidak mudah di mobilisasi dalam kegiatan-kegiatan kampaye. Di lain sisi,
generasi muda akan berkehendak meniti karier di bidang politik juga mendorong
mempersiapkan diri dalam meraih jabatan-jabatan politik, seperti Kepala Daerah
dan anggota legislative daerah.
2.
Kanca pelatihan ( training ground ) dan
pengembangan demokrasi.
Pilkada secara langsung merupakan
kanca pelatihan ( training ground ) dan pengembangan demokrasi dalam sebuah
Negara.pengalaman di Negara-negara federal menunjukan hasil pemilu parlemen
local dan pilkada berpengaruh terhadap pusat.[6]
Secara umum dapat di
maklumi bahwa kebutuhan dana dalam pilkada langsung lebih besar daripada
pilkada tak langsung. Namun pilkada tak langsung ( pengangkatan, pemilihan,
Perwakilan semu, dan pemilihan Perwakilan oleh DPRD ) akan akan menghasilkan
kepala daerah yang kurang legitimate walaupun efesiensi biayanya tinggi.
Sebaliknya, pilkada langsung oleh rakyat akan melahirkan kepala daerah yang
legitimasinya besar tetapi efesiensi pembiayaannya rendah. Penyebab besarnya
dana pilkada langsung adalah antara lain karena :
1.
Melibatkan seluruh komponen masyarakat,
baik sebagai pemilih, penyelenggara, pengawas dan pemantau di KPPS, PPS, PPK
sampai KPUD. Kebutuhan untuk honorarium atau uang kehormatan untuk
penyelenggara dan pengawas jumlahnya tidak kecil.
2.
Pembiayaan kebutuhan operasional,
pengamanan, pengadaan dan penditribusian logistic, transportasi, komunikasi, dan
sebagainya.
Besarnya kebutuhan dana untuk
pilkada langsung pun sesungguhnya bervariasi yang di pengaruhi oleh sistem yang
dipilih. Hubungan antara sistem pilkada langsung dan pembiayaan selalu
merupakan trade of antara “ legitimasi dan “ efesiensi. Sebaliknya kalau
semata-mata mengandalkan efesiensi akan melahirkan pemilihan yang legitimasinya
sangat rendah. Biaya akan semakin besar besar jika di tambah dengan kontribusi
masyarakat dalam pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
a.
Sistem two round system memang akan
menghasilkan kepala daerah yang maksimal akan tetapi memerlukan biaya dan
waktu.
b.
Sistem firs past the post memiliki
legitimasi sangat rendah tapi sangat efesien. Bisa jadi kepala daerah yang
menang hanya memperoleh suara kemenangan tipis
c.
Sistem approval sebanarnya menjadi
penengah dari kedua sistem di atas. Model ini
tidak rumit dan dilakukan hanya
satu kali putaran. Tapi karena seperti multiple choice, tidak semua orang bisa memahami bahwa seorang
bisa memilih 2 atau 3 calon sekaligus.[7]
Dalam penyelenggaraan
pilkada langsung, pendanaan dibebankan pada daerah melalui APBD ( Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daeah). Sementara bagi daerah pelaksanaan pilkada
langsung tahun 2005 pendanaan dibebankan pada APBD dan APBN ( anggaran
pendapatan dan Belanja. Selengkapnya ketentuan tersebut di kutip dibawah ini.
Pasal 112 UU No. 32/ 2004
menyebutkan : “ biaya kegiatan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
dibebankan pada APBD”
Sedangkan
pasal 234 ayat ( 3 ) UU No.32/ 2004 menyatkan “ pendanaan kegiatan kepala
daerah dan wakil kepala daerah yang di selenggarakan pada tahun 2005 dibebankan
kepada APBN dan APBD”.
Konteks
ketentuan dalam pasal 234 Ayat ( 3) adalah transisi implementasi perundangan
sehingga dimungkinkan pembebanan pada daerah dan pusat yang merupakan kebijakan
yang bersifat transisi pula. Aturan permanen sebenarnya pendanaan pilkada
langsung dibebankan daerah. Sementara bantuan pusat dalam pilkada langsung
tahun 2005 berupa pengganti atas “ sebagian pendanaan yang dianggarkan dalam
APBD dan langsung disalurkan ke kas daerah.[8]
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas maka proposal penelitian ini dilakukan untuk disusun
dalam melakukan evaluasi kebijakan terhadap muatan isi Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 tentang otonomi Daerah yang membuat tentang pemilihan Kepala Daerah
secara langsung. Adapun yang menjadi permasalahan sebagai titik pijak adalah “ “Bagaimana isi Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 memuat pemilihan Kepala Daerah
secara langsung”?
