Mengenai Saya

Foto saya
Berani, Disiplin,Profesional dan Suka Tantangan

Jumat, 28 Oktober 2011

Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung DI Indonesia (Analisis Isi UU Nomor 32 Tahun 2004 )


A.  Latar Belakang
Ide pemilihan kepala daerah secara langsung muncul kerena kebijakan desentralisasi luas yang dicanankan melalui Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 yang semestinya ditujukan untuk memperbaiki iklim demokrasi, dinilai belum cukup member peluang bagi berkembangnya partisipasi masyarakat terhadap proses kebijakan public daerah. Pelaksanaan UU No 22 tahun 1999 tersebut banyak ditafsirkan secara sempit oleh para penyelenggara pemerintahan di daerah bahwa otonomi ada di tangan pemerintah daerah bukan pada rakyat di daerah. Akibatnya, muncul gagasan tentang perlunya pemilu dan parpol local sebagai instrument demokrasi yang memang sama sekali tidak di atur dalam UU otonomi 22/1999 tersebut. secara konseptual penyelenggaraan  pemilihan kepala daerah langsung ini dapat dikatakan sebagai terobosan yang sangat besar dan berani karena sesungguhnya masih banyak yang harus dipersiapkan sebelum hal itudiberlakukan. Suasana psikologis yang mendorong ide tersebut sebanarnya harus dipahami terlebih dahulu, mengapa timbul tuntutan untuk menerapkan demokrasi politik secara langsung didaerah. Hal ini adalah bentuk dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap keberadaan politik nasional sehingga yang lebih diharapkan adalah munculnya partai local yang bukan merupakan kepanjangan tangan dari partai-partai tingkat nasional. Dinamika dan heteroginitas local yang mencerminkan aspirasi riil didaerah akan lebih terakomodir dengan keberadaan partai-partai local yang lebih independen.[1]
Upaya pemerintah  diera reformasi sebenarnya patut dihargai terumata tekatnya untuk menghidupkan demokrasi. Komitmen tersebut ditujukan dengan keputusan untuk mengadopsi mekanisme pemilihan kepala daerah ( Pilkada ) secara langsung yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Hal ini merupakan salah satu langkah maju dalam kebijakan desentralisasi dan proses demokratisasi diIndonesia. Dorongan untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung ini antar lain karena mekanisme demokrasi secara tidak langsung belum menjamin terakomodasinya aspirasi rakyat dalam memilih calon pemimpinnya.mekanisme pemilihan kepala daerah tidak langsung hanya menguntungkan sekelompok elit politik yang berorentasi pada kepetingan jangka pendek. Namun dalam perjalannya, mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung itu juga tidak dapat memuaskan masyarakat didaerah. Fenomena jual beli partai menjadi suatu trend politik didaerah hingga pusat. Tidak sedikit partai politik yang secara terang-terangan mematok harga bagi setiap calon yang berminat mengikuti kovensi. Siapa yang mampu membeli dengan harga tertinggi dapat dipastikan dia akan mendapat rekomendasi pengurus pusat dan dengan rekomendasi pusat tersebut diharapkan seluruh pengurus wilayah dan cabang hingga ke ranting-ranting akan mengikuti rekomendasi tersebut.[2]
Menjelang pelaksanaan Pilkada langsung kali pertama pada juni 2005, perbedaan pandangan terhadap materi UU No 32/2004 cukup tajam. Prinsipnya, mereka yang pro dan kontra terhadap materi menyetujui system pilkada langsung. Yang musti di tangkap adalah bahwa secara hukum sekarang tersedia ruang bagi rakyat untuk langsung menunjukan kedaulatan dalam memilih pemimpinnya. Aspirasi rakyat tidak  dimanipulasi,tidak diplintir dan tidak dikadalin. System pemilihan langsung bukan sekedar kemenangan demokrasi partisipatoris dari demokrasi elite dalam pusaran arus perubahan politik di Indonesia, lebih dari itu merupakan pondasi bagi bangunan demokrasi politik daerah.[3]