C.
Tujuan Penelitian.
Adapun
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Menjelaskan isi yang terdapat dalam
Undang –Undang Nomor 32 tahun 2004, yang memuat tentang pemilihan kepala daerah
secara langsung.
2.
Memberikan rekomendasi terhadap
penyusunan revisi UU/32/2004 tentang Pemerintah Daerah, yang memuat tentang
pemilihan kepala daerah secara langsung.
D.
Kerangka
Pemikiran
a. Pilkada Langsung
Konsep
pilkada langsung merupakan system yang dianggab paling demokratis Karen rakyat
memilih secara langsung kepala Daerah sehingga legistimasi terhadap proses dan
hasil pemilihan sangat besar. Sehingga masyarakat mampu dan mempunyai keluasaan
untuk mengontrol jalannya kepemimpinan dan pemerintahan. Oleh karena itu
pemilihan kepala daerah secara langsung diniatkan sebagai upaya
mendemokratisasikan kehidupan berbangsa-bernegara di tingkat lokall. Peumbuhan
demokrasi di tingkat local ini merupakan iktiar untuk menacari pemimpin local
yang memiliki legitimasi kuat, demokratis dan representative.[9]
Pilkada
langsung merupakan mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin daerah,
dimana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih
calon-calon bersaing dalam sutatu medan permainan dengan aturan main yang sama.
Pilkada langsung dapat disebut pemilu apabila kedua prasarat dasar tersebut
diterjemahkan dengan berbagai tahapan kegaiatan dan penunjang tahapan kegiatan
yang terbuka ( transpaaran ) dan dapat dipertanggung jawabkan ( accountable ).[10]
Pilkada
merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang
mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik gubernur/ Wakil Gubernur maupun
Bupati/ Wakil Bupati atau Walikota/ Wakil Walikota. Dalam kehidupan politik
didaerah, pilkada merupakan salah satu kegiatan, yang nilainya equivalen dengan
pemilihan anggota DPRD. Ekuivalensi tersebut ditujukan dengan kedudukan yang
sejajar antara kepala daerah dan DPRD. Hubungan kemitraan dijalankan dengan
cara melaksanakan fungsi masing-masing sehingga terbentuk mekanisme check dan
balance. Oleh sebab itu pilkada sesungguhnya bagian dari sistem politik
didaerah.[11]
Axel Hadenius ( 1992 : 42 ) dalam Aurel
Croissant mengatakan bahwa suatu pemilu, termaksud pilkada langsung, disebut
demokratis kalau memiliki makna. Istilah “ bermakna “ meurujuk pada tiga
criteria, yaitu (1)keterbukaan, (2) ketepatan dan (3)keefektifan pemilu. Ketiga
criteria tersebut harus dipenuhi bukan hanya pada saat pemungutan suara saja,
malainkan juga sewaktu dilakukan kampaye dan penghitungan suara.[12]
Pilkada
langsung dapat disebut kompetitif apabila secara hukum( dejure ) dan kenyataan
( de facto ) tidak menetapkan pembatasan dalam rangka menyingkirkan calon-calon
atau kelompok tertentu atas dasar alasan-alasan politik. Pembatasan merupakan
diskriminasi dan bertentangan dengan prinsip keadilan demokrasi dan kesamaan di
depan hokum. Lebih jauh lagi, dalam kompetesi pilkada langsung pemilih harus
memiliki pilihan diantara berbagai alternative politik yang bermakna atau calo-calon yang layak; syarat kompetesi harus
berlaku sama bagi seluruh calon, dalam pengertian ‘satu medan permainan yang
sama’ ( Eklit dan Svenson, 1997: 32 ).[13]Hubungan
antara pilkada langsung dan kedaulatan rakyat
menggiring kita untuk melihat kelebihan pilkada langung. Berikut ini dipaparkan
beberapa kelebihan pilkada langsung :
1.