Pemilihan kepala daerah dan Wakil Kepala daerah, baik Gubernur dan wakil Gubernur, maupun Bupati/ Walikota, wakil Bupati/ walikota, secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan pengembalian “ hak-hak dasar “ rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. Dengan itu rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tampa intervensi ( Otonom ), seperti mereka memilih Presiden da Wakil Presiden dan wakil-wakilnya di lembaga legislative ( Dewan Perwakilan rakyat/ DPR, Dewan Perwakilan Daerah/ DPR, dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah/ DPRD dalam pemilu 2004.[4]
Axel Hadenius( 1992 : 42 )dalam Aurel Croissant mengatakan bahwa suatu pemilu, termaksud pilkada langsung di sebut demokrasi kalau memiliki “ Makna “. Istilah bermakna merujuk pada tiga criteria, yaitu ( 1 ) keterbukaan, ( Ketepatan ) dan ( 3 ) keektifan pemilu. Ketiga criteria tersebut harus di penuhi bukan hanya pada saat pemungutan suara saja, malainkan juga sewaktu dilakukan kampaye dan menghitungan suara.[5]
Para pendukung system pemilihan langsung acapkali menyetarakan pesona system tersebut dengan pesona desentralisasi atau otonomi daerah, yang menyentuh aspek pemilih, system politik dan bahkan autput system politik. Adapun pesona-pesona tersebut antara lain :
1.      Pendidikan politik rakyat
Pilkada langsung memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang peran debat public, sistem seleksi calon dan pentingnya program kerja ( visi dan Misi ), kebijakan, perencanaan dan anggaran dalam suatu sistem demokrasi. Dari proses pendidikan yang berlangung secara efektif dan terus menerus tersebut, dua tujuan dapat di ciptakan. Di satu sisi, rakyat semakin rasional baik dalam memilih calon maupun menyikapi proses pilkada.pemilih yang rasional akan menghindari keputusan untuk memilih calon yang sama sekali tidak kompeten atau bahkan tidak bermoral. Mereka juga tidak mudah di mobilisasi dalam kegiatan-kegiatan kampaye. Di lain sisi, generasi muda akan berkehendak meniti karier di bidang politik juga mendorong mempersiapkan diri dalam meraih jabatan-jabatan politik, seperti Kepala Daerah dan anggota legislative daerah.
2.      Kanca pelatihan ( training ground ) dan pengembangan demokrasi.
Pilkada secara langsung merupakan kanca pelatihan ( training ground ) dan pengembangan demokrasi dalam sebuah Negara.pengalaman di Negara-negara federal menunjukan hasil pemilu parlemen local dan pilkada berpengaruh terhadap pusat.[6]
Secara umum dapat di maklumi bahwa kebutuhan dana dalam pilkada langsung lebih besar daripada pilkada tak langsung. Namun pilkada tak langsung ( pengangkatan, pemilihan, Perwakilan semu, dan pemilihan Perwakilan oleh DPRD ) akan akan menghasilkan kepala daerah yang kurang legitimate walaupun efesiensi biayanya tinggi. Sebaliknya, pilkada langsung oleh rakyat akan melahirkan kepala daerah yang legitimasinya besar tetapi efesiensi pembiayaannya rendah. Penyebab besarnya dana pilkada langsung adalah antara lain karena :
1.      Melibatkan seluruh komponen masyarakat, baik sebagai pemilih, penyelenggara, pengawas dan pemantau di KPPS, PPS, PPK sampai KPUD. Kebutuhan untuk honorarium atau uang kehormatan untuk penyelenggara dan pengawas jumlahnya tidak kecil.
2.      Pembiayaan kebutuhan operasional, pengamanan, pengadaan dan penditribusian logistic, transportasi, komunikasi, dan sebagainya.
Besarnya kebutuhan dana untuk pilkada langsung pun sesungguhnya bervariasi yang di pengaruhi oleh sistem yang dipilih. Hubungan antara sistem pilkada langsung dan pembiayaan selalu merupakan trade of antara “ legitimasi dan “ efesiensi. Sebaliknya kalau semata-mata mengandalkan efesiensi akan melahirkan pemilihan yang legitimasinya sangat rendah. Biaya akan semakin besar besar jika di tambah dengan kontribusi masyarakat dalam pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
a.       Sistem two round system memang akan menghasilkan kepala daerah yang maksimal akan tetapi memerlukan biaya dan waktu.