Kepala daerah terpilih akan memiliki
mandate dan legitimasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat yang
memberikan suara secara langsung. Legitimasi merupakan hal yang sangat
diperlukan oleh suatu pemerintahan yang sedang mengalami krisis politik dan
ekonomi. Krisis legitimasi yang telah menggoroti kepemimpinan atau kepala
daerah akan mengakibatkan ketidakstabilan politik dan ekonomi didaerah.
2.
Kepala daerah terpilih tidak perlu
terikat pada konsensi partai-partai atau fraksi-fraksi yang telah
mencalonkannya. Artinya, kepala daerah terpilih berada diatas segala
kepentingan dan dapat menjembatani berbagai kepentingan tersebut. Apabila
kepala daerah terpilih tidak dapat mengatasi kepentingan-kepentingan partai
politik, maka kebijakan yang diambil cenderung merupakan kompromi kepentigan
partai-partai dan acapkali bersebrangan dengan kepentingan rakyat. Kebutuhan
pemerintah daerah sekarang adalah kebijakan public yang benar-benar berpihak
pada rakyat.
3.
Sistem pilkada langsung lebih akuntabel
disbanding sistem lain yang selama ini digunakan kerana rakyat tidak harus menitipkan suaranya kepada anggota
legislative atau electoral college secara sebagian atau penuh. Rakyat dapat
menentukan pilihannya berdasarkan kepentingan dan penilaian atas calon. Apabila
kepala daerah terpilih tidak memenuhi harapan masyarakat, maka dalam pemilihan
berikutnya, calon yang bersangkutan tidak akan dipilih kembali. Prinsip ini merupakan pengawasan serta
akuntabilitas yang paling sederhana dan dapat dimengerti baik oleh rakyat
maupun politisi.
4.
Check and balance antara lembaga
legislative dan eksekutif dapat lebih seimbang
5.
Criteria calon kepala daerah dapat
dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya.[14]
Sebagai
suatu sistem, sistem pilkada mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem
sekunder ( secondary system ) atau sub-sub sistem ( subsystems). Bagian-bagian
tersebut adalah electoral regulation, electoral proses dan electoral law
enforcemen. Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai
pilkada langsung yang berlaku, yang bersifat mengikat dan menjadi pedomanan
bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi
masing-masing. Electoral proses dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait
secara langsung dengan pilkada yang
merujuk pada ketentuan perundang-undangan yang baik yang bersifat legal
maupun teknikal. Electoral law enforcemen yaitu penegakan hokum terhadap
aturan-aturan pilkada baik politis, administrative atau pidana. Ketiga bagian
pilkada langsung tersebut sangat menentukan sejauhmana kapasitas sistem
menjembatani pencapaian tujuan dari proses awalnya. Masing-masing bagian tidak
dapat dipisahkan karena merupakan suatu kesatuan utuh yang komplementer.[15]
Kemudian asas yang dipakai dalam pilkada langsung
sama persis dengan asas yang dipakai dalam pemilu 2004, yakni langsung umum,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Rumusan mengenai asas-asas pilkada
langsung tertuang dalam pasal 56 ayat (1) UU No 32/2004 dan ditegaskan kembali
pada pasal 4 ayat ( 3 ) PP No 6/2005. Selengkapnya bunyi pasal 56 ayat ( 1)
berbunyi :
“
Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil “
Dengan
asas-asas tersebut, dapat dikatakan bahwa pilkada langsung di Indonesia telah
menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku umum dalam rekrutmen pejabat public
atau pejabat politik yang terbuka. Adapun mengertian asas-asas tersebut adalah
sebagai berikut :
1.
Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai
hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati
nuraninya, tampa perantara.
2.
Umum
Pada dasarnya semua warga Negara
yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundangan berhak mengikuti
pilkada. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang
berlaku menyeluruh bagi semua warga Negara, tampa diskriminasi berdasarkan
suku, agama ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status
social.
3.
Bebas
Setiap warga Negara yang berhak
memilih bebas menentukan pilihan tampa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam
melaksanakan haknya, setiap warga Negara dijamin keamanannya sehingga memilih
sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.
4.
Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih
dijamin dan dipilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan
jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat
dietahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya diberikan.
5.