b.      Sistem firs past the post memiliki legitimasi sangat rendah tapi sangat efesien. Bisa jadi kepala daerah yang menang hanya memperoleh suara kemenangan tipis
c.       Sistem approval sebanarnya menjadi penengah dari kedua sistem di atas. Model ini  tidak rumit dan dilakukan  hanya satu kali putaran. Tapi karena seperti multiple choice,  tidak semua orang bisa memahami bahwa seorang bisa memilih 2 atau 3 calon sekaligus.[7]
Dalam penyelenggaraan pilkada langsung, pendanaan dibebankan pada daerah melalui APBD ( Anggaran Pendapatan dan Belanja Daeah). Sementara bagi daerah pelaksanaan pilkada langsung tahun 2005 pendanaan dibebankan pada APBD dan APBN ( anggaran pendapatan dan Belanja. Selengkapnya ketentuan tersebut di kutip dibawah ini.
            Pasal 112 UU No. 32/ 2004 menyebutkan : “ biaya kegiatan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibebankan pada APBD”
Sedangkan pasal 234 ayat ( 3 ) UU No.32/ 2004 menyatkan “ pendanaan kegiatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang di selenggarakan pada tahun 2005 dibebankan kepada APBN dan APBD”.
Konteks ketentuan dalam pasal 234 Ayat ( 3) adalah transisi implementasi perundangan sehingga dimungkinkan pembebanan pada daerah dan pusat yang merupakan kebijakan yang bersifat transisi pula. Aturan permanen sebenarnya pendanaan pilkada langsung dibebankan daerah. Sementara bantuan pusat dalam pilkada langsung tahun 2005 berupa pengganti atas “ sebagian pendanaan yang dianggarkan dalam APBD dan langsung disalurkan ke kas daerah.[8]
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka proposal penelitian ini dilakukan untuk disusun dalam melakukan evaluasi kebijakan terhadap muatan isi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi Daerah yang membuat tentang pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Adapun yang menjadi permasalahan sebagai titik pijak adalah “ “Bagaimana isi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004  memuat pemilihan Kepala Daerah secara langsung”?
C.     Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Menjelaskan isi yang terdapat dalam Undang –Undang Nomor 32 tahun 2004, yang memuat tentang pemilihan kepala daerah secara langsung.
2.      Memberikan rekomendasi terhadap penyusunan revisi UU/32/2004 tentang Pemerintah Daerah, yang memuat tentang pemilihan kepala daerah secara langsung.
D.    Kerangka Pemikiran
a.    Pilkada Langsung
Konsep pilkada langsung merupakan system yang dianggab paling demokratis Karen rakyat memilih secara langsung kepala Daerah sehingga legistimasi terhadap proses dan hasil pemilihan sangat besar. Sehingga masyarakat mampu dan mempunyai keluasaan untuk mengontrol jalannya kepemimpinan dan pemerintahan. Oleh karena itu pemilihan kepala daerah secara langsung diniatkan sebagai upaya mendemokratisasikan kehidupan berbangsa-bernegara di tingkat lokall. Peumbuhan demokrasi di tingkat local ini merupakan iktiar untuk menacari pemimpin local yang memiliki legitimasi kuat, demokratis dan representative.[9]
Pilkada langsung merupakan mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin daerah, dimana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon bersaing dalam sutatu medan permainan dengan aturan main yang sama. Pilkada langsung dapat disebut pemilu apabila kedua prasarat dasar tersebut diterjemahkan dengan berbagai tahapan kegaiatan dan penunjang tahapan kegiatan yang terbuka ( transpaaran ) dan dapat dipertanggung jawabkan ( accountable ).[10]
Pilkada merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik gubernur/ Wakil Gubernur maupun Bupati/ Wakil Bupati atau Walikota/ Wakil Walikota. Dalam kehidupan politik didaerah, pilkada merupakan salah satu kegiatan, yang nilainya equivalen dengan pemilihan anggota DPRD. Ekuivalensi tersebut ditujukan dengan kedudukan yang sejajar antara kepala daerah dan DPRD. Hubungan kemitraan dijalankan dengan cara melaksanakan fungsi masing-masing sehingga terbentuk mekanisme check dan balance. Oleh sebab itu pilkada sesungguhnya bagian dari sistem politik didaerah.[11]
     Axel Hadenius ( 1992 : 42 ) dalam Aurel Croissant mengatakan bahwa suatu pemilu, termaksud pilkada langsung, disebut demokratis kalau memiliki makna. Istilah “ bermakna “ meurujuk pada tiga criteria, yaitu (1)keterbukaan, (2) ketepatan dan (3)keefektifan pemilu. Ketiga criteria tersebut harus dipenuhi bukan hanya pada saat pemungutan suara saja, malainkan juga sewaktu dilakukan kampaye dan penghitungan suara.[12]
Pilkada langsung dapat disebut kompetitif apabila secara hukum( dejure ) dan kenyataan ( de facto ) tidak menetapkan pembatasan dalam rangka menyingkirkan calon-calon atau kelompok tertentu atas dasar alasan-alasan politik. Pembatasan merupakan diskriminasi dan bertentangan dengan prinsip keadilan demokrasi dan kesamaan di depan hokum. Lebih jauh lagi, dalam kompetesi pilkada langsung pemilih harus memiliki pilihan diantara berbagai alternative politik yang bermakna atau  calo-calon yang layak; syarat kompetesi harus berlaku sama bagi seluruh calon, dalam pengertian ‘satu medan permainan yang sama’ ( Eklit dan Svenson, 1997: 32 ).[13]Hubungan antara pilkada  langsung dan kedaulatan rakyat menggiring kita untuk melihat kelebihan pilkada langung. Berikut ini dipaparkan beberapa  kelebihan pilkada langsung : 
1.    Kepala daerah terpilih akan memiliki mandate dan legitimasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat yang memberikan suara secara langsung. Legitimasi merupakan hal yang sangat diperlukan oleh suatu pemerintahan yang sedang mengalami krisis politik dan ekonomi. Krisis legitimasi yang telah menggoroti kepemimpinan atau kepala daerah akan mengakibatkan ketidakstabilan politik dan ekonomi didaerah.
2.    Kepala daerah terpilih tidak perlu terikat pada konsensi partai-partai atau fraksi-fraksi yang telah mencalonkannya. Artinya, kepala daerah terpilih berada diatas segala kepentingan dan dapat menjembatani berbagai kepentingan tersebut. Apabila kepala daerah terpilih tidak dapat mengatasi kepentingan-kepentingan partai politik, maka kebijakan yang diambil cenderung merupakan kompromi kepentigan partai-partai dan acapkali bersebrangan dengan kepentingan rakyat. Kebutuhan pemerintah daerah sekarang adalah kebijakan public yang benar-benar berpihak pada rakyat.
3.    Sistem pilkada langsung lebih akuntabel disbanding sistem lain yang selama ini digunakan kerana rakyat tidak harus  menitipkan suaranya kepada anggota legislative atau electoral college secara sebagian atau penuh. Rakyat dapat menentukan pilihannya berdasarkan kepentingan dan penilaian atas calon. Apabila kepala daerah terpilih tidak memenuhi harapan masyarakat, maka dalam pemilihan berikutnya, calon yang bersangkutan tidak akan dipilih kembali.  Prinsip ini merupakan pengawasan serta akuntabilitas yang paling sederhana dan dapat dimengerti baik oleh rakyat maupun politisi.
4.    Check and balance antara lembaga legislative dan eksekutif dapat lebih seimbang
5.    Criteria calon kepala daerah dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya.[14]
Sebagai suatu sistem, sistem pilkada mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder ( secondary system ) atau sub-sub sistem ( subsystems). Bagian-bagian tersebut adalah electoral regulation, electoral proses dan electoral law enforcemen. Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pilkada langsung yang berlaku, yang bersifat mengikat dan menjadi pedomanan bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral proses dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pilkada yang  merujuk pada ketentuan perundang-undangan yang baik yang bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcemen yaitu penegakan hokum terhadap aturan-aturan pilkada baik politis, administrative atau pidana. Ketiga bagian pilkada langsung tersebut sangat menentukan sejauhmana kapasitas sistem menjembatani pencapaian tujuan dari proses awalnya. Masing-masing bagian tidak dapat dipisahkan karena merupakan suatu kesatuan utuh yang komplementer.[15]
Kemudian asas yang dipakai dalam pilkada langsung sama persis dengan asas yang dipakai dalam pemilu 2004, yakni langsung umum, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Rumusan mengenai asas-asas pilkada langsung tertuang dalam pasal 56 ayat (1) UU No 32/2004 dan ditegaskan kembali pada pasal 4 ayat ( 3 ) PP No 6/2005. Selengkapnya bunyi pasal 56 ayat ( 1) berbunyi :
“ Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil “
Dengan asas-asas tersebut, dapat dikatakan bahwa pilkada langsung di Indonesia telah menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku umum dalam rekrutmen pejabat public atau pejabat politik yang terbuka. Adapun mengertian asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tampa perantara.