Jujur
Dalam penyelenggaraan pilkada,
setiap penyelenggara pilkada, aparat pemerintah, calon/peserta pilkada,
pengawas pilkada, pemantau pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait
harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6.
Adil
Dalam penyelenggara pilkada, setiap
pemilih dan calon/ peserta pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas
dari kecurangan pihak manapun.[16]
Kegiatan pilkada langsung dilaksanakan dalam 2
tahap, yakni masa persiapan dan tahap pelaksanaan. Sebagaimana yang dikatakan
dalam pasal 65 ayat ( 1), pilkada dilaksanakan melalui masa persiapan dan tahap
pelaksanaan. Masing-masing tahap dilakukan berbagai kegiatan yang merupakan
proses pilkada langsung. Pelaksanaan tahapan kegiatan tidak dapat
melompat-lompat. Dalam pasal 65 ayat (2) disebutkan kegiatan-kegiatan yang
tercakup dalam masa persiapan, yakni :
a.
Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah
mengenai berakhirnya masa jabatan;
b.
Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai
berakhirnya masa jabatan kepala daerah;
c.
Perencanaan penyelenggaraan, meliputi
penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah;
d.
Pembentukan panitia Pengawas, PPK, PPS,
dan KPPS;
e.
Pembentukan dan pendaftaran pemantau.
Dalam kegiatan masa persiapan,
keterlibatan rakyat sangat menonjol dalam pembentukan panitia pengawas, PPK,
PPS dan KPPS. Rakyat memiliki akses untuk memantau melalui mekansime uji public
namun pendaftaran diri sebagai anggota panitia pengawas, PPK, PPS dan KPPS.
Sementara itu tahap pelaksanaan terdiri dari 6 kegiatan, yang masing-masing
merupakan rangkaian yang saling terkait. Sesuai pasal 65 ayat ( 3 ) tahap
pelaksanaan pilkada meliputi :
a.
Penetapan daftar pemilih;
b.
Pendaftaran dan penetapan calon kepala
daerah/ Wakil kepala daerah;
c.
Kampaye;
d.
Pemungutan suara
e.
Penghitungan suara; dan
f.
Penetapan pasangan calon kepala daerah/
wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan.[17]
b. Metodologi Penelitian
Dalam penelitan ini yang digunakan
sebagai obyek penelitian adalah Undang-Undang Nomor 42 tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah yang memuat pemilihan kepala daerah secara secara langsung. Yang
menjadi focus dalam penelitian ini adalah tentang pemilihan Kepala Daerah
secara langsung.
Jenis penelitian dalam penelitian
terhadap Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 adalah penelitan kualitatif.
E. Unit Analisis Dan Kategorisasi
No
|
Unit Analisis
|
Kategorisasi
|
1
|
Mekanisme Penyelenggaraan Pilkada
|
1.
KPU
Pusat
2.
KPUD
3.
Pengawas
|
2
|
Mekanisme persyaratan
|
1. Persyaratan Umum
2. Persyaratan Khusus
3. Partai Politik/Partai Politik
Gabungan
4. Persentase Suara
|
3
|
Proses Penetapan Pemilih
|
1. Pesryaratan Umum
2. Persyaratan Khusus
|
4
|
Mekanisme Kampaye
|
1. Alat Peraga
2. Pendanaan
3. Hal-hal yang dilarang dalam
kampaye
4. Anggota yang terlibat dalam
kampaye
|
5
|
Memungutan Suara
|
1. KPUD
2. KPPS
|
6
|
Mekanisme Penetapan Calon
Terpilih dan Pelantikan
|
1. KPUD
2. DPRD
3. Persentase Jumlah suara
|
7
|
Mekanisme Pemantauan Pemilihan
|
1. Lembaga Independent
2. Lembaga Non Independent
|
8
|
Ketentuan Pidana
|
1. Denda
2. Hukuman
|
9
|
Asas Pilkada
|
1. Langsung
2. Umum
3. Bebas
4. Rahasia
5. Jujur
6. Adil
|
F. Defenisi Operasional
1.
Mekanisme penyelenggaraan pilkada
merupakan tata cara penyelenggaraan yang dalam penyelenggaraannya itu harus
dilakukan oleh lembaga penyelenggara pilkada.adapun lembaga penyelenggara
pilkada tersebut adalah KPU dan KPUD
2.