2.    Umum
Pada dasarnya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundangan berhak mengikuti pilkada. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga Negara, tampa diskriminasi berdasarkan suku, agama ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status social.
3.    Bebas
Setiap warga Negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tampa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga Negara dijamin keamanannya sehingga memilih sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.
4.    Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan dipilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat dietahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya diberikan.
5.    Jujur
Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada, aparat pemerintah, calon/peserta pilkada, pengawas pilkada, pemantau pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6.    Adil
Dalam penyelenggara pilkada, setiap pemilih dan calon/ peserta pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.[16]
Kegiatan pilkada langsung dilaksanakan dalam 2 tahap, yakni masa persiapan dan tahap pelaksanaan. Sebagaimana yang dikatakan dalam pasal 65 ayat ( 1), pilkada dilaksanakan melalui masa persiapan dan tahap pelaksanaan. Masing-masing tahap dilakukan berbagai kegiatan yang merupakan proses pilkada langsung. Pelaksanaan tahapan kegiatan tidak dapat melompat-lompat. Dalam pasal 65 ayat (2) disebutkan kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam masa persiapan, yakni :
a.       Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan;
b.      Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah;
c.       Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah;
d.      Pembentukan panitia Pengawas, PPK, PPS, dan KPPS;
e.       Pembentukan dan pendaftaran pemantau.
Dalam kegiatan masa persiapan, keterlibatan rakyat sangat menonjol dalam pembentukan panitia pengawas, PPK, PPS dan KPPS. Rakyat memiliki akses untuk memantau melalui mekansime uji public namun pendaftaran diri sebagai anggota panitia pengawas, PPK, PPS dan KPPS. Sementara itu tahap pelaksanaan terdiri dari 6 kegiatan, yang masing-masing merupakan rangkaian yang saling terkait. Sesuai pasal 65 ayat ( 3 ) tahap pelaksanaan pilkada meliputi :
a.       Penetapan daftar pemilih;
b.      Pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/ Wakil kepala daerah;
c.       Kampaye;
d.      Pemungutan suara
e.       Penghitungan suara; dan
f.       Penetapan pasangan calon kepala daerah/ wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan.[17]
b.      Metodologi Penelitian
Dalam penelitan ini yang digunakan sebagai obyek penelitian adalah Undang-Undang Nomor 42 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah yang memuat pemilihan kepala daerah secara secara langsung. Yang menjadi focus dalam penelitian ini adalah tentang pemilihan Kepala Daerah secara langsung.
Jenis penelitian dalam penelitian terhadap Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 adalah penelitan kualitatif.
E.     Unit Analisis Dan Kategorisasi
No
Unit Analisis
Kategorisasi
1
Mekanisme Penyelenggaraan Pilkada
1.      KPU Pusat
2.      KPUD
3.      Pengawas
2
Mekanisme persyaratan
1.      Persyaratan Umum
2.      Persyaratan Khusus
3.      Partai Politik/Partai Politik Gabungan
4.      Persentase Suara
3
Proses Penetapan Pemilih
1.      Pesryaratan Umum
2.      Persyaratan Khusus
4
Mekanisme Kampaye
1.      Alat Peraga
2.      Pendanaan
3.      Hal-hal yang dilarang dalam kampaye
4.      Anggota yang terlibat dalam kampaye
5
Memungutan Suara
1.      KPUD
2.      KPPS
6
Mekanisme Penetapan Calon Terpilih dan Pelantikan
1.      KPUD
2.      DPRD
3.      Persentase Jumlah suara

7
Mekanisme Pemantauan Pemilihan
1.      Lembaga Independent
2.      Lembaga Non Independent
8
Ketentuan Pidana
1.      Denda
2.      Hukuman
9
Asas Pilkada
1.      Langsung
2.      Umum
3.      Bebas
4.      Rahasia
5.      Jujur
6.      Adil

F.   Defenisi Operasional
1.      Mekanisme penyelenggaraan pilkada merupakan tata cara penyelenggaraan yang dalam penyelenggaraannya itu harus dilakukan oleh lembaga penyelenggara pilkada.adapun lembaga penyelenggara pilkada tersebut adalah KPU dan KPUD
2.      Mekanisme persyaratan merupakan hal-hal yang menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk mencalonkan menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Adapun yang menjadi unit kategori dalam penelitian ini adalah persyaratan umum, khusus, gabungan partai dan persentase suara
3.      Proses penetapan pemilih merupakan tata cara seseorang yang ikut dalam pilkada untuk bisa ikut pilkada setelah memenuhi persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan oleh lembaga penyelenggara pemilihan.adapun kategorisasinya dalam penelitian ini meliputi pesyaratan umum dan peseyaratan khusus.