Mekanisme persyaratan merupakan hal-hal
yang menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk mencalonkan menjadi kepala
daerah dan wakil kepala daerah. Adapun yang menjadi unit kategori dalam
penelitian ini adalah persyaratan umum, khusus, gabungan partai dan persentase
suara
3.
Proses penetapan pemilih merupakan tata
cara seseorang yang ikut dalam pilkada untuk bisa ikut pilkada setelah memenuhi
persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan oleh lembaga penyelenggara
pemilihan.adapun kategorisasinya dalam penelitian ini meliputi pesyaratan umum
dan peseyaratan khusus.
4.
Mekanisme kampaye merupakan tata cara
kampaye yang boleh dilakukan dan dilarang oleh seseorang yang sudah ditetapkan
untuk ikut pilkada, tata cara ini meliputi
alat peraga,pendanaan dan hal-hal yang dilarang dalam kampaye dan anggota
yang terlibat dalam kampanye
5.
Pemungutan suara merupakan tehknik
pengambilan suara yang dilakukan setelah pelaksanaan kampaye yang dilakukan
oleh masing-masing pasangan calon yang diselenggarakan oleh KPUD dan KPPS
dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
6.
Mekanisme penetapan calon terpilih dan
pelantikan merupakan tata cara atau ketentuan yang dilakukan setelah pemungutan
suara dengan melihat persentase yang memenuhi pasangan calon kepala daerah
untuk bisa ditetapkan sebagai calon terpilih. Hal ini dilakukan oleh KPUD dan
DPRD
7.
Mekanisme Pemantauan Pemilihan merupakan tata cara atau ketentuan yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga tertentu yang di tunjuk untuk memantau
pelaksanaan pemungutan suara jika terjadi penyelewengan-penyelewengan dalam
proses pemungutan suara dan penetapan calon terpilih.
8.
Ketentuan pidana merupakan tindak lanjut
terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pasangan calon baik dalam
kampaye maupun dalam proses pemungutan suara. Tindak lanjut tersebut dapat
berupa denda atau hukuman yang ditetapkan oleh lembaga hokum yang ada.
9.
Asas pilkada merupakan dasar hukum atau
landasan yang mengatur pemilihan suara bagi para pemilih. Dasar hokum atau
landasan ini menyatakan bahwa seorang pemilih harus bebas dari
intrevensi-intervensi dari pasangan calon yang berusaha menggiring atau
mengkosentrasikan seorang pemilih untuk memilih pasangan calon tersebut.
Daftar
Pustaka
Prihatmoko,Joko J, 2005 Pemilihan Kepala
Daerah Langsung, Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan Di Indoensia, pustaka
pelajar. Yogyakarta
Pramusinto, Agus, Erwan Agus Purwanto dkk,2009 Reformasi Birokrasi,
Kepemimpinan dan pelayanan Publik, Kajian Tentang pelaksanaan otonomi Daerah di Indoensia, Gava Media,
Yoyyakarta hlm 184
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung,
Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan Di Indoensia,2005, pustaka pelajar.
Yogyakarta,
[1]
Agus Pramusinto, Erwan Agus Purwanto dkk,
Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan pelayanan Publik, Kajian Tentang
pelaksanaan otonomi Daerah di Indoensia,2009,
Gava Media, Yoyyakarta hlm 184
[2]
Joko j Prihatmojo.2008 Mendemokratiskan Pemilu dari sistem sampai elemen
teknis, pustaka pelajar. Yogyakarta Hlm 158-160
[3]Joko
J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Filosofi, Sistem dan Problema
Penerapan Di Indoensia,2005, pustaka pelajar. Yogyakarta, hlm 98,hlm 34
[4]
ibid hlm 98
[5]
ibid hlm 112
[6]
ibid, hlm 134
[7]
ibid, hlm 290-291
[8]
ibid, hlm 292
[9]
Harian Kompas tanggal 30 Maret 2005
[10]
Joko j Prihatmojo. Op.cip Hlm 100
[11]
Ibid Hlm 100
[12] Op.cip Hlm 112
[13]
Opcip hlm113
[14]
Op.cip Hlm 132
[15]
Op.cip 203
[16]
Op.cip hlm 207-208
[17]
Ibid Hlm 210-211
Tidak ada komentar:
Posting Komentar