4.      Mekanisme kampaye merupakan tata cara kampaye yang boleh dilakukan dan dilarang oleh seseorang yang sudah ditetapkan untuk ikut pilkada, tata cara ini meliputi  alat peraga,pendanaan dan hal-hal yang dilarang dalam kampaye dan anggota yang terlibat dalam kampanye
5.      Pemungutan suara merupakan tehknik pengambilan suara yang dilakukan setelah pelaksanaan kampaye yang dilakukan oleh masing-masing pasangan calon yang diselenggarakan oleh KPUD dan KPPS dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
6.      Mekanisme penetapan calon terpilih dan pelantikan merupakan tata cara atau ketentuan yang dilakukan setelah pemungutan suara dengan melihat persentase yang memenuhi pasangan calon kepala daerah untuk bisa ditetapkan sebagai calon terpilih. Hal ini dilakukan oleh KPUD dan DPRD
7.      Mekanisme Pemantauan Pemilihan  merupakan tata cara atau ketentuan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tertentu yang di tunjuk untuk memantau pelaksanaan pemungutan suara jika terjadi penyelewengan-penyelewengan dalam proses pemungutan suara dan penetapan calon terpilih.
8.      Ketentuan pidana merupakan tindak lanjut terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pasangan calon baik dalam kampaye maupun dalam proses pemungutan suara. Tindak lanjut tersebut dapat berupa denda atau hukuman yang ditetapkan oleh lembaga hokum yang ada.
9.      Asas pilkada merupakan dasar hukum atau landasan yang mengatur pemilihan suara bagi para pemilih. Dasar hokum atau landasan ini menyatakan bahwa seorang pemilih harus bebas dari intrevensi-intervensi dari pasangan calon yang berusaha menggiring atau mengkosentrasikan seorang pemilih untuk memilih pasangan calon tersebut.




Daftar Pustaka
 Prihatmoko,Joko J, 2005 Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan Di Indoensia, pustaka pelajar. Yogyakarta
Pramusinto, Agus, Erwan  Agus Purwanto dkk,2009 Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan pelayanan Publik, Kajian Tentang pelaksanaan  otonomi Daerah di Indoensia, Gava Media, Yoyyakarta hlm 184
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan Di Indoensia,2005, pustaka pelajar. Yogyakarta,


[1] Agus Pramusinto, Erwan  Agus Purwanto dkk, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan pelayanan Publik, Kajian Tentang pelaksanaan  otonomi Daerah di Indoensia,2009, Gava Media, Yoyyakarta hlm 184
[2] Joko j Prihatmojo.2008 Mendemokratiskan Pemilu dari sistem sampai elemen teknis, pustaka pelajar. Yogyakarta Hlm 158-160
[3]Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan Di Indoensia,2005, pustaka pelajar. Yogyakarta, hlm 98,hlm 34
[4] ibid hlm 98
[5] ibid hlm 112
[6] ibid, hlm 134
[7] ibid, hlm 290-291
[8] ibid, hlm 292
[9] Harian Kompas tanggal 30 Maret 2005
[10] Joko j Prihatmojo. Op.cip Hlm 100
[11] Ibid Hlm 100
[12]  Op.cip Hlm 112
[13] Opcip hlm113
[14] Op.cip  Hlm 132
[15] Op.cip 203
[16] Op.cip  hlm 207-208
[17] Ibid Hlm 210-211

Tidak ada komentar:

Posting Komentar